Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya
Bab 9: Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya
Kinerja perbankan pada tahun 2007 meningkat secara signifikan sejalan dengan kondisi perekonomian yang semakin kondusif. Peningkatan kinerja tersebut terutama tercermin pada penyaluran kredit yang melampaui target, kualitas kredit yang semakin baik, dan rasio kecukupan modal yang jauh di atas ketentuan minimum. Perhatian perbankan dalam penyaluran kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) masih tetap tinggi yang tercermin pada peningkatan pertumbuhan kredit MKM pada tahun laporan. Sementara dari sisi permodalan, perbankan mampu memenuhi persyaratan modal minimum yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar Rp80 miliar. Sejalan dengan perkembangan positif pada bank umum, perkembangan perbankan syariah dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga menunjukkan kinerja yang terus meningkat.
Kinerja pasar modal dan lembaga keuangan lainnya juga memperlihatkan peningkatan yang menggembirakan. Meningkatnya kinerja pasar modal tercermin pada IHSG yang mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah bursa saham Indonesia. Peningkatan kinerja juga terjadi di pasar
obligasi, baik obligasi pemerintah (SUN) maupun obligasi korporasi. Meningkatnya aktivitas di pasar modal tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana investasi yang tercermin dari meningkatnya jumlah penerbitan saham dan obligasi. Di pasar reksadana, nilai aktiva bersih juga mengalami lonjakan yang signifikan mengikuti tren peningkatan di pasar saham dan obligasi. Peningkatan kinerja juga ditunjukkan oleh perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, dan dana pensiun yang ditunjukkan oleh peningkatan total aset, pembiayaan yang disalurkan, dan dana investasi yang dikelola.
Peningkatan kinerja perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya tidak terlepas dari paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Di bidang perbankan, peningkatan penyaluran kredit didorong oleh kebijakan penurunan BI Rate dan penyesuaian berbagai ketentuan, terutama pada ketentuan penilaian aktiva produktif bank pada Maret 2007. Di pasar modal, kebijakan diarahkan pada peningkatan infrastruktur, efisiensi, daya saing, dan kualitas pengawasan. Salah satu langkah yang
127
diambil adalah penggabungan antara Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Selanjutnya, untuk mendukung pendalaman pasar keuangan, Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pengembangan produk seperti produk keuangan syariah dan obligasi daerah.
Perkembangan Bank Umum Pelayanan perbankan kepada masyarakat semakin luas dengan bertambahnya jumlah kantor bank. Semakin berkembangnya perekonomian di berbagai daerah dan tingginya persaingan untuk menarik nasabah mendorong bank untuk lebih meningkatkan dan melengkapi pelayanannya kepada masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan jumlah jaringan kantor pelayanan sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah kantor bank pada tahun laporan sebanyak 570 kantor menjadi 9.680 kantor (Tabel 9.1).
Peningkatan pelayanan tersebut diikuti oleh perbaikan kinerja perbankan (Tabel 9.2). Salah satu indikator peningkatan kinerja perbankan adalah pertumbuhan kredit yang mencapai 25,5%, lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar 22%. Pencapaian tersebut juga diikuti oleh membaiknya kualitas kredit perbankan yang tercermin dari menurunnya rasio NPL, baik secara gross maupun net. Peningkatan penyaluran kredit –bersamaan dengan turunnya suku bunga dana– berdampak
positif pada profitabilitas bank yang ditunjukkan oleh meningkatnya net interest income (NII). Perbankan juga berhasil mempertahankan rasio kecukupan modal (CAR) pada level yang tinggi di atas batas minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Berbagai perkembangan positif tersebut juga mengindikasikan bahwa ketahanan perbankan pada tahun 2007 lebih baik dari tahun sebelumnya sehingga dapat menjadi modal yang kuat untuk menghadapi tantangan dan peningkatan intermediasi pada tahun 2008.
Pertumbuhan kredit lebih tinggi daripada pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Pada akhir tahun 2007, total kredit perbankan mencapai Rp1.045,7 triliun, dengan pertumbuhan 25,5%. Sementara itu, dana pihak ketiga mencapai Rp1.510,7 triliun, dengan pertumbuhan 17,4%. Peningkatan kredit yang signifikan tersebut meningkatkan pangsa kredit dalam aktiva produktif perbankan dari 53,6% menjadi 57,3% (Grafik 9.1). Kondisi tersebut mendorong peningkatan loan to deposit ratio (LDR) perbankan menjadi sebesar 69,2%, yang merupakan rasio tertinggi pascakrisis (Grafik 9.2). Pencapaian kinerja kredit tersebut meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan ekonomi.
Kredit perbankan masih didominasi oleh kredit modal kerja (KMK) dan kredit konsumsi (KK) yang berjangka pendek. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, porsi KMK naik menjadi sebesar 53,2%. Sementara itu, porsi KK dan kredit investasi (KI) turun masing-masing menjadi sebesar 28,2% dan 18,6% (Tabel 9.3). Dari sisi pertumbuhan, KI pada tahun laporan tumbuh sebesar 23,2%, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
Tabel 9.1 Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank 1 Kelompok Bank
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Bank Umum Jumlah Bank
Jumlah Kantor 6.510 6.765 7.001 7.730 7.939 8.236 9.110 9.680 Bank Persero Jumlah Bank
Jumlah Kantor 1.736 1.807 1.885 2.072 2.112 2.171 2.548 2.765 BPD Jumlah Bank
26 26 26 26 26 26 26 26
Jumlah Kantor 826 857
909 1.003 1.064 1.107 1.217 1.205
BUSN Devisa Jumlah Bank
38 38 36 36 34 34 35 35
Jumlah Kantor 3.302 3.432 3.565 3.829 3.947 4.113 4.395 4.694 BUSN Non Devisa Jumlah Bank
43 42 40 40 38 37 36 36
Jumlah Kantor 535 556
Bank Campuran Jumlah Bank
29 24 24 20 19 18 17 17
Jumlah Kantor
58 53 53 57 59 64 77 96
Bank Asing Jumlah Bank
10 10 10 11 11 11 11 11
Jumlah Kantor
53 60 61 69 69 72 114
142
1 Tidak termasuk BRI Unit Desa
Grafik 9.1 Komposisi Aktiva Produktif
Kredit SBI
Surat Berharga Antar Bank
Penyertaan
0,7 0,3 0,5
0,6
0,6 0,5 0,4 0,3 13,9
15,1 12,7
10,8
9,3 12,6 10,6 8,0
48,8 45,1 41,3
36,3
31,3 27,7 23,2 20,0
6,3 7,5
7,8
9,9
8,5 4,3
12,1
14,3
30,3 32,0
37,7
42,5
50,3 55,0 53,6 57,3
128
KMK dan KK yang masing-masing mencapai 28,6% dan 24,9%. Namun, pertumbuhan KI tersebut jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor penting yang menghambat akselerasi KI adalah rendahnya realisasi kredit infrastruktur, yang tercermin pada rasio penarikan kredit infrastruktur yang telah disetujui sebesar 26,7%. Relatif rendahnya porsi kredit investasi mencerminkan belum optimalnya peningkatan kredit perbankan dalam mendukung pembiayaan jangka panjang.
Kredit konsumsi 1 menjadi pilihan bank karena karakteristik debiturnya tersebar dan plafonnya kecil sehingga risikonya lebih terdiversifikasi dan terukur. Terdapat 20 bank yang pangsa kredit konsumsinya di atas 75% dan 13 bank dengan pangsa kredit konsumsi antara 50%-75%. Kredit konsumsi didominasi oleh jenis kredit pemilikan rumah (KPR) dengan porsi sebesar 33,4% atau 9,0% dari total kredit perbankan. Dari segi pertumbuhan, KPR juga memiliki pertumbuhan tertinggi sebesar 29,6%, disusul kartu kredit sebesar 19,7% (Grafik 9.3). Penyaluran KPR didominasi oleh kelompok bank swasta devisa dan bank BUMN dengan pangsa masing-masing sebesar 45,8% dan 40,8%. Untuk kartu kredit dikuasai oleh bank asing dengan pangsa sebesar 49,7%, disusul bank swasta devisa sebesar 26,5%, dan bank BUMN sebesar 15,9%. Sementara itu, penyaluran jenis kredit konsumsi lainnya dikuasai oleh kelompok bank BUMN dengan pangsa sebesar 31,8%, diikuti bank swasta devisa dan BPD dengan pangsa masing-masing sebesar 29,5% dan 25,4%.
Secara umum, kualitas kredit konsumsi cukup baik kecuali untuk kartu kredit. Nominal NPL kartu kredit meningkat cukup signifikan (65,0%) dibandingkan dengan tahun
1 Jenis kredit konsumsi yang disediakan perbankan antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kartu kredit, kredit kendaraan bermotor, kredit alat rumah tangga atau elektronik, kredit renovasi rumah, kredit biaya sekolah, kredit liburan, kredit tanpa agunan, dan kredit multiguna.
sebelumnya sehingga rasio NPL gross-nya meningkat dari 9,1% menjadi 12,2%. Sementara NPL gross untuk KPR dan kredit konsumsi lainnya tercatat cukup rendah, yaitu masing-masing sebesar 3,0% dan 1,9%. Walaupun NPL gross KPR dan kredit konsumsi lainnya mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya, trennya cenderung stabil pada level yang rendah. Sementara tren NPL gross kartu kredit meningkat tajam sejak tahun 2006 (Grafik 9.4). Strategi pemasaran kartu kredit yang memberikan banyak kemudahan mendorong masyarakat menjadi lebih konsumtif sehingga intensitas debitur menggunakan kartu kredit semakin tinggi. Di sisi lain, kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM belum sepenuhnya pulih. Untuk itu, bank harus lebih selektif dalam menerbitkan kartu kredit untuk menghindari peningkatan NPL lebih lanjut.
Tambahan kredit terbesar pada tahun laporan diberikan kepada sektor perdagangan dan jasa dunia usaha karena dianggap sebagai sektor yang memiliki risiko
Grafik 9.2 Perkembangan Kredit, DPK, dan LDR
1.600 1.400 1.200 1.000
800 600 400 200
1996 2002 2003 2004 2005 2006 2007 LDR (RHS)
DPK Kredit
triliun Rp 140
Tabel 9.2 Indikator Kinerja Bank Umum
Indikator Utama
Total Aset (triliun Rp)
1.693,5 1.986,5 DPK (triliun Rp)
Kredit (triliun Rp) 1 277,3
320,5
358,6
410,3 477,2 595,1 730,2 832,9 1.045,7 LDR (Kredit/DPK, %)
49,1 53,7 61,8 64,7 64,7 69,2 NII (triliun Rp)
1,9 2,5 3,5 2,6 2,6 2,8 NPLs Gross (%)
8,1 8,2 5,8 8,3 7,0 4,6 NPLs net (%)
1 Termasuk kredit channeling.
Kredit dalam valas tumbuh cukup besar sejalan dengan
meningkatnya perdagangan internasional. Pada tahun
persen
75
2007, kredit dalam valas tumbuh sebesar 36,8% atau
65
lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya tumbuh
55
18,5%, sementara kredit dalam rupiah pada tahun
laporan tumbuh sebesar 24,0%. Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa gejolak eksternal yang terjadi
45
35
pada pertengahan tahun sejauh ini belum berdampak
25
terhadap permintaan kredit oleh dunia usaha.
15 5
Kualitas kredit mengalami perbaikan yang cukup
-5
signifikan. NPL gross turun dari 7,0% menjadi 4,6%,
di bawah batas indikatif 5% untuk pertama kalinya
KPR Kartu Kredit
Lainnya
pascakrisis, sedangkan NPL net turun dari 3,6% menjadi 2,3%. Perbaikan kualitas kredit tersebut, terutama didorong oleh program restrukturisasi kredit korporasi
Grafik 9.3 Pertumbuhan Kredit Konsumsi
pada kelompok bank persero. Kredit korporasi yang direstrukturisasi tersebut umumnya disalurkan ke sektor industri pengolahan yang umumnya menggunakan fasilitas kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit valas.
yang terkendali (manageable risk). Kedua sektor tersebut Restrukturisasi kredit tersebut menurunkan NPL gross mendapat tambahan kredit sebesar Rp53,5 triliun dan
sektor industri dari 10,5% menjadi 7,1%, NPL gross pada Rp31,3 triliun dengan kontribusi masing-masing sebesar
kredit modal kerja dari 6,3% menjadi 3,7%, NPL gross 25,5% dan 14,3% terhadap kenaikan kredit perbankan
kredit investasi dari 10,3% menjadi 6,6%, dan NPL gross selama tahun 2007, disusul sektor industri sebesar
kredit valas dari 9,9% menjadi 5,1%. 10,3%. Namun dari sisi pertumbuhan, pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada sektor pertambangan, yakni sebesar
Di sisi penghimpunan dana, penurunan suku bunga 85,9%. Hal itu didorong oleh tingginya harga komoditas
simpanan tidak menurunkan minat masyarakat untuk tambang seperti minyak, gas, batubara, dan nikel yang
menyimpan dananya di perbankan. DPK yang berhasil mendorong pengusaha melakukan ekspansi untuk
dihimpun perbankan pada tahun 2007 tetap meningkat, memanfaatkan momentum kenaikan harga.
Tabel 9.3 Perkembangan Kredit Perbankan
Pangsa (%) Keterangan 2003
Posisi (triliun Rp)
Sektor Ekonomi – Pertanian
25,9 24,6 23,2 20,5 – Listrik, Air dan Gas
3,2 2,9 3,4 3,7 – Jasa Dunia Usaha
10,1 10,4 9,9 11,0 – Jasa Sosial
27,3 30,0 28,7 28,3 Jenis Penggunaan – Kredit Modal Kerja
51,8 51,0 52,3 53,2 – Kredit Investasi
21,2 19,3 19,1 18,6 – Kredit Konsumsi
27,0 29,7 28,6 28,2 Jenis Valuta – Rupiah
100,0 100,0 100,0 100,0 Kredit Channelling
129
130
yakni naik Rp223,8 triliun menjadi Rp1.510,7 triliun. Tabungan tumbuh paling tinggi (31,4%) dan menyumbang 46,8% pada total kenaikan DPK, diikuti oleh giro yang tumbuh 20,0% dan menyumbang 30,1%. Tingginya kenaikan tabungan disebabkan oleh adanya berbagai macam program simpanan berhadiah yang disediakan oleh bank. Di sisi lain, pangsa deposito terhadap total DPK sedikit menurun karena turunnya suku bunga (Tabel 9.4). Pergeseran struktur simpanan tersebut menurunkan biaya dana bank sehingga menurunkan suku bunga kredit, meskipun di sisi lain menurunkan fleksibilitas bank dalam menyalurkan kredit jangka panjang.
Preferensi penempatan DPK dalam valuta asing meningkat sejalan dengan pencabutan ketentuan Bank Indonesia tentang larangan bank menerima tabungan valas. Hal itu berkontribusi pada peningkatan tabungan
valas perbankan. Total DPK valas meningkat Rp32,4 triliun atau tumbuh 16,7% dari posisi tahun sebelumnya. Selain itu, kecenderungan melemahnya nilai rupiah, terutama pada paruh kedua tahun 2007 diantisipasi oleh sebagian nasabah dengan melakukan pengalihan penempatan dana dari rupiah ke valas.
Tren penurunan suku bunga kredit yang lebih lambat dibandingkan dengan suku bunga DPK berdampak pada peningkatan pendapatan bank. Peningkatan pendapatan dimaksud juga diakselerasi oleh peningkatan penyaluran kredit dan penurunan NPL yang tercermin pada peningkatan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) perbankan dari Rp7,7 triliun menjadi Rp8,9 triliun. Peningkatan profitabilitas tersebut sekaligus meningkatkan indikator return on asset (ROA) dari 2,6% menjadi 2,8% yang merupakan rasio ROA tertinggi di Asia.
Kondisi permodalan perbankan masih tetap stabil, meskipun terjadi peningkatan kredit. Meningkatnya kredit membawa konsekuensi pada naiknya aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang harus ditopang oleh permodalan bank. Namun, perkembangan tersebut hanya sedikit menurunkan rasio permodalan bank dari 20,6% menjadi 19,2% dan masih merupakan level permodalan perbankan tertinggi di Asia. Level dimaksud merupakan buffer yang kuat untuk pertumbuhan kredit lebih tinggi dan antisipasi risiko ke depan.
Kredit Mikro Kecil Menengah Target penyaluran kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) perbankan tahun 2007 terlampaui. Pertumbuhan kredit MKM mencapai 22,5%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 15,7%. Pertumbuhan tersebut melampaui target yang ditetapkan sebesar 20%, namun lebih rendah dari pertumbuhan kredit non-MKM sehingga porsinya mengalami sedikit penurunan menjadi 50,2%
Tabel 9.4 Perkembangan Dana Pihak Ketiga Perbankan
Keterangan
Posisi (triliun Rp)
Pertumbuhan (%) Pangsa (%) 2003
Grafik 9.4 NPL Gross Kredit Konsumsi
2003 Kartu Kredit
persen
2007
Lainnya
2002
131
(Tabel 9.5). Sementara itu, kualitas kredit MKM juga membaik yang tercermin pada penurunan rasio NPL dari 4,2% pada tahun 2006 menjadi sebesar 3,5%. Hal itu, antara lain, disebabkan oleh adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan selama tahun 2007. Di antaranya adalah penyesuaian ketentuan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui PBI No.9/6/ PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas PBI No.7/2/ PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, skim penjaminan kredit, linkage program antara bank umum dan BPR dalam membiayai UMKM, pemberian bantuan teknis kepada perbankan dan Business Development Service Provider (BDSP) dalam rangka mempercepat akses UMKM terhadap pembiayaan.
Pertumbuhan kredit MKM didorong oleh kredit konsumsi. Kredit konsumsi meningkat sebesar Rp51,3 triliun (25,4%), sedangkan kredit modal kerja dan kredit investasi hanya meningkat masing-masing sebesar Rp33,6 triliun (19,7%) dan Rp7,4 triliun (20,0%). Kenaikan kredit konsumsi tersebut menyumbang 55,5% pada total kenaikan kredit MKM pada tahun 2007. Hal itu sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga. Secara sektoral, tambahan kredit MKM terbesar pada tahun laporan terjadi pada sektor perdagangan yang diikuti sektor jasa dunia usaha dan sektor konstruksi (Tabel 9.5). Sementara itu, ditinjau dari bank penyalurnya, kelompok bank swasta nasional devisa tetap menjadi penyalur terbesar kredit MKM yang mencapai Rp217,6 triliun yang diikuti kelompok bank
persero sebesar Rp176,7 triliun dan kelompok BPD sebesar Rp67,8 triliun.
Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat Tren penurunan jumlah BPR terus berlanjut melalui program merger. Sepanjang tahun 2007, Bank Indonesia telah memberi persetujuan prinsip kepada
27 BPR, persetujuan izin usaha kepada 25 BPR dan izin penggabungan usaha (merger/konsolidasi) kepada 105 BPR menjadi 19 BPR. Selain itu, Bank Indonesia telah mencabut izin usaha 5 BPR karena permasalahan struktural yang tidak dapat diselamatkan lagi. Dengan demikian, jumlah BPR pada akhir tahun 2007 sebanyak 1.817 BPR atau berkurang sebanyak 63 BPR dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel 9.6).
Penyebaran BPR masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan berada di wilayah kabupaten. Sebanyak 75,6% dari total BPR berada di Pulau Jawa sisanya tersebar di wilayah- wilayah lain di Indonesia. Selain itu, sebanyak 79,3% dari jumlah BPR berada di wilayah kabupaten atau pedesaan. Dengan mengacu pada cetak biru (master plan) BPR, Bank Indonesia terus berupaya untuk mengurangi kesenjangan dan mendorong penyebaran BPR ke seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan ini ditujukan agar seluruh lapisan masyarakat, khususnya UMKM, dapat tersentuh dan merasakan manfaat BPR.
Industri BPR menunjukkan perkembangan kinerja yang positif (Tabel 9.6). Total aset BPR pada tahun
Tabel 9.5 Perkembangan Kredit MKM 1
Keterangan
Posisi (triliun Rp)
Pertumbuhan (%) Pangsa (%)
2006 2007 Jenis Penggunaan
Kredit Modal Kerja
41,7 40,7 Kredit Investasi
9,0 8,9 Kredit Konsumsi
100,0 100,0 Sektor Ekonomi
8,9 7,5 Listrik, Air dan Gas
1,6 1,4 Jasa Dunia Usaha
5,7 6,1 Jasa Sosial
Rasio Kredit MKM/Total Kredit Perbankan
1 tidak termasuk kredit BPR
132
2007 meningkat Rp4,7 triliun (20,4%) dari posisi tahun sebelumnya menjadi Rp27,7 triliun. Peningkatan aset tersebut terutama didorong oleh peningkatan kredit sebesar Rp3,6 triliun (21,2%) menjadi Rp20,5 triliun, sejalan dengan peningkatan DPK sebesar Rp2,9 triliun (18,7%). Dengan perkembangan tersebut, LDR BPR meningkat dari 107,5% menjadi 109,7% atau lebih tinggi dibandingkan dengan LDR bank umum.
Permintaan kredit tetap meningkat meskipun suku bunga kredit yang ditawarkan relatif tinggi. Pada akhir tahun laporan, suku bunga tabungan BPR sebesar 7,6% dan deposito sebesar 11,6%. Walaupun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, suku bunga tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga simpanan bank umum. Relatif tingginya cost of fund yang harus ditanggung oleh BPR berdampak pada tingginya suku bunga kredit BPR yang dikenakan kepada nasabah, yakni sebesar 22,7% per tahun. Namun faktor pertimbangan utama nasabah BPR untuk mengajukan kredit adalah pelayanan dan kecepatan sehingga relatif tingginya suku bunga kredit tidak memengaruhi minat nasabah BPR.
Penyaluran kredit BPR tetap terfokus pada jenis kredit konsumsi. Walaupun mayoritas BPR berada di tengah- tengah masyakat desa, penyaluran dana oleh BPR masih terfokus pada sektor perdagangan (37,6%) dan sektor lain-lain (44,1%). Sementara itu, sektor pertanian yang identik dengan mata pencaharian utama penduduk desa hanya memperoleh porsi pembiayaan sebesar 6,5% dan sektor industri sebesar 1,6%.
Kualitas kredit BPR mengalami perbaikan. Rasio NPL gross BPR menurun dari 9,7% menjadi 8,0%, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum. Penyumbang terbesar tingginya NPL BPR tersebut adalah usaha mikro (78,0%) yang merupakan porsi pembiayaan BPR terbesar. Usaha mikro dimaksud identik dengan sektor informal yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi karena ciri-ciri usahanya yang belum didukung oleh teknologi dan SDM yang memadai. Selain itu, mayoritas usaha mikro
juga belum dilengkapi dengan izin usaha formal sehingga sulit untuk memantau kelangsungan usahanya. Dari jenis penggunaan dan sektor ekonomi, penyumbang terbesar tingginya NPL BPR berasal dari jenis kredit modal kerja dan kredit sektor perdagangan.
Level permodalan BPR cukup tinggi sebagai penyangga risiko sekaligus faktor pendukung pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Hal itu tercermin pada CAR BPR yang mencapai 22,3%. Mayoritas BPR (52,5%) beroperasi dengan modal inti antara Rp1-10 miliar dan hanya sebesar 16,4% yang mempunyai modal inti di bawah Rp500 juta. Secara individu masih terdapat 66 BPR yang belum mampu memenuhi 40% modal disetor minimum yang seharusnya wajib dipenuhi pada akhir Desember 2006.
Kebijakan Perbankan Konvensional Kebijakan perbankan pada tahun laporan tetap difokuskan untuk mendorong fungsi intermediasi dan untuk memperkuat kondisi atau ketahanan perbankan. Kedua tujuan kebijakan tersebut saling berkaitan karena untuk memaksimalkan peran perbankan dalam mendukung kegiatan perekonomian melalui penyaluran kredit, diperlukan kondisi dan struktur perbankan yang kuat. Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan sepanjang tahun 2007 dilakukan dengan menitikberatkan pada implementasi program jangka pendek-menengah dan jangka panjang.