Kronologis Krisis Subrime Mortgage

Kronologis Krisis Subrime Mortgage

Rendahnya suku bunga di AS dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2004, melonggarnya ketentuan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan persaingan antara lembaga penyalur kredit, telah meningkatkan penyaluran KPR ke masyarakat dengan creditworthiness yang rendah (subprime borrower). Penyaluran KPR untuk nasabah subprime yang pada tahun 2002 hanya mencapai $213 miliar, meningkat menjadi $665 miliar pada tahun 2005. Di pihak lain, sekuritisasi dengan agunan berbasis KPR subprime terus meningkat melalui financial engineering yang dikemas dalam bentuk Asset Backed Securities (ABS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO).

Besarnya potensi keuntungan yang diraih dari sekuritisasi subprime mortgage mendorong beberapa lembaga keuangan besar masuk bisnis ini termasuk Bear & Sterns, HSBC, dan Citigroup. Kemasan produk CDO menjadi semakin menarik karena memperoleh rating yang tinggi dari lembaga pemeringkat termasuk Standard and Poor’s dan Moody’s. Imbal hasil yang tinggi juga menarik minat investor dari banyak negara untuk membeli CDO tersebut. Selama tahun 2003-2007 penerbitan ABS dan CDO yang beragunan subprime mortgage meningkat tajam sehingga pada tahun 2006 mencapai lebih dari $450 miliar.

Mengapa bisnis yang terkait subprime mortgage cepat berkembang menjadi krisis global? Sebagian besar dari KPR menggunakan Adjustable Rate Mortgage (ARM) yang suku bunganya tetap pada beberapa tahun pertama dan selanjutnya menyesuaikan dengan suku bunga pasar. Dengan risiko kredit nasabah subprime yang cukup tinggi maka suku bunga yang dibebankan adalah ARM ditambah margin tertentu.

Sejalan dengan tren suku bunga yang meningkat sejak pertengahan tahun 2004, beban pembayaran angsuran nasabah subprime menjadi semakin berat. Hal itu menyebabkan mereka tidak lagi mampu membayar sehingga menimbulkan kredit macet yang terus meningkat (Grafik 1). Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar. Pada pertengahan

tahun 2007, akumulasi permasalahan kredit macet sektor perumahan di AS memuncak dan akhirnya menimbulkan gejolak di pasar keuangan global (Grafik 2). Kredit macet yang meningkat tinggi menyebabkan investor menilai ulang investasinya di CDO karena semakin menurunnya nilai agunan dari surat berharga tersebut. Harga CDO pun merosot tajam. Sementara itu, rentetan kerugian yang dialami lembaga penyalur KPR mengakibatkan harga sahamnya juga berjatuhan di bursa saham AS yang merembet ke seluruh saham di sektor keuangan terutama perbankan.

Kejatuhan harga saham di AS pada gilirannya berimbas dalam skala global terutama harga saham lembaga keuangan di luar AS yang memiliki eksposur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terhadap CDO. Investor global yang menyadari memiliki eksposur terhadap CDO juga serentak menilai ulang risiko investasinya (repricing of risk). Akibatnya, terjadi pengalihan dana besar-besaran dari aset keuangan yang dipandang berisiko ke aset yang relatif aman seperti obligasi pemerintah AS (flight to quality).

Grafik 1 Perkembangan Kredit Perumahan yang Bermasalah

Subprime Prime (RHS)

Sumber: Bloomberg

Dampak Krisis Subprime Mortgage terhadap Pasar Keuangan Indonesia

Krisis kepercayaan terhadap CDO meluas sehingga menyebabkan lembaga keuangan penyalur KPR dan

bps

Rp/$

perusahaan penerbit commercial paper yang beragunan

aset atau ‘Asset Backed Commercial Paper’ (ABCP)

semakin sulit memperoleh dana di pasar kredit. Hal

tersebut terjadi karena investor banyak yang menolak

memperpanjang penempatan dana di ABCP. Sektor

perbankan sebagai penjamin ABCP harus mengambil alih 230

pemenuhan dana dari penyalur KPR yang pada gilirannya

membebani neraca bank. Perkembangan tersebut

menyebabkan ketatnya pasar uang antarbank khususnya

yang bertenor 3 bulan. Langkah Federal Reserve

menurunkan suku bunga pada Agustus 2007 dan injeksi

likuiditas melalui koordinasi dengan sejumlah bank sentral

EMBIG Spread

lain dalam jumlah besar hanya mampu meredam gejolak

Kurs (RHS)

pasar keuangan sesaat.

Sumber: JP Morgan

Grafik 2

Kejatuhan harga rumah yang terus berlanjut,

Risk Appetite (EMBIG Spread) dan Kurs Rupiah

ketidakstabilan di pasar keuangan, dan ketatnya standar penyaluran KPR pada gilirannya menekan konsumsi masyarakat AS. Selain itu, sektor manufaktur juga mulai

Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, risk terkena imbas dari melemahnya konsumsi sehingga

appetite investor global terhadap aset emerging markets mendorong gelombang pemutusan hubungan kerja. Di

menurun seperti tercermin dari meningkatnya spread pihak lain, sejumlah lembaga keuangan termasuk bank-

EMBIG (Emerging Market Bond Index Global) terhadap US bank investasi AS terkemuka melaporkan kerugian yang

Treasury Bond. Perkembangan risk appetite tersebut juga cukup besar dari bisnis CDO dan sampai akhir tahun

berkorelasi kuat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. 2007 total kerugiannya melampaui $100 miliar. Menjelang

Hal tersebut tercermin pada melebarnya spread EMBIG akhir tahun 2007 ekonomi AS pun semakin dibayangi

yang diikuti dengan tekanan depresiasi terhadap rupiah resesi sehingga tekanan di pasar keuangan global terus

(Grafik 2).

berlanjut. Arus keluar dana asing mengalami eskalasi sejak

Bergejolaknya pasar keuangan global akibat efek lanjutan Juni 2007 dan berlanjut hingga Agustus 2007, yang krisis subprime mortgage menyebabkan investor global

menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah serentak melakukan penilaian ulang terhadap profil risiko

(Grafik 3). Penarikan dana investasi asing dari pasar investasinya. Penarikan dana dari investasi di pasar

keuangan negara berkembang yang dipandang berisiko pun meningkat sehingga menimbulkan tekanan terhadap mata uang di sebagian besar negara tersebut. Selain

itu, penarikan dana investor global tersebut merupakan Rp/$

upaya untuk menutup kerugian dari investasinya di pasar

keuangan negara maju yang jatuh tajam.

Dampaknya terhadap Pasar Keuangan Domestik

Excess Supply

Lembaga keuangan di Indonesia teridentifikasi tidak

memiliki eksposur terhadap surat berharga beragunan

subprime mortgage. Meskipun demikian, gejolak pasar

keuangan global yang dipicu krisis subprime mortgage

telah meningkatkan volatilitas dan ketidakpastian sehingga Excess Demand

mendorong arus keluar dana asing dari instrumen 7.500

investasi rupiah. Dalam kondisi pasar keuangan global

yang bergejolak investor cenderung menyelamatkan

Net S(+0/D(-) dari Pelaku DN

Net S(+0/D(-) dari Pelaku LN

dananya dengan menghindari instrumen investasi berisiko Kurs (RHS) (risk aversion), termasuk instrumen yang diterbitkan

Net S(+)/D(-) Total Pelaku DN+LN

emerging markets seperti Indonesia. Grafik 3

Supply Demand Valas Berdasarkan Transaksi Spot

juta $ 5.000

resesi dan disertai dengan terjadinya rangkaian kerugian

sejumlah lembaga keuangan besar. Bersamaan dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia mendekati $100

per barel, perkembangan tersebut kembali mendorong

arus keluar dana asing. Akibatnya, nilai tukar rupiah

kembali tertekan meskipun tekanan tersebut kembali

0 mereda menjelang penutupan akhir tahun 2007.

Meskipun pasar keuangan Indonesia turut terkena

imbas krisis subprime mortage di AS, dampak yang

-3.000 Jan

ditimbulkannya masih dapat diminimalkan. Kondisi

fundamental ekonomi yang didukung pengelolaan

SBI SUN

Saham

kebijakan makroekonomi yang semakin membaik menjadikan perekonomian Indonesia semakin memiliki daya tahan terhadap kejutan eksternal seperti subprime

Grafik 4

Aliran Dana Asing pada SBI, SUN, dan Saham

mortgage. Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya di mana kejutan eksternal menimbulkan gejolak berkepanjangan yang mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga secara siginifikan dan Pemerintah

keuangan Indonesia sebagian berasal dari SBI dan

mengurangi subsidi BBM.

obligasi negara. Meskipun demikian, investasi asing di bursa saham masih terus masuk (Grafik 4). Setelah itu

Membaiknya kondisi fundamental ekonomi Indonesia arus dana keluar mereda, bahkan kembali masuk dalam

tercermin dari surplus neraca pembayaran yang besar, laju jumlah besar setelah The Fed menurunkan Fed Fund Rate

inflasi yang sampai akhir tahun 2007 tetap terkendali, dan sebesar 50 basis poin pada 18 September 2007.

ekspansi perekonomian yang terus berlanjut. Selain itu, instrumen investasi rupiah menawarkan imbal hasil yang

Krisis subprime mortgage ternyata lebih dalam dan luas tetap menarik, bahkan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. dari yang diperkirakan semula. Pada November 2007

Kondisi tersebut di atas menjadikan pasar keuangan pasar keuangan kembali bergejolak karena krisis sektor

Indonesia tetap menarik sebagai tujuan investasi global.

Bab 5

Perkembangan Inflasi