Faktor Domestik

Faktor Domestik

Kondisi fundamental makroekonomi domestik tetap kondusif dalam mendukung kestabilan nilai tukar rupiah. Berlanjutnya kesinambungan pertumbuhan ekonomi domestik selama tahun 2007, perkembangan inflasi yang secara umum terkendali menuju sasaran yang ditetapkan, serta pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tetap konsisten dan hati-hati telah mempertebal kepercayaan pasar terhadap rupiah. Di tengah rangkaian kejutan eksternal, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 mencapai 6,3% dan tingkat inflasi mencapai 6,59%, sementara kondisi fiskal tetap sustainable. Di samping itu, kinerja transaksi berjalan (NPI) pada tahun 2007 juga mencatat surplus yang cukup besar dengan cadangan devisa yang meningkat signifikan. Kondisi fundamental ekonomi yang terjaga tersebut berdampak positif dalam mempertahankan kepercayaan investor asing terhadap kondisi dan prospek ekonomi Indonesia di tengah gejolak eksternal. Hal tersebut bersama imbal hasil investasi rupiah yang dalam skala regional cukup tinggi mengakibatkan tetap tingginya arus modal portofolio

global selama tahun 2007, meskipun sempat mengalami pembalikan (capital reversal) secara terbatas akibat efek beberapa kejutan eksternal.

Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid berdampak pada meningkatnya potensi pasokan valas dan cadangan devisa sehingga mendukung perkembangan nilai rupiah yang stabil. Pada tahun 2007, neraca transaksi berjalan mencatat surplus $11 miliar, lebih tinggi dari tahun 2006 sebesar $10,8 miliar. Besarnya surplus tersebut telah berperan sebagai penyangga dalam mengimbangi penurunan surplus neraca modal, terutama akibat pembalikan arus modal portofolio asing. Meskipun pada triwulan III-2007 sempat terjadi pembalikan arus modal asing, secara keseluruhan tahun 2007 neraca transaksi investasi portofolio mencatat surplus $10 miliar. Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid juga tercermin dari peningkatan cadangan devisa dan aktiva luar negeri bersih sistem moneter (Net Foreign Asset). Cadangan devisa meningkat dari $42,6 miliar pada tahun 2006 menjadi $56,9 miliar pada tahun 2007. Sementara itu, aktiva luar negeri bersih –sebagai indikator potensi pasokan valas di pasar valas domestik– meningkat dari $45,9 miliar pada tahun 2006 menjadi $55,71 miliar pada tahun 2007 (Grafik 4.3).

Faktor risiko investasi di Indonesia membaik sejalan dengan terjaganya fundamental ekonomi. Perkembangan fundamental ekonomi sebagaimana diuraikan di atas berdampak positif terhadap penurunan risiko investasi pada aset keuangan rupiah. Beberapa indikator risiko menunjukkan perkembangan yang membaik sepanjang

Grafik 4.1 Rata-rata Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

Rata-rata Bulanan Rata-rata Tahunan Rata-rata Triwulan

Rp/$

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 2006

Grafik 4.2 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Volatilitasnya

Kurs Harian Volatilitas Rata-rata Volatilitas

Rp/$ 20,0

17,5 15,0 12,5 10,0 7,5 5,0 2,5

volatilitas, persen

3,87

1,44

1/2 2/8 3/17 4/25 6/1 8/16 9/22 10/31 12/7 1/15 2/21 3/30 5/8 6/14 7/23 8/29 10/5 11/13 12/20

2006 2007

69 Risiko Membaik

Risiko Memburuk

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep NFA (Aktual)

2006 2007 Cadangan Devisa

ICRG Composite Actual

Rp/$ Sumber: International Country Risk Guide, November 2007

Grafik 4.3 Grafik 4.4 Cadangan Devisa, NFA, dan Rupiah

Country Risk Index Indonesia

tahun 2007 sebagaimana tercermin pada peringkat kredit Indonesia dari ‘BB‘ menjadi ‘BB+‘ pada 31 Oktober Indonesia (sovereign credit rating) yang ditingkatkan

2007. JCRA juga meningkatkan rating Indonesia dari oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional dan

’BB-‘ menjadi ’BB’ pada 6 September 2007. Peringkat perbaikan indeks risiko negara (Country Risk Index).

Indonesia tersebut semakin mendekati ‘investment-grade’ Perkembangan fundamental ekonomi yang semakin

dan level peringkat kredit sebelum krisis. membaik dan pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tetap konsisten dan hati-hati menjadi pertimbangan dalam

Di samping peringkat kredit, indikator risiko lainnya seperti perbaikan sovereign credit rating Indonesia oleh Moody’s,

indeks risiko negara yang diterbitkan oleh International Rating and Investment Information (R & I), serta Japan

Country Risk Guide juga menunjukkan perbaikan secara Credit Rating Agency (JCRA). Moody’s meningkatkan

gradual dari 68 pada tahun 2006 menjadi 70,5 pada rating Indonesia dari ’B1’ menjadi ’B1+’ pada 1 Agustus

Oktober 2007 (Grafik 4.4). Indikator risiko berupa selisih 2007, dan meningkatkannya lagi menjadi ’Ba3’ pada

imbal hasil (yield spread) antara global bond Indonesia

18 Oktober 2007. Sementara itu, R&I menaikkan rating dan US T-note juga menunjukkan peningkatan. Namun, peningkatan ini lebih disebabkan oleh yield US T-note yang menurun akibat naiknya penanaman dana global ke instrumen ini terkait dengan krisis subprime mortgage di

Rp/$

Persen

AS (Grafik 4.5).

Perkembangan imbal hasil investasi pada aset rupiah sepanjang tahun 2007 tetap terjaga. Meskipun BI Rate

mengalami penurunan sejak akhir tahun 2005 sampai

November 2007, dalam skala regional tingkat suku bunga Indonesia tetap kompetitif. Imbal hasil investasi rupiah

yang diukur baik dengan selisih suku bunga dalam dan

luar negeri (uncovered interest rate parity - UIP) maupun dengan memperhitungkan risiko, yaitu minus selisih yield

global bond RI dengan US T-notes (covered interest

rate parity - CIP), cenderung menurun. UIP menurun

Rp/$

drastis dari 4,16% pada akhir tahun 2006 menjadi 2,70%

Yield Spread

(Grafik 4.6). Penurunan tersebut disebabkan turunnya BI

Sumber: Bloomberg

Rate sebesar 175 bps sepanjang tahun 2007. Sementara

Grafik 4.5

Yield Spread Global Bond RI-US T-note

2 Suku bunga dalam negeri menggunakan suku bunga JIBOR Rupiah tenor 1 bulan dan suku bunga luar negeri menggunakan suku bunga SIBOR berdenominasi dolar AS tenor 1 bulan.

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov 1/9/06 3/28/06 6/14/06 8/31/06 11/17/06 2/3/07 4/22/07 7/9/07 9/25/07 12/12/07 2005

Indonesia Philipina

Indonesia

Philipina

Thailand Malaysia

Thailand

Malaysia

Sumber: Bloomberg

Sumber: Bloomberg

Grafik 4.6 Grafik 4.7 Selisih Suku Bunga Domestik dan Luar Negeri

Yield Spread Domestic Bond-US T-note Beberapa Negara Kawasan

Beberapa Negara Kawasan

itu, CIP mencapai 0,45% pada akhir tahun 2007, jauh

Faktor Internasional

lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai Pada paruh pertama tahun 2007, pasar keuangan 2,94%. Meskipun menurun, suku bunga Indonesia relatif

dunia diwarnai ekses likuiditas serta tren pelemahan masih lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga di

dolar AS sebagai bagian dari proses penyesuaian beberapa negara kawasan. Hal itu mengimplikasikan

ketidakseimbangan perekonomian global. Kondisi investasi pada aset rupiah masih lebih menguntungkan.

tersebut meningkatkan arus dana portofolio dari negara Sebagaimana ukuran imbal hasil berdasarkan suku bunga,

dengan mata uang berbunga rendah ke mata uang investasi pada obligasi rupiah juga menawarkan imbal

berbunga tinggi (transaksi carry trade), terutama negara hasil yang menarik, seperti tercermin pada selisih yield

emerging markets termasuk pasar keuangan Indonesia. obligasi domestik dan US T-notes yang paling tinggi dalam

Pengambilan risiko oleh investor global di pasar keuangan skala negara kawasan (Grafik 4.7). Imbal hasil investasi

negara emerging markets juga meningkat seiring dengan rupiah yang tinggi menjadikan pasar keuangan Indonesia

semakin membaiknya kondisi fundamental makroekonomi tetap menjadi salah satu tujuan menarik bagi arus masuk

di negara-negara tersebut. Hal itu tercermin dari semakin modal portofolio global.

menyempitnya yield obligasi negara emerging markets terhadap obligasi pemerintah AS sebagai ukuran ’risk appetite’ investor global (Grafik 4.8).

Risiko global memburuk pada paruh kedua tahun 2007

dipengaruhi krisis subprime mortgage. Krisis tersebut

memicu gejolak di pasar keuangan global mulai akhir

Juli 2007 dan mengakibatkan investor global melakukan

penilaian ulang risiko (repricing of risk) terhadap risiko

berinvestasi pada aset emerging markets. Perkembangan

tersebut mendorong penarikan dana dari aset emerging

markets termasuk dari aset rupiah (flight to quality).

Tekanan selanjutnya muncul dari kenaikan harga minyak

yang mencapai $98,9 per barel , tertinggi sepanjang

2007. Meskipun kenaikan harga minyak meningkatkan

EMBIG Spread

Kurs (RHS)

pembelian valas untuk kebutuhan impor tetapi tekanannya

terhadap rupiah minimal. Tekanan harga minyak terhadap rupiah lebih diakibatkan oleh penyesuaian portofolio

Sumber: JP Morgan

Grafik 4.8 Risk Appetite (EMBIG Spread) dan Kurs Rupiah

asing di pasar SUN dalam skala terbatas sehubungan

3 Harga minyak WTI per 20 November 2007.

90 -6,00 -4,24 Jan

Point to point

EUR KRW

THB

Peningkatan indeks = Apresiasi mata uang terhadap $ 1 Jan. 2007 = 100

Grafik 4.10 Grafik 4.9

Apresiasi/Depresiasi Beberapa Mata Uang Global Indeks Nilai Tukar Beberapa Mata Uang Global

Sepanjang Tahun 2007 Dibandingkan dengan Tahun 2006

dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan bersifat spekulatif sehingga secara umum berpengaruh inflasi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, selama

positif terhadap nilai tukar rupiah. paruh kedua tahun 2007 rupiah cenderung terdepresiasi dibandingkan dengan mata uang global lainnya (Grafik 4.9

Arus dana investasi asing sebagian besar masuk pada dan Grafik 4.10).

periode awal tahun sebelum terjadinya krisis subprime mortgage di AS pada akhir Juli 2007. Sekalipun arus

masuk dana investasi asing cukup besar, secara Aliran masuk dana asing mendorong perkembangan pasar

Transaksi di Pasar Valas

keseluruhan tahun terjadi ekses permintaan valas. valas, di samping menyeimbangkan pasokan-permintaan

Sepanjang tahun 2007, aliran dana investasi asing yang valas. Berkembangnya pasar valas domestik tercermin

masuk ke pasar valas domestik (net inflow) mencapai pada volume transaksi yang meningkat. Peningkatan

$4,0 miliar, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan net volume transaksi terjadi di pasar spot, forward ataupun

inflow tahun 2006 yang mencapai $4,3 miliar. Di sisi swap. Total volume transaksi valas di pasar spot

lain, pelaku domestik mengalami ekses permintaan sepanjang tahun 2007 mencapai $561 miliar, meningkat 43,5% dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai $391 miliar (Grafik 4.11). Sementara itu, volume transaksi valas di pasar forward ataupun swap meningkat masing-

masing sebesar 19,1% dan 45,1% menjadi $28 miliar 2.500

dan $192 miliar pada tahun 2007. Struktur pasar spot relatif tidak mengalami perubahan. Transaksi spot masih 2.000

didominasi oleh pertukaran antara dolar AS dan rupiah 1.576

seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Volume transaksi spot semakin dominan dibandingkan dengan transaksi forward dan swap. Hal tersebut terlihat 561

dari peningkatan pangsa transaksi spot dari tahun ke tahun (Grafik 4.12). Peningkatan pangsa transaksi spot

tersebut, antara lain, disebabkan oleh pembatasan 2007

transaksi derivatif yang diberlakukan mulai Juli 2005 4 . Hal

Volume Total ($ Miliar) Rata-rata Harian ($ Juta)

tersebut mengakibatkan berkurangnya transaksi yang

Grafik 4.11

4 Melalui PBI no 7/14/PBI/2005 mengenai Pembatasan Transaksi

Transaksi Valas-Spot

Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank.

2007 Spot Forward

2006

Net S(+)/D(-) dari Pelaku LN Swap

Net S(+)/D(-) dari Pelaku DN

Net S(+)/D(-) Total Pelaku DN+LN

Kurs (RHS)

Grafik 4.12 Grafik 4.13 Perbandingan Transaksi Spot, Forward, dan Swap

Permintaan dan Pasokan Valas

valas sebesar $4,4 miliar, lebih tinggi dibandingkan pemerintah (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). dengan tahun 2006 yang mencapai $4,2 miliar. Dengan

Proporsi terbesar dana asing tersebut ditempatkan pada demikian, untuk tahun 2007 pasar valas (interbank market)

saham dengan total nilai mencapai Rp32,6 triliun ($3,6 mengalami ekses permintaan sebesar $372 juta, berbeda

miliar). Penempatan pada saham menjadi pilihan investor dengan tahun sebelumnya yang justru mengalami ekses

di tengah tren turunnya suku bunga dan turunnya yield penawaran sebesar $181 juta (Grafik 4.13). Hal tersebut

spread obligasi. Sekalipun demikian, yield spread obligasi mengindikasikan terjadinya peningkatan tekanan terhadap

Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara rupiah sehingga sekalipun rupiah secara rata-rata tahunan

lain. Sementara itu, penempatan pada SUN sepanjang bergerak menguat terhadap dolar AS, tetapi secara point

tahun ini mencapai Rp23,2 triliun ($2,6 miliar), kedua to point melemah.

terbesar setelah saham. Dengan demikian, kepemilikan asing pada SUN meningkat dengan total nilai mencapai

Aliran dana asing pada tahun 2007 ditempatkan pada Rp78,2 triliun ($8,4 miliar). Sementara itu, penempatan beberapa aset keuangan rupiah, yakni saham, obligasi

investor asing pada SBI juga meningkat sekitar Rp9,9 triliun ($1,2 miliar) sehingga total nilai kepemilikan asing pada SBI meningkat menjadi Rp28 triliun atau $3 miliar (Grafik 4.14).

juta $ 16.000

Kebijakan yang Ditempuh

14.000

Kestabilan nilai tukar rupiah selama tahun 2007

12.000

didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar yang

10.000

tetap diarahkan untuk menjaga konsistensinya dengan

8.000

pencapaian keseimbangan internal dan eksternal

perekonomian. Dalam kaitan tersebut, kebijakan intervensi di pasar valuta asing tetap dilakukan secara terukur untuk

6.000

4.000

menjaga volatilitas nilai tukar. Hal tersebut tercermin pada

2.000

volatilitas rupiah yang secara tahunan menurun dari 3,9%

pada tahun 2006 menjadi 1,4% pada tahun 2007. Selain

kebijakan intervensi, Bank Indonesia juga melakukan

SUN SBI+SUN SBI

penguatan strategi komunikasi serta peningkatan

Sumber: Departemen Keuangan

efektivitas peraturan kehati-hatian dan pemantauan lalu

dan Bank Indonesia

lintas devisa.

Grafik 4.14 Posisi Kepemilikan Asing pada SUN dan SBI

71

72