Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Nilai Sejarah

16 Mekar Jaya 143 21,47 Total 2940 Rata-rata 27,59

3. Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian

Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori C Pernah Didengar Saja Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba ekologi kesungaian Lau Bingei di 16 kelurahan kategori C pernah didengar saja kelurahan yang memperoleh persentase tertinggi adalah Kelurahan Pasar IV Namo Terasi dengan JP 131 19,66, kedua Purwobinangun dengan JP 123 18,46, dan Kwala Mencirim Pasar VI JP 129 19,36. Hal ini disebabkan daerah ini sudah banyak percampuran suku dan geografisnya yang dekat dengan Kota Madya Binjai. Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini. Tabel 5.23 Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori C Pernah Mendengar Saja NO KelurahanDesa Total JP 1 Telagah 67 10,06 2 Tanjung Gunung 60 9,00 3 Pekan Sawah 60 9,00 4 Belinteng 66 9,90 5 Rumah Galuh 62 9,30 6 Simpang Kuta Buluh 68 10,21 7 Gunung Ambat 72 10,81 8 Namo Ukur Selatan 85 12,76 9 Namo Ukur Utara 90 13,51 10 Duru Lingga 118 17,71 11 Pasar VIII Namo Terasi 126 18,91 12 Pasar IV Namo Terasi 131 19,66 13 Kwala Mencirim Pasar VI 129 19,36 14 Purwobinangun 131 19,66 15 Emplasmen Kwala Mencirim 123 18,46 16 Mekar Jaya 67 10,06 Universita Sumatera Utara Total 1455 Rata-rata 13,65

4. Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian

Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori D Tidak Tahu Tidak Dengar dan Tidak Gunakan Pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon verba ekologi kesungaian Lau Bingei di 16 kelurahan yang tidak tahu tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak menggunakan yang memperoleh persentase tertinggi adalah Kelurahan Emplasmen Kwala Mencirim JP 92 13,81, Purwobinangun dengan JP 77 11,56. Hal ini disebabkan daerah ini sudah banyak percampuran suku dan geografisnya yang dekat dengan Kota Madya Binjai. Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini. Tabel 5.24 Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori D Tidak Tahu tidak pernah lihat, dengar, dan gunakan NO KelurahanDesa Total JP 1 Telagah 30 4,50 2 Tanjung Gunung 41 6,15 3 Pekan Sawah 42 6,30 4 Belinteng 31 4,65 5 Rumah Galuh 42 6,30 6 Simpang Kuta Buluh 32 4,80 7 Gunung Ambat 44 6,60 8 Namo Ukur Selatan 48 7,20 9 Namo Ukur Utara 52 7,80 10 Duru Lingga 57 8,55 11 Pasar VIII Namo Terasi 52 7,80 12 Pasar IV Namo Terasi 58 8,70 13 Kwala Mencirim Pasar VI 65 9,75 14 Purwobinangun 77 11,56 15 Emplasmen Kwala Mencirim 92 13,81 16 Mekar Jaya 34 5,10 Universita Sumatera Utara Total 797 Rata-rata 7,47 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon verba ekologi kesungaian Lau Bingei yang memiliki persentase tertinggi adalah Kelurahan Belinteng, Mekar Jaya, Telagah, dan Rumah Galuh, sedangkan kelurahan yang persentase pemahaman leksikon ekologinya rendah adalah Kelurahan Emplasmen Kwala Mencirim, Purwobinangun, Kwala Mencirim Pasar VI, dan Pasar IV Namo Terasi karena faktor geografis dan percampuran suku bangsa. Universita Sumatera Utara

BAB VI NILAI BUDAYA DAN KEARIFAN LINGKUNGAN MELALUI

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI

6.1 Nilai Budaya melalui Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup Koentjaraningrat, 2004:25. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan believe, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Sehubungan dengan ini Prosser 1978:303 mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai menjadi lima bagian, yaitu 1 nilai yang berhubungan dengan Tuhan, 2 nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, 3 nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi pada waktu, 4 nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan 5 nilai yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia. Universita Sumatera Utara Dari uraian di atas, nilai budaya dapat dikatakan nilai yang disepakati dan tertanam dalam jiwa dan perilaku yang mengikat penutur dan pendukung budaya tergambar dalam leksikon ekologi penutur. Setelah melakukan analisis maka diperoleh simpulan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon kesungaian Lau Bingei. Leksikon nomina dipahami guyub tutur bahasa Karo melalui kategori A dengan JP 12093 30,79, kategori B dengan JP 14898 37,94, kategori C dengan JP 5251 13,39, dan kategori D dengan JP 7018 17,87. Dari hasil tersebut pemahaman guyub tutur bahasa Karo lebih tinggi pada kategori B yaitu pernah mendengar dan melihat. Hal ini karena umumnya guyub tutur bahasa Karo tidak menggunakan kelompok leksikon nama serangga, tetapi serangga masih banyak terungkap pada kategori B, alat penangkap nurung karena nurung sudah jarang ditemukan, tumbuhan yang tidak dapat dimakan, tumbuhan obat karena tumbuhannya sudah langka, dan tradisi karena bergesernya persepsi masyarakat. Jika dibandingkan dari tiga generasi guyub tutur bahasa Karo untuk kategori A pernah melihat, mendengar, dan menggunakan dari usia ≥ 46 tahun ke generasi usia 21-45 tahun sebanyak 1738 JP 13,28. Penyusutan dari usia 21-45 tahun ke generasi usia 15-20 tahun juga terjadi sebanyak 731 JP 5,58. Hal ini membuktikan bahwa pemahaman generasi guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon nomina dengan pengujian kategori A mengalami penyusutan pada tiap generasi. Hal ini, dapat dicegah dengan mensosialisasikan Universita Sumatera Utara nilai budaya dan kearifan lingkungan. Menyampaikan betapa pentingnya budaya dan lingkungan bagi guyub tutur bahasa Karo generasi yang akan datang. Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada informan, nilai budaya yang dapat diungkap dari leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei antara lain:

1. Nilai Sejarah

Nilai sejarah yang terkandung dalam leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei terlihat dari identitas daerah Kecamatan Sei Bingei. Nama Sei Bingei berasal dari nama sungai yaitu Lau Bingei. Identitas daerah ini menunjukkan sejarah kelompok masyarakat. Lau Bingei adalah nama sungai terbesar di kecamatan Sei Bingei, dimana nama Lau Bingei adalah nama yang berasal dari nama pohon bingei. Pohon bingei adalah nama tumbuhan yang banyak tumbuh di tepi Lau Bingei. Pohon ini adalah jenis tumbuhan yang besar dan pada saat ini tumbuhan atau pohon ini sudah langka, dan bahkan pohon ini tidak dikenal lagi oleh generasi muda. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian pemahaman guyub tutur bahasa Karo dari tiga generasi terhadap leksikon nomina pohon bingei kategori A dengan JP 0 0 artinya tidak ada yang menggunakan, kategori B dengan JP 2 2,08, kategori C dengan JP 41 42,70, dan kategori D dengan JP 53 55,20. Hasil ini menandakan banyak guyub tutur bahasa Karo yang tidak melihat pohon ini lagi. Dari hasil pengamatan di lapangan pohon bingei memang sudah langka. Padahal, pohon bingei bernilai sejarah terhadap Lau Bingei dan Kecamatan Sei Bingei. Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi Taneh Karo menyebut Universita Sumatera Utara masyarakat di dataran rendah Taneh Karo Karo Jahe dengan istilah kalak bingei, menandakan asal yaitu bingei nari, artinya tidak semua dari Lau Bingei akan tetapi orang karo yang tinggal di kecamatan Sei Bingei dan sekitarnya sering diidentitaskan dengan orang yang berasal dari bingei. Hal ini juga terungkap dari lagu yang diciptakan oleh musisi karo Djaga Depari yang berjudul tenah Lau Bingei , artinya „pesan dari Lau Bingei‟ lagu yang diciptakan untuk wanita karo yang tinggal di taneh bingei bukan dari lau bingei. Selain dari Kecamatan Sei. Bingei, nama desa yang berada di kecamatan ini berasal dari nama tumbuhan dan keadaan lingkungan sekitar, contoh daerah Namo Terasi yang terdiri dari beberapa desa yaitu Pasar I, II, IV, V, VI, dan VIII Namo Terasi. Namo Terasi berasal dari kata namo nderasi, namo adalah namo „lubuk‟ nderasi „nama pohon‟ yang tumbuh di tepi namo maka dijadikanlah nama daerah tersebut namo nderasi. Seiring perubahan waktu, nama ini mengalami perubahan menjadi Namu Terasi. Generasi muda saat ini menganggap bahwa Namu Terasi berasal dari kata namo dan terasi. Hal ini sungguh merugikan nilai budaya karena terjadi pergeseran nilai. Saat ini nderasi tidak dikenal oleh generasi muda. Nderasi dipahami oleh guyub tutur bahasa Karo dari tiga generasi berdasarkan kategori A dengan JP 0 0 artinya tidak ada guyub tutur yang menggunakan pohon nderasi. Kategori B dengan JP 6 6,25, hanya enam pemaham saja yang pernah melihat pohon nderasi itu pun dari generasi 46 tahun ke atas. Kategori C dengan JP 40 41,66, dan kategori D dengan JP 50 52,08. Dari 96 informan lebih dari setengahnya tidak mengetahui pohon nderasi. Universita Sumatera Utara Nilai sejarah daerah selanjutnya adalah Namo Ukur. Namo Ukur berasal dari kata namo dan ukur. Namo Ukur adalah ibu kota kecamatan. Namo ukur dilintasi oleh Lau Bingei yang memiliki namo yang besar. Namo Ukur disebut sebagai Namo Ukur karena di namo inilah digunakan alat untuk mengukur debit air Lau Bingei. Lau Bingei adalah sungai yang memiliki debit air terbesar di Sumatera Utara pada zamannya. Di sungai inilah dibangun irigasi Namo Sira- sira, Namo Sira-sira adalah sebuah namo yang namanya berasal dari kata namo dan sira-sira. Sira-sira dipahami melalui kategori A dengan JP 0 0, kategori B dengan JP 17 17,70, kategori C dengan JP 25 26,04, kategori D dengan JP 54 56,25. Dari hasil analisis pemahaman dan observasi lapangan menandakan sira-sira sudah langka. Sira-sira adalah nama sebuah tumbuhan, pada waktu itu banyak tumbuh di namo. Dari sejarah tempat di atas dapat disimpulkan bahwa nama daerah di Kecamatan Sei Bingei banyak diangkat dari nama pohon. Dan banyak lagi nama dusun dan namo di kecamatan ini yang menggunakan leksikon-leksikon ekologi Lau Bingei, antara lain di daerah Belinteng terdapat beberapa namo antara lain Namo Kole, Namo Riam, Namo Sedel, Namo Kapal Api, Namo Rambe, Namo Pulus, Namo Empung br Tarigan, Namo Tenggit, Namo Draham, Namo Sampan. Hal ini menunjukkan bahwa guyub tutur bahasa Karo menentukan identitas nama tempat bahkan nama identitas diri manusia berasal dari tumbuhan dan alam sekitar pada umumnya. Hal ini terungkap dari nama kota lain seperti Binjai, Pakam, Rampah yang berasal dari nama tumbuhan pohon yang dimiliki oleh Suku Karo. Universita Sumatera Utara Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon namo berdasarkan kategori A dengan JP 72 75, kategori B dengan JP 19 19,79, kategori C dengan JP 4 4,4,16, dan kategori D dengan JP 1 1,04. Hasil ini menandakan masih banyak namo di Lau Bingei walau pun kedalamannya sudah tidak seperti dahulu.

2. Nilai Religius dan Keharmonisan