Nilai Religius dan Keharmonisan

Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon namo berdasarkan kategori A dengan JP 72 75, kategori B dengan JP 19 19,79, kategori C dengan JP 4 4,4,16, dan kategori D dengan JP 1 1,04. Hasil ini menandakan masih banyak namo di Lau Bingei walau pun kedalamannya sudah tidak seperti dahulu.

2. Nilai Religius dan Keharmonisan

Kluckhon dalam Pelly 1994 mengemukakan nilai budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Tradisi adalah suatu hal yang tertanam dalam alam pikiran guyub tutur Karo. Tradisi yang menggunakan Lau Bingei sebagai sarana melaksanakan tradisi memiliki nilai budaya yang dapat diwariskan kepada generasi muda sebagai salah satu upaya penyambung silaturahim dan menciptakan keharmonisan. Contoh salah satu tradisi adalah: erpangir ku lau n „tradisi berlangir‟ erpangir v „berlangir‟ Jenis erpangir kulau dipahami guyub tutur bahasa Karo kategori A dengan JP 32 33,33 hasil ini membuktikan guyub tutur sudah jarang menggunakan tradisi ini. Erpangir kulau adalah: 1 erpangir namsamken pinakit adalah erpangir menghilangkan penyakit; dikerjakan oleh keluargaseorang yang sering sakit. 2 erpangir erkiteken nipi gulut: i lakoken sekalak jelma erpangir gelah ula reh sinanggel ‟erpangir dikarenakan mimpi yang tidak bagus; dilakukan seorang atau sekeluarga erpangir agar tidak datang musibah‟. Datang musibah di sini maksudnya bermacam-macam, pada satu keluarga jika ada anak tiga bersaudara Universita Sumatera Utara bertengkar besar karena suatu hal, jika tidak dapat didamaikan lagi maka sanak saudara akan melakukan tradisi erpangir. Pada jenis erpangir inilah dapat digali nilai religius yang dapat menata keharmonisan keluarga dan guyub tutur. Karena dianggap segala permasalahan dapat diselesaikan jika kita mengadu dan berserah kepada Dibata Si Mada Kuasa ras begu jabu ‟Tuhan yang Mahakuasa dan begu jabu kekuatan ghaib nenek moyangkeluarga‟. Agar begu jabu ras nini tudung kerina ngarak-ngarak ‟agar begu jabu dan nenek moyang menjaga‟. Sehingga tradisi ini dapat dijadikan solusi untuk mendamaikan kerusuhan antarpemuda yang selalu terjadi di Sei Bingei dalam memperebutkan daerah wisata di Lau Bingei. 3 erpangir mindo rezeki: ialoken sekalak jelma erpangir gelah jumpa rejeki ‟erpangir minta rejeki; dilakukan seorang atau sekeluarga erpangir biar jumpa rejeki ‟ tentu saja di sini kegiatan ini hanya sebagai penyemangat dan harus tetap bekerja keras. 4 erpangir jumpa rejeki ncidahken keriahen ukur: ialoken erkiteken enggo seh sura-surana ‟erpangir jumpa rejeki memperlihatkan kebahagiaan hati; dilakukan dikarenakan sudah sampai cita- cita atau keinginan‟ kegiatan ini adalah sebuah bentuk ucapan terima kasih. Dari kegiatan ini terlihat bahwa guyub tutur Karo tidak lupa berterima kasih. 5 erpangir ngampeken jinujung: i lakoken erpangir gelah jenujung e enggo tampe ibas ia, gelah banci ula ngege ku jabu ‟erpangir agar roh nenek moyang tidak menganggu. Di sini terlihat bahwa sebagian masyarakat Karo masih memiliki kepercayaan kepada nenek moyangnya. Universita Sumatera Utara Tradisi yang kedua adalah: rembah ku lau , n „tradisi membawa anak ke sungai‟ rembah v „menggendong‟ Tradisi rembah kulau dipahami guyub tutur kategori A dengan JP 56 58,33. Artinya, setengahnya guyub tutur sudah tidak menggunakan tradisi ini lagi. Tradisi membawa anak turun ke sungai, ini artinya dari kecil bayi umur empat hari suku Karo telah memperkenalkan sungai sebagai bagian dari kehidupannya, tentu saja tradisi ini kental dengan nilai-nilai budaya. Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini tidak terlepas dari belo cawir dan kuning yang digiling sebagai parem agar anak sehat-sehat, kain, dan tangkal agar si anak aman dari roh jahat yang ada di sungai. Teknik pelaksanaan acara ini tidak terlepas dari pernanden ras kade-kade telu sidalanen. Di tapin laki-laki dimandikan oleh maminya dan anak perempuan dimandikan oleh bibinya. Kemudian disembur „ramuan‟ sebelas kali di ubun-ubun agar cepat besar dan sehat. Dan di ujung kaki agar rajin ke acara kalimbubu. Selanjutnya adalah leksikon nama tumbuhan yang tumbuh di sekitar Lau Bingei yaitu: bas-bas n „nama tumbuhan merambat berbuah polong‟ ibasbas v „disucikan; ngebas-bas v „mengusir roh dengan air penguras‟ masbasi v „membersihi‟ Bas-bas n „nama tumbuhan merambat berbuah polong‟ tumbuhan ini sudah langka dan generasi muda sudah jarang yang mengetahui bas-bas. Hal ini terbukti dari hasil pengujian kepada informan di Kecamatan Sei Bingei. Bas- bas dipahami oleh informan pengujian dengan kategori A sebanyak 6 JP atau sama Universita Sumatera Utara dengan 6,25. Hanya 6,25 yang menggunakan bas-bas. Hal ini karena semakin berkembangnya dunia kedokteran dan semakin sulitnya mendapatkan bas-bas saat ini. Kategori B dengan JP 13 13,54. Ini membuktikan bahwa bas-bas sudah semakin langka. Kategori C dengan JP 29 30,20 dan Kategori D dengan JP 48 50. Setengah dari informan pengujian tidak mengetahui bas- bas. Umumnya yang tidak mengetahui bas-bas adalah generasi 15-20 tahun. Padahal nilai budaya sangat kental di tumbuhan ini, selain buahnya yang unik, tumbuhan ini juga memiliki manfaat baik dari buah maupun daunnya yang digunakan sebagai obat. Karena tumbuhan ini sering digunakan sebagai obat. Guyub tutur karo juga memiliki tradisi ritual ibasbas v „disucikan dipahami guyub tutur kategori A dengan JP 6 6,25. Ngebas-bas v „mengusir roh dengan air penguras‟ dipahami guyub tutur bahasa Karo kategori A dengan JP 6 6,25 dan masbasi v „membersihi‟ dipahami guyub tutur bahasa Karo kategori A dengan JP 6 6,25. Hasil pengujian pemahaman tersebut membuktikan umumnya guyub tutur bahasa Karo tidak menggunakan leksikon verba ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal bas-bas dan ibas-bas, ngebas- bas, dan masbasi memiliki nilai budaya yang tinggi. Jika tumbuhan ini punah maka nilai budaya ini juga akan turut terkikis.

3. Nilai Sosial dan Budaya