Perkembangan Ekonomi Daerah

Bab 3: Perkembangan Ekonomi Daerah

Perkembangan ekonomi daerah pada tahun 2007 menunjukkan kinerja yang membaik, tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan inflasi yang relatif stabil di beberapa daerah. Dilihat dari kontribusinya, pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabalnustra) dan wilayah Jakarta-Banten masih menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Kali-Sulampua) menyebabkan sumbangan wilayah tersebut terhadap pertumbuhan nasional meningkat. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi daerah terutama ditopang oleh tingginya pertumbuhan konsumsi dan ekspor. Investasi juga tumbuh membaik terutama investasi pada sektor pertambangan dan perkebunan. Di sisi harga, inflasi nasional yang relatif stabil didukung oleh relatif rendahnya inflasi di beberapa daerah penyumbang inflasi terbesar. Meskipun kinerja perekonomian di beberapa daerah membaik, perbedaan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi antardaerah masih cukup tinggi. Hal tersebut tetap perlu menjadi perhatian bersama agar kesenjangan pendapatan antardaerah dapat semakin dikurangi.

Perkembangan Perekonomian Wilayah Perekonomian daerah sepanjang tahun 2007

Di sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi daerah sebagian memperlihatkan perkembangan yang membaik, tercermin

besar disumbang oleh sektor perdagangan, sektor industri dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang

pengolahan, dan sektor pertanian. Pertumbuhan sektor stabil di beberapa daerah. Dilihat dari kontribusinya,

perdagangan dan industri yang cukup tinggi, terutama pertumbuhan ekonomi nasional masih disumbang,

terjadi di wilayah Jabalnustra. Selain itu, ekspansi ekonomi terutama, oleh, wilayah Jakarta-Banten dan Jabalnustra.

di wilayah Jabalnustra, Sumatera dan Kali-Sulampua, Dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar

juga ditopang oleh pertumbuhan sektor pertanian. 6,4% dan 6,2%, kontribusi wilayah Jakarta-Banten dan

Namun, membaiknya pertumbuhan sektor pertanian Jabalnustra terhadap pertumbuhan ekonomi nasional

belum sepenuhnya mencerminkan perbaikan mendasar di mencapai sebesar 4,0%. Sementara itu, peran wilayah

sektor tersebut mengingat masih terdapat permasalahan Kali-Sulampua dan Sumatera dalam mendukung

terkait luas lahan yang cenderung menyempit dan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional semakin besar. Wilayah

produktivitas yang terbatas (Boks: Penurunan Peranan Kali-Sulampua memberikan kontribusi terhadap

Sektor Pertanian). Pertumbuhan ekonomi nasional pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,0%, didorong

juga didukung oleh tingginya pertumbuhan subsektor oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di wilayah

pertambangan nonmigas di wilayah Kali-Sulampua dan tersebut, yaitu sebesar 6,8%. Kontribusi wilayah Sumatera

subsektor komunikasi di wilayah Sumatera. terhadap pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,3%.

Perkembangan inflasi nasional yang relatif stabil selama tahun 2007 didukung oleh rendahnya inflasi di beberapa

Di sisi permintaan, konsumsi masih menjadi daerah penyumbang utama inflasi, terutama, di wilayah penyumbang utama pertumbuhan ekonomi di seluruh

Jakarta-Banten dan Jabalnustra. Rendahnya inflasi wilayah. Peningkatan konsumsi tersebut ditopang

di kedua wilayah tersebut didukung oleh rendahnya oleh membaiknya daya beli seiring dengan kenaikan

inflasi kelompok bahan makanan yang disebabkan pendapatan riil masyarakat. Tingginya pertumbuhan

oleh lancarnya distribusi. Namun, pada periode yang ekonomi daerah didukung pula oleh kenaikan ekspor,

sama, masih terdapat kota-kota yang mengalami inflasi terutama, di wilayah Kali-Sulampua, Jabalnustra, dan

di atas inflasi nasional. Pada tahun 2007 terdapat 25 Jakarta-Banten. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di

kota yang mencatat laju inflasi di atas inflasi nasional, wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua juga didorong oleh

meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang peningkatan kegiatan investasi.

tercatat sebanyak 23 kota. Kota yang mencatat inflasi

dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing sebesar Perbedaan inflasi antarkota yang masih tinggi tersebut,

0,04%; 2,5%; 3,1%; 3,5%; dan 4,3%. Dibandingkan terutama, disebabkan oleh perbedaan inflasi kelompok

dengan tahun sebelumnya, deviasi pertumbuhan ekonomi bahan makanan dan kelompok perumahan. Tingginya

antarprovinsi meningkat dari 1,7% menjadi 1,8%. Salah deviasi inflasi pada kedua kelompok tersebut, antara lain,

satu faktor penyebab rendahnya pertumbuhan di provinsi- disebabkan oleh faktor gejolak (shocks) di sisi pasokan,

provinsi tersebut adalah keterbatasan infrastruktur. yang mencakup ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi.

Di sisi inflasi, beberapa daerah masih mencatat inflasi yang relatif tinggi dan berada di atas inflasi nasional. Inflasi di

Kecenderungan membaiknya pertumbuhan ekonomi daerah-daerah tersebut bersumber dari tingginya inflasi dan inflasi daerah berdampak positif terhadap indikator

kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, dan kesejahteraan di daerah. Tingkat pengangguran di seluruh

kelompok perumahan dengan faktor penyebabnya adalah daerah menurun dan pendapatan per kapita masyarakat

shocks pasokan. Di sisi kesejahteraan, pendapatan per meningkat. Di tengah kondisi inflasi yang relatif stabil,

kapita penduduk masih bervariasi antarprovinsi, terutama, turunnya tingkat pengangguran dan naiknya upah

antara wilayah Jakarta-Banten dan Kali-Sulampua, nominal di berbagai daerah telah meningkatkan daya beli

seiring dengan relatif bervariasinya pertumbuhan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Di samping itu, kenaikan

antarprovinsi.

daya beli juga didukung oleh kenaikan harga komoditas perkebunan yang relatif tinggi, terutama, di wilayah-

Wilayah Sumatera

wilayah yang subsektor perkebunannya relatif dominan Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera tahun 2007 dalam perekonomian wilayah tersebut.

tercatat sebesar 5,5%, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 4,6%. Di sisi permintaan,

Kinerja perekonomian daerah masih diwarnai oleh konsumsi masih menjadi penyumbang utama terhadap perbedaan pertumbuhan antardaerah. Pusat-pusat

pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Kegiatan investasi pertumbuhan ekonomi masih terkonsentrasi di pulau

di wilayah Sumatera juga mencatat peningkatan tinggi. Jawa dengan provinsi DKI Jakarta sebagai penyumbang

Bahkan pertumbuhan investasi di wilayah Sumatera relatif pertumbuhan ekonomi terbesar, diikuti oleh provinsi

lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di wilayah lain. Jawa Barat dan Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi di

Di sisi penawaran, sumbangan pertumbuhan, terutama, beberapa provinsi lebih rendah dibandingkan dengan

bersumber dari sektor pertanian, sektor perdagangan, provinsi-provinsi lainnya yang rata-rata berada di atas

dan sektor bangunan. Kinerja perekonomian tersebut 5,95%. Provinsi-provinsi tersebut, antara lain, adalah

tidak terlepas dari peran pembiayaan perbankan yang provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan

terus meningkat seiring dengan kenaikan penyaluran

49

50

kredit perbankan. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi menunjukkan kecenderungan menurun, walaupun di beberapa kota laju inflasi masih relatif tinggi. Turunnya inflasi di Sumatera bersumber dari menurunnya inflasi kelompok bahan makanan.

Membaiknya pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera ditopang oleh peningkatan pertumbuhan di sebagian besar provinsi di wilayah tersebut. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, terutama, terjadi di provinsi- provinsi zona Sumatera Bagian Selatan dan Tengah (Tabel 3.1). Berdasarkan wilayah, provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan merupakan penyumbang utama peningkatan perekonomian wilayah Sumatera. Kenaikan pertumbuhan, terutama, disumbang oleh membaiknya kinerja subsektor perkebunan yang merupakan salah satu sektor utama pendorong perekonomian di ketiga provinsi. Di sisi lain, beberapa provinsi masih mengalami pertumbuhan yang rendah, yaitu provinsi NAD dan Riau. Rendahnya pertumbuhan di kedua provinsi tersebut disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan sektor pertambangan, khususnya subsektor migas yang merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan di kedua provinsi tersebut. Sementara

itu, program rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD pascabencana Tsunami belum memberikan stimulus yang optimal terhadap perekonomian daerah tersebut. Program rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD belum sepenuhnya mendorong roda perekonomian di NAD.

Di sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera disumbang oleh konsumsi dan investasi (Tabel 3.2). Selama tahun 2007, konsumsi tumbuh cukup tinggi. Peningkatan konsumsi rumah tangga ditopang oleh perbaikan nilai tukar petani (NTP) dan pertumbuhan UMP riil di sebagian besar provinsi (Grafik 3.1 dan Grafik 3.2). Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh relatif tinggi di wilayah Sumatera. Membaiknya investasi, terutama, didorong oleh pembangunan infrastruktur seperti pembangunan dan perbaikan jalan lintas timur Sumatera serta peningkatan investasi di sektor perkebunan. Pertumbuhan ekspor wilayah Sumatera selama tahun 2007 juga menunjukkan peningkatan. Kenaikan ekspor, terutama, didorong oleh meningkatnya permintaan komoditas perkebunan seperti crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, serta karet dan produk karet (Grafik 3.3).

Grafik 3.1 Pertumbuhan NTP Sumatera

Sumatera Utara Sumatera Barat

persen, yoy

Sumatera Selatan Lampung

Sumber: BPS

Grafik 3.2 Pertumbuhan UMP Riil Sumatera Tahun 2007

NAD

-10 -5 0 10 15 20 25 30

Sumatera Utara Sumatera Barat

Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung

Sumber: Depnakertrans, BPS (diolah)

Tabel 3.1 Pertumbuhan PDRB Wilayah Sumatera

Wilayah Sumatera

Zona Sumatera Bagian Utara

Zona Sumatera Bagian Tengah

Zona Sumatera Bagian Selatan

Sumber: BPS daerah, diolah.

Tabel 3.2 Pertumbuhan PDRB Sumatera Sisi Permintaan

persen

2005 2006 2007

Wilayah Sumatera Konsumsi

4,9 5,1 6,0 Pembentukan Modal Tetap Bruto

6,3 6,1 8,2 Ekspor Neto

4,6 4,1 5,1

Sumber: BPS daerah, diolah.

51

Di sisi sektoral, peningkatan pertumbuhan di wilayah Sumatera, terutama, disumbang oleh sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor bangunan. Sektor pertanian di wilayah Sumatera selama tahun 2007 tumbuh relatif tinggi, terutama, didorong oleh tingginya pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Meningkatnya luas lahan perkebunan menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan produksi karet dan kelapa sawit. Di samping itu, kenaikan harga karet dan harga CPO dunia menjadi pemicu semakin meningkatnya produksi kelapa sawit dan karet. Di sektor perdagangan, membaiknya pertumbuhan itu tidak terlepas dari membaiknya konsumsi dan pertumbuhan di sektor-sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor perdagangan, di antaranya adalah sektor bangunan dan sektor industri. Peningkatan pertumbuhan di sektor bangunan, antara lain, didorong oleh program rekonstruksi pascabencana Tsunami dan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit.

Perkembangan perekonomian wilayah Sumatera secara umum dapat terpacu akibat dari disetujuinya UU Free Trade Zone Batam-Bintan-Karimun (FTZ-BBK) pada Oktober 2007. FTZ-BBK menetapkan bahwa pulau Batam, pulau Rembang, dan pulau Galang menjadi kawasan perdagangan bebas menyeluruh, sedangkan Bintan dan Karimun menjadi kawasan enclave. Dengan pemberlakuan FTZ-BBK, tidak hanya provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang memperoleh manfaat atas terpacunya ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, tetapi daerah sekitarnya juga mendapat efek pengganda melalui hubungan ketergantungan ekonomi antardaerah.

Perbaikan ekonomi wilayah Sumatera juga ditopang oleh sisi pembiayaan. Kinerja perbankan di wilayah Sumatera terus menunjukkan perbaikan. Posisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp203,2 triliun atau naik 19,6% dari tahun sebelumnya. Komposisi DPK hampir merata dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito. Pertumbuhan nilai kredit yang disalurkan juga mengalami peningkatan. Nilai kredit yang disalurkan selama tahun 2007 mencapai Rp127,2 triliun atau naik 28,6% dari tahun sebelumnya. Pesatnya kenaikan kredit dibandingkan dengan DPK telah memperbaiki kinerja perbankan sebagaimana tercermin dari naiknya Loan to Deposit Ratio (LDR) (Tabel 3.4).

Di sisi keuangan daerah, tingkat penyerapan APBD di wilayah Sumatera masih relatif rendah. Di provinsi NAD, penyerapan anggaran mencapai Rp1,4 triliun atau 35,4%

dari pagu anggaran sebesar Rp4,0 triliun 1 . Di provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung, realisasi PAD dan belanja daerah baru mencapai rata-rata lebih dari 70%. Masih rendahnya penyerapan disebabkan beberapa faktor, di antaranya proyek Pemerintah Daerah (Pemda) yang baru dilakukan menjelang akhir tahun.

Inflasi di wilayah Sumatera tahun 2007 mencapai 6,95%, atau lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan laju inflasi di wilayah Sumatera terjadi seiring dengan menurunnya inflasi pada kelompok bahan makanan. Namun, di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan (Grafik 3.5 dan Grafik 3.6) tekanan inflasi akibat gangguan pasokan masih terjadi sebagaimana tercermin dari inflasi volatile

1 November 2007.

Grafik 3.3 Komoditas Ekspor Terbesar di Sumatera (SITC)

7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000

Crude Materials, Inedible gCrude Materials, Inedible

ribu, ton

Animal & Vegetable Oil & Fats gAnimal & Vegetable Oil & Fats

Total gTotal

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

persen, yoy

Grafik 3.4 Komoditas Impor Terbesar di Sumatera (SITC)

Chemical gChemical

ribu, ton 300

Manufactured Goods gManufactured Goods

Total gTotal

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

persen, yoy

Tabel 3.3 Tabel 3.4 Pertumbuhan PDRB Sumatera Sisi Penawaran

Data Perbankan Sumatera

135,5 173,2 203,2 Wilayah Sumatera

Posisi (triliun Rp)

40,2 56,5 62,6 Pertambangan & Penggalian

Giro (triliun Rp)

50,9 61,7 74,8 Industri Pengolahan

Tabungan (triliun Rp)

44,4 55,0 65,8 Listrik, Gas, dan Air Bersih

Deposito (triliun Rp)

Kredit (total)

84,8 100,9 127,2 Perdagangan, Hotel, Restoran

Posisi (triliun Rp)**

25,9 17,4 28,6 Pengangkutan & Komunikasi

39,7 47,6 61,3 Keuangan, Persewaan

Modal Kerja (triliun Rp)

Investasi (triliun Rp)

Konsumsi (triliun Rp)

Sumber: BPS daerah, diolah.

UMKM (triliun Rp)***

60,5 58,2 62,6 foods yang tinggi. Dibandingkan dengan inflasi nasional,

Loan to Deposit Ratio

6,8 5,8 4,7 inflasi Sumatera masih berada di atas inflasi nasional.

Non Performing Loan Ratio

** berdasarkan lokasi bank penyalur

Dari 14 kota di wilayah Sumatera terdapat 7 kota yang

*** berdasarkan lokasi proyek

mengalami inflasi lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional. Bahkan untuk kota Banda Aceh, inflasi mencapai

menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi 10,44% atau tertinggi dibandingkan dengan kota lainnya

di wilayah tersebut. Di sisi penawaran, pertumbuhan di seluruh Indonesia. Tingginya tingkat ketergantungan

ekonomi, terutama, didorong oleh sektor perdagangan, wilayah Sumatera terhadap pasokan barang dari luar

sektor keuangan, dan sektor bangunan. Di sisi Sumatera maupun antarprovinsi di Sumatera yang

pembiayaan, kinerja perekonomian ditopang oleh kredit disertai oleh belum membaiknya kondisi infrastruktur

perbankan yang menunjukkan peningkatan pertumbuhan, turut menyebabkan rentannya harga barang-barang di

sedangkan tingkat realisasi APBD relatif tinggi. Inflasi di Sumatera terhadap shocks.

wilayah Jakarta-Banten, menurun dibandingkan dengan tahun 2006. Dibandingkan dengan inflasi nasional, wilayah

Wilayah Jakarta-Banten

Jakarta-Banten mencatat inflasi yang lebih rendah. Perekonomian wilayah Jakarta-Banten tahun 2007

Penurunan inflasi terjadi pada hampir seluruh kelompok tumbuh sebesar 6,4%, tidak berbeda dibandingkan

barang dan jasa.

dengan tahun sebelumnya. Di sisi permintaan, konsumsi

Administered Prices INTI

Administered Prices

IHK

Volatile Foods

INTI

Volatile Foods

Sumber: BPS

Sumber: BPS

Grafik 3.5 Grafik 3.6 Inflasi Inti dan Non-inti Sumatera Utara

Inflasi Inti dan Non-inti Sumatera Bagian Selatan

Tabel 3.5 Tabel 3.6 Pertumbuhan PDRB Jakarta-Banten Sisi Permintaan

Pertumbuhan PDRB Jakarta-Banten Sisi Penawaran

Wilayah/Sektor

Wilayah Jakarta Banten

Pertambangan & Penggalian

Industri Pengolahan

Sumber: BPS daerah (diolah)

5,6 5,1 2,4 Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi di wilayah

Listrik, Gas, dan Air Bersih

6,0 7,6 8,1 Jakarta-Banten didukung oleh pertumbuhan konsumsi

Bangunan

7,1 6,3 7,9 dan investasi (Tabel 3.5). Faktor yang memengaruhi

Perdagangan, Hotel, Restoran

11,2 12,7 14,1 peningkatan konsumsi adalah perbaikan daya beli

Pengangkutan & Komunikasi

4,7 4,3 5,4 masyarakat, terutama, untuk golongan menengah ke

Keuangan, Persewaan

5,6 5,2 6,6 atas, dan ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian Sumber: BPS daerah (diolah)

Jasa-jasa

yang semakin baik. Investasi mengalami kenaikan pertumbuhan, terutama, terkait dengan pembangunan

tahun 2007 mencapai 87,8%, lebih rendah dibandingkan properti dan infrastruktur transportasi di Jakarta dan

dengan realisasi tahun 2006.

sekitarnya. Laju inflasi Jakarta-Banten tahun 2007 mencapai 6,05%,

Di sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi wilayah lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Jakarta-Banten didorong oleh sektor perdagangan, sektor

6,15%. Penurunan laju inflasi di wilayah Jakarta-Banten keuangan, dan sektor bangunan. Pertumbuhan sektor

didorong oleh menurunnya inflasi pada kelompok bahan perdagangan sejalan dengan membaiknya konsumsi.

makanan dan kelompok perumahan. Menurunnya inflasi Peningkatan kegiatan sektor tersebut tercermin pada

di Jakarta-Banten, antara lain, disebabkan oleh lancarnya volume arus bongkar muat barang di Pelabuhan Tanjung

pasokan barang ke Jakarta, termasuk untuk komoditas Priok, Banten, dan Sunda Kelapa. Di sektor keuangan,

beras dan minyak goreng. Laju inflasi wilayah tersebut peningkatan pertumbuhan kredit dan DPK telah

lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional. mendorong kenaikan kinerja perbankan. Sektor bangunan tumbuh relatif tinggi sebagai akibat dari pembangunan

Wilayah Jabalnustra

properti dan infrastruktur pengangkutan. Selama tahun 2007, wilayah Jabalnustra mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2%, lebih tinggi

Di wilayah Jakarta-Banten, kinerja perbankan pada dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai tahun 2007 menunjukkan peningkatan. Penghimpunan DPK mencapai Rp725,7 triliun atau meningkat 13,6%

Tabel 3.7

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Komposisi DPK

Data Perbankan Jakarta-Banten

terbesar dalam bentuk deposito, yaitu Rp401,8 triliun,

atau sebesar 55,4% dari keseluruhan DPK. Nilai kredit 2007 yang disalurkan juga mengalami peningkatan sebesar DPK

529,8 582,5 628,7 26,4% sehingga nilai kredit yang telah disalurkan sebesar 725,7

Posisi (triliun Rp)

8,2 16,9 5,0 13,6 Rp503,8 triliun. Pada tahun 2007, meningkatnya kinerja

Pertumbuhan (%)

146,8 160,1 175,9 200,6 perbankan juga tercermin dari meningkatnya LDR, dan

Giro (triliun Rp)

95,6 85,9 99,2 123,3 menurunnya tingkat NPL (Tabel 3.7).

Tabungan (triliun Rp)

Deposito (triliun Rp)

Kredit (total)

Di sisi keuangan daerah, tingkat realisasi APBD tahun

299,7 356,1 409,5 503,8 2007 untuk provinsi DKI Jakarta dan provinsi Banten

Posisi (triliun Rp)**

26,4 24,0 8,1 26,4 relatif tinggi. Di provinsi DKI Jakarta, tingkat realisasi

Pertumbuhan (%)

158,0 190,0 225,8 275,6 belanja modal hingga akhir tahun 2007 mencapai 81,7%,

Modal Kerja (triliun Rp)

74,7 83,0 93,4 114,1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi tahun

Investasi (triliun Rp)

67,0 83,1 90,4 114,2 lalu. Namun, pangsa terbesar realisasi belanja masih

Konsumsi (triliun Rp)

UMKM (triliun Rp)***

57,2 60,6 62,4 terjadi pada pengeluaran rutin, yakni mencapai 87,4%. 69,4

Loan to Deposit Ratio

6,0 8,7 6,8 Sementara itu, di provinsi Banten, realisasi belanja modal 4,9

Non Performing Loan Ratio

** berdasarkan lokasi bank penyalur *** berdasarkan lokasi proyek

Tabel 3.8 Perkembangan APBD Jakarta-Banten dan Realisasinya

miliar Rp

s.d Tw IV % 2007

DKI Jakarta

8.819,8 87,5 Dana Perimbangan

Pendapatan Asli Daerah

7.445,9 98,3 Belanja Administrasi dan Operasional

12.171,8 87,4 Belanja Modal

1.306,2 99,9 Dana Perimbangan

Pendapatan Asli Daerah

574,3 97,2 Belanja Administrasi dan Operasional

626,8 75,6 Belanja Modal

5,4%. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi, menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan wilayah terutama, ditopang oleh konsumsi. Di sisi penawaran,

Jabalnustra. Sementara itu, zona Jawa Bagian Timur pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor utama,

menjadi penyumbang terbesar kedua yang diikuti oleh yakni sektor perdagangan, sektor pertanian, dan sektor

zona Jawa Bagian Tengah. Masih tingginya pertumbuhan industri pengolahan. Di sisi pembiayaan, pertumbuhan

di ketiga zona Jawa tersebut mengindikasikan bahwa kredit perbankan di wilayah Jabalnustra menunjukkan

bencana banjir yang terjadi di Jawa tidak memberi peningkatan 20,9%. Tingkat realisasi APBD di beberapa

dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi di Jabalnustra juga menunjukkan peningkatan

wilayah Jabalnustra.

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laju inflasi di Jabalnustra menurun dibandingkan dengan inflasi tahun

Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan ekspor 2006, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi

masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan nasional. Penurunan laju inflasi disebabkan oleh turunnya

ekonomi di wilayah Jabalnustra. Peningkatan konsumsi inflasi di hampir seluruh kelompok barang dan jasa.

terkait dengan perbaikan daya beli seiring dengan kenaikan UMP riil di seluruh provinsi (Grafik 3.9) dan

Akselerasi pertumbuhan ekonomi di wilayah Jabalnustra, kenaikan NTP di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, terutama, disumbang oleh pertumbuhan provinsi Jawa

dan Nusa Tenggara Barat (Grafik 3.10). Ekspor meningkat Barat, yang mencatat pertumbuhan tertinggi dan sekaligus

di zona Jawa Bagian Barat, terutama, untuk komoditas

persen, yoy

persen, yoy

Kesehatan Bahan Makanan Wilayah Jakarta-Banten

Sandang

Umum/Tol

Pendidikan, Rekreasi, dan

Makanan Jadi,

Transpor, Perumahan, Air,

Olahraga

Minuman, Rokok, dan Tembakau

dan Jasa Keuangan Komunikasi, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar

Sumber: BPS

Sumber: BPS, diolah

Grafik 3.7 Grafik 3.8 Inflasi Wilayah Jakarta-Banten

Inflasi Jakarta-Banten

Jawa Barat

Jawa Tengah 4,91

DI Yogyakarta 0,70

Jawa Timur

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Timur 0,65

Jawa Barat

Jawa Tengah

Sumber: Depnakertrans, BPS (diolah)

DI Yogyakarta

Jawa Timur Sumber: BPS

Grafik 3.9 Grafik 3.10 Pertumbuhan UMP Riil Jabalnustra Tahun 2007

Pertumbuhan NTP Jabalnustra

tekstil dan produk tekstil seiring dengan meningkatnya makanan, minuman, dan tembakau, serta subsektor permintaan luar negeri.

kertas dan barang cetakan. Di zona Jawa Bagian Tengah, tingginya pertumbuhan sektor industri pengolahan,

Di sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi wilayah Jabalnustra terutama, didorong oleh tingginya pertumbuhan subsektor bersumber dari sektor perdagangan, sektor pertanian,

industri migas sebagai akibat peningkatan produksi di dan sektor industri pengolahan. Sektor perdagangan

kilang minyak Cilacap dan beberapa blok minyak lainnya. mengalami pertumbuhan yang membaik seiring dengan meningkatnya konsumsi. Perbaikan kinerja sektor tersebut

Kinerja perbankan di Jabalnustra tahun 2007 terus ditunjukkan oleh peningkatan arus barang keluar wilayah

menunjukkan perbaikan. Penghimpunan DPK hingga Jabalnustra. Pertumbuhan sektor pertanian, terutama,

akhir 2007 mencapai Rp373,1 triliun atau meningkat 13%, disebabkan oleh meningkatnya produksi padi dan jagung

dengan komposisi terbesar dalam bentuk deposito, yaitu yang merupakan komoditas utama sektor pertanian

Rp149,8 triliun (40,1% dari total DPK). Sementara itu, nilai di wilayah Jabalnustra (Tabel 3.10). Meningkatnya

kredit yang telah disalurkan mencapai Rp245,7 triliun atau produksi padi dan jagung di Jabalnustra didukung oleh

meningkat sebesar 20,9% yang sebagian besar disalurkan membaiknya tingkat produktivitas. Perubahan cuaca

dalam bentuk kredit modal kerja. Perbaikan kinerja dan bencana banjir relatif tidak berpengaruh terhadap

perbankan juga ditunjukkan oleh meningkatnya rasio LDR kinerja sektor pertanian di Jabalnustra. Sementara itu,

dan turunnya rasio NPL di Jabalnustra. kinerja sektor industri pengolahan yang juga menjadi salah satu sektor andalan wilayah Jabalnustra, menunjukkan peningkatan. Di zona Jawa Bagian Barat, peningkatan

Tabel 3.10

sektor industri pengolahan didorong oleh kinerja subsektor

Produksi Padi dan Jagung di Jawa dan Luar Jawa

alat angkutan, subsektor mesin, dan subsektor TPT.

2006 2007 Pertumbuhan

Di zona Jawa Bagian Timur, peningkatan kinerja sektor

industri pengolahan, terutama, terjadi pada subsektor

PADI

Produksi (ribu ton)

Luar Jawa

Pertumbuhan PDRB Wilayah Jabalnustra

Produksi (ribu ton)

Wilayah Jabalnustra

6.689,0 7.457,4 11,5 Zona Jawa Bagian Barat

4.921,3 5.822,0 18,3 Zona Jawa Bagian Tengah

Luar Jawa

12.523,7 11.610,3 13.279,4 14,4 Zona Jawa Bagian Timur

Sumber: BPS

Sumber: BPS daerah, diolah

* ARAM III

Tabel 3.11

belanja pegawai sebesar 51,9%, sedangkan pangsa

Data Perbankan Wilayah Jabalnustra

belanja modal untuk pelayanan publik hanya mencapai

10,7% dari total belanja (Tabel 3.12).

Posisi (triliun Rp) 265,1

Perkembangan inflasi di wilayah Jabalnustra menunjukkan Pertumbuhan (%)

penurunan, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Giro (triliun Rp)

inflasi nasional. Menurunnya inflasi di wilayah Jabalnustra Tabungan (triliun Rp)

didorong oleh kelompok bahan makanan, terutama, Deposito (triliun Rp)

komoditas beras. Menurunnya inflasi bahan makanan,

Kredit (total)

antara lain, terkait dengan kecukupan pasokan dan Posisi (triliun Rp) **

lancarnya distribusi kebutuhan pokok di wilayah Pertumbuhan (%)

Modal Kerja (triliun Rp)

Investasi (triliun Rp)

Wilayah Kali-Sulampua

Selama tahun 2007, perekonomian di wilayah Kali- UMKM (triliun Rp)***

Konsumsi (triliun Rp)

Sulampua mencatat pertumbuhan ekonomi yang Non Performing Loan Ratio

Loan to Deposit Ratio

tinggi dan diikuti dengan inflasi yang tinggi pula.

Pertumbuhan ekonomi Kali-Sulampua mencapai 6,8%,

** berdasarkan lokasi bank penyalur

*** berdasarkan lokasi proyek

atau tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sumber pertumbuhan ekonomi di sisi permintaan adalah

Di sisi keuangan daerah, tingkat realisasi APBD tahun konsumsi, ekspor dan investasi. Sementara itu di sisi 2007 di Jabalnustra secara umum meningkat dari tahun

sektoral, sektor perdagangan dan sektor pertanian sebelumnya. Di provinsi Jawa Barat, tingkat realisasi

menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. komponen belanja langsung mencapai di atas 90%.

Di sisi lain, wilayah Kali-Sulampua menghadapi laju inflasi Tingginya realisasi belanja tersebut, antara lain, terkait

yang tinggi (7,77%) bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan pelaksanaan proyek pembangunan, terutama,

dengan inflasi nasional. Sumber tingginya inflasi adalah untuk peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Di

kenaikan harga barang untuk kelompok bahan makanan provinsi Jawa Tengah, komposisi belanja didominasi oleh

dan kelompok perumahan.

Tabel 3.12 Realisasi Belanja Daerah APBD Kabupaten/Kotamadya di Jawa Tengah

miliar Rp

2007 Uraian

Triwulan I

Triwulan II

Triwulan III Triwulan IV

1 Belanja Pegawai

2.501,19 2.658,47 2 Belanja Barang dan Jasa

2.123,92

2.407,30

720,59 724,56 3 Belanja Perjalanan Dinas

423,81

706,49

104,75 104,75 4 Belanja Pemeliharaan

64,95

100,81

252,22 235,49 5 Belanja Lain-lain

141,31

242,75

1,30 1,40 6 Belanja Modal

1,27

1,27

444,39 546,24 7 Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan

149,75

296,26

615,19 724,68 8 Belanja Tidak Tersangka

Distribusi (dalam persentase) 1 Belanja Pegawai

52,32 51,88 2 Belanja Barang dan Jasa

68,02

52,66

15,07 14,14 3 Belanja Perjalanan Dinas

13,57

15,45

2,19 2,04 4 Belanja Pemeliharaan

2,08

2,21

5,28 4,60 5 Belanja Lain-lain

4,53

5,31

0,03 0,03 6 Belanja Modal

0,04

0,03

9,30 10,66 7 Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan

4,80

6,48

12,87 14,14 8 Belanja Tidak Tersangka

56

57

Di sisi sektoral, sumber pertumbuhan adalah sektor perdagangan dan sektor pertanian, sedangkan sektor pertambangan yang merupakan salah satu sektor utama di Kali-Sulampua memberikan kontribusi terbatas. Di sektor perdagangan, pertumbuhan didorong oleh membaiknya konsumsi dan kinerja sektor-sektor yang memiliki keterkaitan kuat dengan sektor perdagangan. Kinerja sektor pertanian membaik, ditopang oleh peningkatan produksi di subsektor tanaman bahan pangan dan subsektor perkebunan. Hal itu didukung oleh meningkatnya luas lahan dan membaiknya tingkat produktivitas. Sementara itu, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Pertumbuhan sektor pertambangan yang membaik terjadi di zona Sulawesi, sebagai akibat meningkatnya produksi bijih nikel dan emas seiring dengan perluasan tambang bawah tanah oleh perusahaan pertambangan terbesar di Papua.

Di wilayah Kali-Sulampua, kinerja perbankan menunjukkan peningkatan. Penghimpunan DPK telah mencapai Rp132,9 triliun, dengan komposisi terbesar dalam bentuk tabungan, yaitu Rp55,4 triliun, atau sebesar 41,7% dari keseluruhan DPK. Sementara itu, nilai kredit yang telah disalurkan mencapai Rp77,5 triliun, di mana kredit lebih banyak disalurkan dalam bentuk kredit konsumsi. Membaiknya kinerja perbankan tercermin pada terus meningkatnya LDR. Di samping itu, NPL di wilayah Kali-Sulampua menurun, walaupun rasio NPL di wilayah Kali-Sulampua tertinggi jika dibandingkan dengan NPL di wilayah lain. (Tabel 3.14).

Perekonomian wilayah Kali-Sulampua tahun 2007 tumbuh relatif tinggi. Tingginya pertumbuhan tersebut disumbang oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah Sulampua yang mencapai 11,1%. Sementara itu, wilayah Kalimantan mengalami pertumbuhan yang relatif rendah yaitu sebesar 3,8%. Di zona Sulampua, sebagian besar provinsi mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi, kecuali provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku yang tumbuh masing-masing sebesar 5,2% dan 5,1%. Di zona Kalimantan, provinsi Kalimantan Selatan dan provinsi Kalimantan Timur juga mengalami pertumbuhan yang relatif rendah yaitu masing-masing sebesar 5,3% dan 2,5%. Terbatasnya pertumbuhan di provinsi Kalimantan Timur dan provinsi Kalimantan Selatan disebabkan relatif rendahnya pertumbuhan sektor pertambangan.

Di sisi penggunaan, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kali-Sulampua. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat, yang tercemin pada peningkatan UMP dan NTP di beberapa provinsi (Grafik 3.13 dan Grafik 3.14). Kenaikan NTP di Kali-Sulampua disebabkan oleh peningkatan harga komoditas perkebunan. Ekspor wilayah Kali-Sulampua juga tumbuh seiring dengan peningkatan ekspor untuk komoditas primer seperti batubara, karet, dan CPO, akibat tingginya permintaan baik dari pasar domestik maupun internasional. Sementara itu, investasi terus membaik, terutama, di sektor perkebunan dan pertambangan, serta pembangunan jalur kereta api batubara.

Grafik 3.11 Inflasi Wilayah Jabalnustra

20 18 16 14 12 10

Nasional Wilayah Jabalnustra

persen, yoy

Sumber: BPS

Grafik 3.12 Inflasi Kota di Wilayah Jabalnustra Tahun 2007

Surakarta

Bandung Denpasar

Malang Purwokerto

Surabaya Semarang

Kediri Jember Tasikmalaya

Cirebon Yogyakarta

Kupang Mataram

Tegal

0 2 3 10

Sumber: Depnakertrans, BPS (diolah)

Inflasi Nasional = 6,59% (persen)

8,89

8,76

8,44

7,99

7,87

7,72

7,25

6,85

6,75

6,27

6,15

5,93

5,25

3,28

5,91

persen

Tabel 3.13 Tabel 3.14 Pertumbuhan PDRB Wilayah Kali-Sulampua

Data Perbankan Wilayah Kali-Sulampua

Wilayah Kali-Sulampua

85,4 111,0 132,9 Zona Kalimantan

Posisi (triliun Rp)

75,6

20,6 25,7 20,7 Zona Sulawesi

Giro (triliun Rp)

16,8

23,0 36,7 42,2

Sumber: BPS daerah, diolah

Tabungan (triliun Rp)

39,5

39,2 49,1 55,4

23,2 25,3 35,3 Di sisi keuangan daerah, realisasi keuangan Pemda relatif

Deposito (triliun Rp)

19,3

Kredit (total)

tinggi. Di provinsi Kalimantan Timur, realisasi belanja APBD

52,6 62,0 77,5 sampai akhir tahun mencapai 80%. Di provinsi Kalimantan

Posisi (triliun Rp) **

43,4

24,0 16,4 27,5 Tengah, realisasi belanja APBD mencapai 64% dari

Pertumbuhan (%)

39,2

20,5 24,9 31,6 anggaran belanja tahun 2007. Administrasi anggaran dan

Modal Kerja (triliun Rp)

17,2

Investasi (triliun Rp)

8,2

9,8 11,2 12,7

22,3 25,9 waktu lelang yang relatif lama menjadi faktor penghambat 33,2

Konsumsi (triliun Rp)

18,0

43,3 51,3 realisasi anggaran. 64,5

UMKM (triliun Rp)***

33,9

Loan to Deposit Ratio

58,0

59,7 55,2 58,3

7,1 6,1 6,0 Perkembangan inflasi di wilayah Kali-Sulampua selama

Non Performing Loan Ratio

2,7

** berdasarkan lokasi bank penyalur

tahun 2007 meningkat cukup signifikan, bahkan lebih

*** berdasarkan lokasi proyek

tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional. Meningkatnya inflasi di wilayah Kali-Sulampua didorong oleh kelompok

Demografi Daerah

bahan makanan dan kelompok perumahan serta Pertumbuhan ekonomi daerah yang membaik dan kelompok pengangkutan. Dari 14 kota di wilayah Kali-

stabilnya inflasi di sebagian besar daerah secara Sulampua, terdapat 12 kota yang mengalami inflasi lebih

bertahap mampu memperbaiki tingkat kesejahteraan tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional. Faktor yang

masyarakat. Tingkat pengangguran daerah menurun menyebabkan tingginya inflasi di Kali-Sulampua adalah

dan tingkat pendapatan per kapita membaik. Perbaikan keterbatasan pasokan di sebagian wilayah Kali-Sulampua

tingkat kesejahteraan tersebut juga tidak terlepas dari sebagai akibat masalah kelancaran distribusi, serta

implementasi berbagai program Pemerintah di antaranya ketergantungan pada pasokan daerah lain, terutama, dari

program asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin) pulau Jawa. Hal itu tercermin pada tingginya inflasi volatile

dan program bantuan operasional sekolah (BOS). Namun, foods di beberapa kota di Kali-Sulampua, di antaranya

perbaikan kesejahteraan tersebut belum signifikan Banjarmasin (Grafik 3.15) dan Manado (Grafik 3.16).

seperti ditunjukkan oleh relatif kecilnya penurunan tingkat

persen, yoy

35

Kalimantan Barat 0,81

25

Kalimantan Selatan

10,66

Kalimantan Tengah -2,83

15

Kalimantan Timur

Maluku Utara

14,57

Gorontalo -0,76

Sulawesi Utara -5,01 Sulawesi Tenggara

-5

4,08

Sulawesi Tengah -1,18

-15

Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan

Kalimantan Selatan

Sumber: Depnakertrans, BPS (diolah)

Sulawesi Tengah

Sumber: BPS

Grafik 3.13 Grafik 3.14 Pertumbuhan UMP Riil Kali-Sulampua Tahun 2007

Pertumbuhan NTP Kali-Sulampua

10

58

59

laju pertumbuhan ekonomi serta tingkat pertumbuhan penduduk.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja telah menurunkan tingkat kemiskinan. Jumlah penduduk miskin tahun 2007 di seluruh wilayah turun dibandingkan dengan tahun 2006. Penurunan jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi di wilayah Sumatera (8,1%) diikuti oleh wilayah Jakarta-Banten (6,0%) (Grafik 3.18). Namun, penurunan jumlah penduduk miskin relatif kurang signifikan seperti yang ditunjukkan oleh pangsa penduduk miskin terhadap populasi penduduk di masing-masing daerah yang relatif tidak berubah.

Permasalahan Ekonomi Daerah Perekonomian daerah masih menghadapi permasalahan yang antara lain mencakup perbedaan pertumbuhan ekonomi antardaerah dan meningkatnya jumlah kota yang mengalami inflasi di atas inflasi nasional. Kedua permasalahan daerah tersebut menyebabkan perbedaan peningkatan kualitas ekonomi daerah. Namun, dengan perbaikan infrastruktur serta koordinasi antarinstitusi, berbagai permasalahan tersebut secara bertahap diupayakan untuk diatasi.

Perekonomian nasional menghadapi permasalahan perbedaan pertumbuhan ekonomi daerah. Perbedaan, terutama, terjadi di wilayah Kali-Sulampua dan Sumatera. Beberapa provinsi di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan PDRB yang relatif jauh di bawah pertumbuhan nasional. Bahkan, beberapa daerah yang termasuk dengan kategori kaya sumber daya alam (SDA) mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih

pengangguran dan tingkat kemiskinan, serta masih terdapatnya perbedaan pendapatan antardaerah.

Kondisi ketenagakerjaan di daerah pada tahun 2007 menunjukkan perbaikan. Penyerapan tenaga kerja meningkat di seluruh daerah seiring dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Kenaikan jumlah tenaga kerja tertinggi terjadi di daerah Sumatera, yang diikuti dengan daerah Jawa dan Sulawesi (Tabel 3.15). Namun kenaikan penyerapan tenaga kerja tidak diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran secara signifikan. Hal itu disebabkan oleh karena penyerapan tenaga kerja yang tidak sepenuhnya mampu mengimbangi kenaikan angkatan kerja. Tingkat pengangguran yang relatif masih tinggi terjadi di daerah Jakarta-Banten, Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Sementara itu di provinsi Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Papua dan Sumatera tingkat pengangguran rendah, bahkan berada di bawah tingkat pengangguran nasional.

Membaiknya pertumbuhan ekonomi daerah dan pertumbuhan jumlah penduduk yang rendah 2 telah meningkatkan pendapatan per kapita. Seluruh wilayah mengalami kenaikan pendapatan per kapita dengan pendapatan per kapita tertinggi dialami oleh provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Timur (Grafik 3.17). Namun, perbaikan pendapatan tersebut masih diikuti oleh perbedaan pendapatan antardaerah, terutama, antara wilayah Jakarta-Banten dan wilayah Kali-Sulampua. Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapatan antardaerah, di antaranya adalah perbedaan

2 Sumber: Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Maret 2007, BPS.

Grafik 3.15 Inflasi Inti dan Non-inti Kalimantan Selatan

45 40 35 30 25 20 15 10

-5

Inflasi Core Inflasi Non Core

persen, yoy

2007 Inflasi Administered Prices

Inflasi Volatile Food

2005 2004 2003 2004

Sumber: BPS

Grafik 3.16 Inflasi Inti dan Non-inti Sulawesi Utara

Inflasi IHK Inflasi Inti (Core)

persen, yoy

2007 Inflasi Administered Prices

Inflasi Volatile Food

2005 2004 2003 2004

Sumber: BPS

Tabel 3.15 Penduduk Bekerja dan Persentase Pengangguran menurut Wilayah

Tingkat Pengangguran (%) Agustus 2006 Agustus 2007 Agustus 2006 Agustus 2007 Agustus 2006 Agustus 2007

Angkatan Kerja (juta orang)

Bekerja (juta orang)

9,69 8,64 Jawa (non Jakarta-Banten)

10,07 9,05 Bali dan Nusa Tenggara

11,29 9,93 Papua dan Maluku

Sumber: BPS

Sumatera Jakarta-Banten

Jabalnustra Angka Nasional

Jakarta-Banten

Kali-Sulampua

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS (diolah)

Grafik 3.17 Grafik 3.18 PDRB per Kapita per Wilayah

Tingkat Kemiskinan Penduduk Wilayah

rendah dari pertumbuhan nasional, seperti NAD, Riau, tahun terakhir, terdapat 34 kota yang mengalami inflasi di dan Kalimantan Timur. Dibandingkan dengan tahun

atas inflasi nasional. Tingginya inflasi di kota-kota tersebut, sebelumnya, deviasi pertumbuhan ekonomi antarprovinsi

terutama, berasal dari kenaikan inflasi barang kelompok meningkat dari 1,7% menjadi 1,8%. Beberapa faktor yang

bahan makanan, kelompok makanan jadi, dan kelompok menyebabkan pertumbuhan di beberapa daerah relatif

perumahan. Faktor yang menyebabkan tingginya inflasi rendah, di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur,

di daerah-daerah tersebut adalah pengaruh gangguan aturan daerah yang kurang menarik minat investasi, dan

pasokan barang. (Boks: Upaya Pengendalian Inflasi di bertumpunya ekonomi daerah pada sektor primer tertentu

Daerah). Beberapa permasalahan yang menyebabkan (pertambangan).

gangguan pasokan di antaranya: kelangkaan pasokan, buruknya infrastruktur untuk distribusi, span of distribution

Di sisi inflasi, sebagian besar kota-kota di Indonesia yang panjang, perilaku penimbunan dan pungli, serta menghadapi inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pengaruh musiman.

inflasi nasional. Berdasarkan hasil pemantauan dalam 4

60

61

Inflasi yang rendah dan stabil adalah prasyarat terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dengan inflasi yang rendah dan stabil, pelaku ekonomi dapat menjalankan kegiatan ekonomi dengan lebih terukur. Produsen dapat menetapkan harga jual yang lebih terjangkau, sedangkan konsumen dapat memperoleh barang kebutuhan yang sesuai dengan daya belinya. Kestabilan inflasi yang berdampak pada kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang berimplikasi pada sisi kesejahteraan yang ditandai oleh meningkatnya daya beli masyarakat, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan penduduk. Kondisi itu akan membantu peningkatan kualitas penduduk di daerah sebagaimana misi yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Inflasi IHK nasional merupakan gabungan perubahan harga barang dan jasa yang terjadi di 45 kota di Indonesia. Ditinjau dari bobot per kota, kota Jakarta merupakan penyumbang terbesar terhadap pembentukan inflasi nasional. Walaupun demikian, apabila ditinjau dari sisi wilayah, seluruh wilayah memiliki bobot inflasi yang cukup besar terhadap laju inflasi nasional (Tabel 1).

Perkembangan inflasi kota dalam kurun waktu 4 tahun terakhir menunjukkan terdapatnya 34 kota yang hampir secara berkelanjutan mengalami inflasi relatif di atas inflasi IHK nasional. Tingginya inflasi di kota-kota tersebut terutama berasal dari kenaikan inflasi pada barang kelompok bahan makanan, makanan jadi, dan perumahan. Ditinjau dari faktor penyebabnya, inflasi yang dihadapi setiap kota secara umum relatif sama yaitu faktor fundamental (berupa tekanan nilai tukar, tingginya ekspektasi, dan kesenjangan output) dan administered priced. Namun secara khusus yang membedakan perilaku perubahan harga di daerah adalah faktor pasokan dan distribusi barang yang dapat menimbulkan perbedaan kejutan pasokan di masing-masing daerah. Terdapat beberapa aspek penyebab kejutan, yaitu kelangkaan pasokan, buruknya infrastruktur untuk distribusi, jalur distribusi yang panjang, perilaku penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.

Terciptanya kestabilan inflasi IHK merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, Bank Indonesia memformulasikan suatu kebijakan moneter berdasarkan

Tabel 1 Bobot Inflasi per Kota

Sumatera

Jakarta-Banten

Jabalnustra Kali-Sulampua

Pontianak 1,36 Banda Aceh

0,66

Serang/Cilegon

0,26 Padang Sidempuan

0,31

Cirebon 0,87 Palangkaraya 0,52 Sibolga

0,24

Purwokerto 0,69 Banjarmasin 1,93 Pematang Siantar

0,68

Surakarta 1,58 Balikpapan 1,31 Medan

5,98

Semarang 4,36 Samarinda 1,55 Padang

2,07

Tegal 0,83 Manado 1,27 Pekanbaru

Jember 0,92 Makassar 3,06 Jambi

Malang 2,05 Gorontalo 0,46 Bengkulu

0,32 Bandar Lampung

0,58 Pangkal Pinang

0,44

Mataram 1,07 Jayapura 0,4 Kupang

Inflasi Daerah: Permasalahan dan Upaya Pengendalian

kerangka inflation targeting. Dalam kerangka tersebut,

b. Mengidentifikasi sumber-sumber kelangkaan pasokan bank sentral memengaruhi inflasi di sisi fundamental,

barang kebutuhan pokok di daerah. Adapun tujuan terutama, dalam rangka membentuk ekspektasi

dari strategi itu adalah untuk menjamin kelancaran masyarakat. Namun di sisi nonfundamental, Bank

distribusi barang kebutuhan pokok, memperpendek Indonesia tidak dapat memengaruhi inflasi mengingat

jalur distribusi, memperbaiki infrastruktur di daerah, faktor administered price adalah kewenangan Pemerintah

dan menghapus perilaku penimbunan dan pungutan dan kejutan pasokan ditentukan oleh ketersediaan

liar.

pasokan dan kelancaran distribusi. Terkait dengan pasokan dan distribusi, Pemerintah Daerah memiliki

c. Melakukan diseminasi untuk memberikan pemahaman peranan sentral pascaotonomi daerah. Oleh karenanya,

masyarakat di daerah terkait kondisi dan prospek pengendalian kejutan pasokan harus menjadi perhatian

ekonomi serta risiko tekanan inflasi. Bank Indonesia dengan mendorong kerja sama antara Pemerintah dan institusi di daerah yang bersentuhan

Terkait dengan penguatan aspek kelembagaan, Bank dengan masalah produksi dan distribusi barang serta

Indonesia melalui KBI di masing-masing provinsi akan penyusunan kebijakan.

meningkatkan efektivitas kerja sama dengan Pemda. Terdapat dua format kerja sama yang akan dikembangkan

Pengendalian inflasi daerah yang dilakukan dengan dan implementasikan tahun 2008, yaitu mengoptimalkan mengajak stakeholders di daerah melalui beberapa

Focus Group Discussion (FGD) atau kerja sama strategi pendekatan sebagai berikut.

pembentukan Tim Pengendalian Inflasi di Daerah (TPID). Adapun tujuan dari langkah memperkuat kelembagaan

a. Memperkuat aspek kelembagaan antara Bank tersebut adalah menyampaikan kepedulian mengenai Indonesia di daerah dan Pemda, terutama, dalam

tekanan inflasi di masing-masing daerah dan upaya untuk rangka menanamkan komitmen pihak terkait untuk

menanganinya. Terdapat tiga fokus dari pengendalian bersama-sama mengendalikan inflasi di daerah

inflasi daerah, yaitu: (i) mengamankan kecukupan mengingat terciptanya inflasi yang rendah dan stabil

pasokan; (ii) meminimalkan gangguan harga yang merupakan kebutuhan bersama.

bersumber dari peraturan daerah (retribusi dan pajak); dan (iii) memberikan pemahaman kondisi dan prospek ekonomi serta risiko tekanan inflasi di daerah.

62

63

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan peran sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian. Hal itu terlihat dari penurunan pangsa sektor pertanian terhadap ekonomi nasional, dari sekitar 20% pada tahun 1990 menjadi hanya sekitar 15% (Grafik 1). Penurunan peranan pertanian disebabkan oleh pertumbuhan sektor pertanian yang relatif rendah dengan sumber utama perlambatan berasal dari subsektor tanaman bahan makanan (tabama). Komoditas yang tergabung dalam subsektor tabama di antaranya padi, jagung, gandum, dan kentang. Padi merupakan komponen utama penyumbang subsektor tabama.

Produksi tanaman padi dalam 20 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan perlambatan pertumbuhan (Grafik 2). Perlambatan tersebut, terutama, disebabkan oleh pertumbuhan produksi padi di wilayah Jawa yang tidak secepat wilayah lainnya. Wilayah Jawa merupakan sentra produksi padi terbesar di Indonesia dengan pangsa sekitar 57,6%, yang diikuti oleh wilayah Sumatera dan Sulawesi dengan pangsa masing-masing sebesar 22% dan 9,6%.

Melambatnya pertumbuhan produksi tanaman padi disebabkan oleh dua faktor, yaitu rendahnya produktivitas dan berkurangnya luas lahan. Rendahnya produktivitas disebabkan beberapa hal, yaitu kondisi infrastruktur pertanian yang mulai menurun, pemakaian teknologi benih yang masih terbatas, dan pengadaan/distribusi pupuk serta obat-obatan yang kurang memadai. Jaringan infrastruktur pertanian mengalami kerusakan yang relatif signifikan dengan tingkat kerusakan mencapai 17,5% (Tabel 1). Kerusakan infrastruktur terparah terjadi pada jaringan irigasi dan waduk penyimpan air. Sistem penyaluran benih berlabel belum menjamin adanya kontrol kualitas sehingga tingkat produksi tidak maksimal walaupun petani telah berusaha melakukan penangkaran atas benih berlabel. Di sisi pasokan pupuk, muncul keterbatasan penyediaan pupuk mengingat tingkat produksi pupuk dalam negeri yang terbatas akibat menurunnya kapasitas (Grafik 3). Terkait dengan luas lahan, terdapat penurunan luas lahan padi khususnya di pulau Jawa akibat alih fungsi lahan (Grafik 4).

Implikasi dari menurunnya peranan sektor pertanian adalah turunnya penyediaan bahan pangan dan penyerapan tenaga kerja. Di sisi penyediaan bahan

Grafik 1

Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Industri

35 30 25 20 15 10

Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDB Pangsa Sektor Industri terhadap PDB

Pertumbuhan Industri (RHS) Pertumbuhan Pertanian (RHS)

Sumber: BPS

Grafik 2 Produksi dan Pertumbuhan Padi

Volume Pertumbuhan (RHS)

ribu, ton 10

Sumber: BPS

Penurunan Peranan Sektor Pertanian

pangan, meningkatnya populasi penduduk Indonesia yang tenaga kerja, rendahnya pertumbuhan sektor pertanian hanya diimbangi dengan produksi padi yang terbatas telah

juga menyebabkan rendahnya penyerapan tenaga kerja mengakibatkan kebutuhan pangan harus dijembatani

di sektor pertanian. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh kebijakan impor beras (Tabel 2). Impor beras terjadi

mengingat sektor pertanian merupakan sektor penyangga setiap tahun, kecuali tahun 1993 ketika Indonesia berhasil

penyerapan tenaga kerja yang sangat besar. melaksanakan swasembada beras. Di sisi penyerapan

persen, yoy

persen 3,5

ribu, ton

-0,5 0 -20 Jawa

1995 1999 2003 1981-1998

Luar Jawa Nas

Jawa

Luar Jawa

Konversi Neraca

Volume

Penambahan

Pertumbuhan (RHS)

Sumber: Departemen Pertanian

Sumber: BPS

Grafik 4 Grafik 3 Konversi Luas Lahan Padi, 1981-2002

Volume dan Pertumbuhan Produksi Pupuk Urea

Tabel 1 Kondisi Infrastruktur Irigasi

Keandalan Air Prasarana Terbangun

Rusak Berat

Rusak Ringan

Waduk Non Waduk

719,17 6.052,65 Jaringan Irigasi

Sumber: Departemen Pertanian

Bab 4

Nilai Tukar

66