Nilai Sosial dan Budaya

dengan 6,25. Hanya 6,25 yang menggunakan bas-bas. Hal ini karena semakin berkembangnya dunia kedokteran dan semakin sulitnya mendapatkan bas-bas saat ini. Kategori B dengan JP 13 13,54. Ini membuktikan bahwa bas-bas sudah semakin langka. Kategori C dengan JP 29 30,20 dan Kategori D dengan JP 48 50. Setengah dari informan pengujian tidak mengetahui bas- bas. Umumnya yang tidak mengetahui bas-bas adalah generasi 15-20 tahun. Padahal nilai budaya sangat kental di tumbuhan ini, selain buahnya yang unik, tumbuhan ini juga memiliki manfaat baik dari buah maupun daunnya yang digunakan sebagai obat. Karena tumbuhan ini sering digunakan sebagai obat. Guyub tutur karo juga memiliki tradisi ritual ibasbas v „disucikan dipahami guyub tutur kategori A dengan JP 6 6,25. Ngebas-bas v „mengusir roh dengan air penguras‟ dipahami guyub tutur bahasa Karo kategori A dengan JP 6 6,25 dan masbasi v „membersihi‟ dipahami guyub tutur bahasa Karo kategori A dengan JP 6 6,25. Hasil pengujian pemahaman tersebut membuktikan umumnya guyub tutur bahasa Karo tidak menggunakan leksikon verba ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal bas-bas dan ibas-bas, ngebas- bas, dan masbasi memiliki nilai budaya yang tinggi. Jika tumbuhan ini punah maka nilai budaya ini juga akan turut terkikis.

3. Nilai Sosial dan Budaya

Nilai sosial dan budaya yang terungkap dalam ekologi kesungaian Lau Bingei terungkap melalui salah satu leksikon nama tumbuhan yaitu: Universita Sumatera Utara pola n „enau‟ erpola v „mengambil air pola‟ polai v ngeria v „mengambil air nira‟ polaken v „menjadikan tuak‟ Pola adalah nama atau pohon yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dibanding dengan pohon-pohon yang lain. Bagi guyub tutur Karo pohon ini adalah pohon yang semua bagiannya memiliki manfaat dan sarat budaya. Pola adalah sebuah pohon pengorbanan dari bentuk kecintaan seorang perempuan terhadap turang-nya saudara laki-lakinya, pohon pola ini adalah wujud dari seorang gadis br sembiring yang berkorban untuk membayar hutang saudara laki-lakinya, sehingga jika pohon ini mau dipolai v „mengambil nira‟ maka terlebih dahulu harus berdendang-dendang agar airnya banyak. Selain airnya yang dapat dijadikan gula, batangnya dapat dijadikan pangguh pengganti papan dan ijuk sebagai sapu, buahnya dapat dijadikan manisan, lidinya dijadikan purih tonggal yaitu salah satu bahan obat tradisional sebagai cambuk untuk mencambuk roh jahat. Dan yang terakhir daunnya yang muda adalah sebuah lambang atau ciri khas yang ditempelkan di rumah baru yang disebut „lambe‟ pada acara mengket rumah baru. Karena sudah mendapat rezeki seluruh saudara atau sangkep ngeluh diundang makan bersama di rumah baru dan menjalankan tradisi pesta mengket rumah baru. Dari uraian di atas, pola sangat bernilai buat guyub tutur bahasa Karo. Dilihat dari hasil pengujian pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon pohon pola kategori A dengan JP 74 77,08. Hal ini membuktikan bahwa guyub tutur masih mengenal, melihat, dan menggunakan pohon ini, Universita Sumatera Utara walaupun pohon ini hanya terdapat di hutan dan pinggiran sungai. Pohon ini bukanlah pohon budidaya guyub tutur tetapi tumbuhan liar. Padahal, jika dilihat dari manfaat dan nilai budaya, sudah saatnya pohon ini dilindungi dan dibudidayakan.

4. Nilai Kesejahteraan