dengan kategori A sebanyak 7 JP 7,29, artinya hanya 7,29 guyub tutur bahasa Karo yang menggunakan empung.
Selain dari pelestarian lingkungan, empung digunakan sebagai tempat memuja nenek moyang. Hal ini menyebabkan persepsi masyarakat berubah
ketika agama masuk ke wilayah Sei Bingei. Kategori B dipahami sebanyak 85 JP 88,54 artinya empung masih ada sampai saat ini dan masih banyak akan
tetapi, tidak digunakan lagi sebagai tempat memuja dan meminta. Empung dibersihkan dan di jaga untuk menjaga warisan budaya Karo. Hal ini, sangat baik
mengingat empung masih disegani kekeramatannya, dapat digunakan sebagai upaya pelestarian lingkungan.
Selanjutnya tradisi erpangir kulau dapat dijadikan sebagai kegiatan untuk mendamaikan konflik antarpemuda di kecamatan Sei Bingei yang telah berulang
kali terjadi. Sedangkan tradisi rembah ku lau, anak-anak Karo dari kecil sudah di bawa langsung ke alam yaitu ke sungai dan dengan harapan anak dapat
menghargai orang tua dan alam.
2. Nilai Kesejahteraan dan Gotong Royong
Nilai kesejahteraan terekam dalam bagian-bagian Lau Bingei yang harus terus dilestarikan agar Lau Bingei tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan
datang. Contoh salah satu leksikon yang menjadi bukti kesejahteraan Lau Bingei adalah:
alur n „alur sungai‟
baluren n „saluran air yang biasanya di buat disamping sungai‟
maluri v „mengalirkan air sungai ke sawah-sawah atau kolam-kolam ikan
mereka‟ ngaluri
v „menelusuri sungai‟
Universita Sumatera Utara
Alur adalah alur sungai yang sudah tercipta secara alami dan guyub membuat baluren, baluren dibuat secara bergotong-royong. Di sini terlihat bahwa
guyub memiliki budaya kebersamaan. Kebersamaan ini tentu saja harus terus dipupuk. Dari hasil pengujian pemahaman terhadap leksikon Lau Bingei alur
dipahami dengan kategori A sebanyak 69 JP atau sama dengan 71,87. Hasil ini menunjukkan masih banyak yang memahami alur sungai dan menggunakannya.
Baluren dipahami dengan kategori A sebanyak 24 JP atau sama dengan 25. Artinya masyarakat hanya melihat, mendengar, dan menggunakan leksikon
baluren hanya 25. Hal ini menandakan bahwa budaya gotong-royong sudah mulai terkikis. Di samping baluren ini juga biasa ditanam tumbuhan seperti
kalinjuhang, untuk menahan air agar tidak merusak galungi „galenganbatas
petak- petak sawah‟. Kalinjuhang dipahami guyub tutur dengan kategori A
sebanyak 30 JP atau sama dengan 31,25. Di samping sebagai tumbuhan yang ditanam di galengan, kalinjuhang juga merupakan tumbuhan simalem-malem
yang digunakan masyarakat Karo sebagai salah satu bahan obat tradisonal dan acara-acara tradisi budaya Karo.
Di pinggir sungai masyarakat menanam bambu agar tidak terjadi longsor. Bambu pada guyub tutur bahasa Karo terdiri atas buluh belin, regen, cina, rires,
blangke, dinding, didi, laga, minak, dst. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Karo sangat membutuhkan bambu dalam kehidupan sehari-harinya sehingga
dalam masyarakat Karo terdapat nama bambu yang bermacam-macam baik secara budaya buluh belin digunakan sebagai tiang pada arsitektur rumah
tradisional, sapo juma dan alat-alat tradisi seperti para-para empung. Kewajiban
Universita Sumatera Utara
bahwa dahulunya masyarakat harus menanam bambu di tepi sungai dan tidak boleh ditebang adalah suatu kearifan yang dapat menjaga pelestarian lingkungan.
Bagian sungai seperti namo di Lau Bingei banyak sekali antara lain di daerah Belinteng terdapat beberapa namo antara lain Namo Kole, Namo Riam,
Namo Sedel, Namo Kapal Api, Namo Rambe, Namo Pulus, Namo Empung br Tarigan, Namo Tenggit, Namo Draham, dan Namo Sampan. Dalam satu dusun
Lau Bingei biasanya memiliki beberapa namo, namo ini adalah sebuah lubuk sungai yang dalam, di sana banyak terdapat ikan-ikan dan biasanya dijadikan
para pemuda sebagai tempat mandi dan ajang berenang atau dalam istilah guyub tutur erlangi-langi. Namo ini juga biasa digunakan sebagai tempat rekreasi,
sebagai tempat pelepas penat. Lau Bingei memiliki air yang bersih pada zamannya.
3. Penentuan Batas dan Wilayah