Kondisi Makroekonomi

Bab 2: Kondisi Makroekonomi

Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2007 menunjukkan kinerja yang membaik. Hal ini tercermin dari pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi pascakrisis yang ditopang oleh stabilitas makroekonomi yang semakin kokoh dan terjaga baik. Dari sisi permintaan, akselerasi pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan prospek ekonomi. Meskipun sedikit melambat, ekspor tetap tumbuh tinggi di tengah ancaman perlambatan ekonomi dunia. Ekspansi di sisi permintaan tercermin pula pada peningkatan utilisasi kapasitas produksi di hampir semua sektor ekonomi. Beberapa sektor utama penopang pertumbuhan ekonomi seperti industri pengolahan, sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti pula dengan penyerapan angkatan kerja yang lebih tinggi, pendapatan per kapita yang meningkat dan indeks kedalaman serta keparahan kemiskinan yang menurun.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 menunjukkan didukung oleh permintaan dunia dan harga internasional peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006,

yang masih menarik, terutama untuk komoditas berbasis bahkan merupakan pencapaian tingkat pertumbuhan

sumber daya alam. Impor masih tumbuh tinggi sejalan tertinggi pascakrisis. Secara keseluruhan perekonomian

dengan perbaikan permintaan domestik dan ekspor. berkembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun

Pada paruh kedua, pulihnya daya beli masyarakat telah masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang

mendorong konsumsi swasta tumbuh tinggi. Investasi bersumber baik dari sisi global maupun domestik.

terus tumbuh dengan tren yang meningkat terutama Dari sisi eksternal, dampak lonjakan harga minyak dan

bersumber dari penguatan permintaan dalam negeri. krisis subprime mortgage di AS dapat diminimalkan sehingga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan defisit fiskal tetap terjaga. Terciptanya stabilitas makroekonomi di dalam negeri serta perbaikan daya beli masyarakat

persen, yoy

memberikan landasan yang kokoh dan kondusif bagi

penguatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007.

Setelah menurun menjadi 5,5% (yoy) pada tahun 2006,

pertumbuhan ekonomi meningkat signifikan pada tahun

2007 hingga mencapai 6,3% (yoy) (Grafik 2.1).

Di sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang impresif tercermin pada peningkatan pertumbuhan 2

permintaan domestik serta relatif tingginya ekspor. Pada 1 paruh pertama tahun 2007, daya beli masyarakat, yang

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

menurun pada tahun 2006 pascakenaikan harga BBM

tahun 2005, berangsur membaik sehingga mendorong peningkatan konsumsi swasta. Investasi yang sempat

Sumber: BPS, diolah

melambat sejalan dengan berkurangnya daya dorong

Grafik 2.1

permintaan domestik, mulai menunjukkan peningkatan

Pertumbuhan PDB

yang signifikan. Ekspor di awal tahun masih tumbuh tinggi

24

25

Ekspor tumbuh melambat di akhir tahun seiring dengan perlambatan permintaan global. Sementara itu, impor tumbuh tinggi di akhir tahun sejalan dengan kuatnya permintaan domestik.

Di sisi sektoral, seluruh sektor tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Sektor-sektor yang tumbuh signifikan adalah sektor transportasi dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor keuangan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sementara itu, sektor industri, perdagangan dan pengangkutan masih merupakan sektor penopang utama pertumbuhan. Sementara pangsa utama sektor-sektor terhadap perekonomian tidak mengalami perubahan yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertanian, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran.

Kebijakan sektor riil diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang terkait dengan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Paket kebijakan tersebut merupakan penguatan kebijakan-kebijakan lintas sektoral yang telah ada dan penerbitan kebijakan-kebijakan baru. Paket kebijakan tersebut mencakup perbaikan iklim investasi, reformasi sistem keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan UMKM yang dibagi ke dalam: i) paket perbaikan iklim investasi; ii) reformasi sistem keuangan;

iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan iv)

pemberdayaan UMKM. Sampai dengan November 2007, Pemerintah telah berhasil menyelesaikan sebagian besar target yang ditetapkan dalam Inpres tersebut. Di bidang kesejahteraan, kebijakan-kebijakan dilakukan antara lain percepatan upaya penanggulangan kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), melanjutkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) guna membantu siswa tidak mampu serta berbagai kebijakan lainnya.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 juga diiringi oleh pengurangan jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Ekspansi perekonomian pada tahun 2007 mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dibanding pertambahan angkatan kerja. Konsekuensinya, tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2007 turun menjadi 10,5 juta orang dibandingkan dengan 11,1 juta orang pada tahun 2006. Penurunan angka pengangguran tersebut pada gilirannya mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dari 39,30 juta orang (17,7% dari total penduduk) pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta orang (16,6% dari total penduduk) pada tahun 2007. Perbaikan di bidang kesejahteraan ini memberikan dampak positif pada beberapa indikator yang ditargetkan di dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium tahun 2015 (Millenium Development Goals 2015) khususnya yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, penurunan tingkat kematian anak, dan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah.

Tabel 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan

Total Konsumsi

4,6 4,6 5,3 5,1 4,9 Konsumsi Swasta

4,7 4,7 5,1 5,6 5,0 Konsumsi Pemerintah

12,1 9,1 Permintaan Domestik

-0,8 3,4 4,4 9,6 4,2 Net Ekspor

6,8 25,0 6,7 -14,2 6,1 Ekspor Barang dan Jasa

8,1 9,8 6,9 7,3 8,0 Impor Barang dan Jasa

6,1 6,4 6,5 6,3 6,3 Distribusi PDB (%) Total Konsumsi

68,2 65,4 Konsumsi Swasta

58,9 57,6 Konsumsi Pemerintah

23,6 22,4 Ekspor Barang dan Jasa

49,1 47,8 Impor Barang dan Jasa

Sumber: BPS, diolah 1 Pembentukan Modal Tetap Bruto

26

Permintaan Agregat Dari sisi permintaan, membaiknya daya beli masyarakat dan tingginya permintaan dunia terhadap produk ekspor Indonesia, menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007. Pada paruh pertama tahun 2007, perbaikan daya beli masyarakat yang didukung oleh keyakinan konsumen terhadap peningkatan pendapatan mendorong peningkatan pertumbuhan konsumsi swasta yang signifikan. Ditopang oleh tingginya permintaan dunia terhadap komoditas pertanian dan pertambangan, ekspor masih tumbuh tinggi. Investasi juga tumbuh dengan tren yang meningkat sejalan dengan peningkatan konsumsi swasta. Sementara itu impor, terutama impor barang konsumsi dan bahan baku, tumbuh tinggi seiring dengan meningkatnya permintaan domestik dan ekspor. Pada paruh kedua, pertumbuhan ekonomi masih disumbang terutama oleh permintaan domestik yang tumbuh tinggi. Sementara itu, seiring dengan perlambatan perekonomian global, sumbangan ekspor cenderung mengalami

penurunan. Pada saat yang bersamaan impor tumbuh dengan tren yang meningkat.

Pertumbuhan konsumsi swasta tahun 2007 meningkat mencapai 5,0% didorong oleh perbaikan daya beli masyarakat. Rendahnya daya beli masyarakat pada tahun 2006 sebagai dampak kenaikan harga BBM berangsur- angsur pulih pada tahun 2007. Hal ini tercermin pada pertumbuhan konsumsi swasta yang terus tumbuh dengan tren yang meningkat sejak awal tahun hingga menjadi 5,0% (yoy) pada tahun 2007, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3,2% (yoy). Pulihnya daya beli masyarakat tersebut dirasakan oleh hampir seluruh kalangan masyarakat. Gaji kelompok masyarakat golongan menengah ke atas yang bekerja pada sektor formal mengalami peningkatan rata-rata sebesar 13% (yoy) pada tahun 2007 (Tabel 2.2). Sementara itu, upah pekerja di sektor informal, yang menunjukkan daya beli masyarakat golongan bawah, meskipun belum mengalami peningkatan signifikan, terus menunjukkan perbaikan (Grafik 2.2 dan 2.3).

Berdasarkan komponennya, baik konsumsi makanan maupun bukan makanan tumbuh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2006 (Grafik 2.4). Konsumsi bukan makanan tumbuh sebesar 5,8% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar 4,1%. Peningkatan konsumsi bukan makanan tercermin dari peningkatan signifikan penjualan barang tahan lama seperti pembelian kendaraan bermotor dan barang elektronik. Pembelian kendaraan bermotor selama tahun 2007 tumbuh sebesar 36,3% atau membaik dari tahun sebelumnya yang tumbuh negatif sebesar 40,2%

Grafik 2.2 Upah Buruh Informal Perkotaan

-2 -4 -6 -8

-10 -12

Upah riil bangunan per hari (RHS) Upah riil pembantu RT per bulan (RHS)

persen, yoy

Pertumbuhan upah riil potong rambut wanita per kepala

Upah riil potong rambut wanita per kepala (RHS) Pertumbuhan upah riil bangunan per hari

Pertumbuhan upah riil pembantu RT per bulan

Rupiah

Sumber: BPS, diolah

2005 2007 2006

Grafik 2.3 Upah Buruh Tani

Upah riil nasional (RHS) Upah riil Jawa (RHS)

persen, yoy 3.200

Pertumbuhan upah riil nasional

Upah riil luar Jawa (RHS) Pertumbuhan upah riil jawa

Pertumbuhan upah riil luar jawa

Rupiah

Sumber: BPS, diolah

2005 2007 2006

Tabel 2.2 Kenaikan Gaji Berdasarkan Tingkat Manajemen

persen

Tingkat Manajemen

Kenaikan Rata-rata

Kerah Biru

Manajemen Yunior

9,8

13 13,7

Manajemen Menengah

Manajemen Senior

Sumber: SWA, Februari 2007 * perkiraan

persen, yoy

persen, yoy

IV Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov 2005

Konsumsi Rumah Tangga

Bukan Makanan

Penjualan Motor Penjualan Mobil

Sumber: BPS, diolah

Sumber: CEIC

Grafik 2.4 Grafik 2.5 Pertumbuhan Konsumsi Swasta dan Komponennya

Pertumbuhan Penjualan Mobil dan Motor

(Grafik 2.5). Sementara itu, pembelian sepeda motor peningkatan sejak awal tahun. Komponen pembentuk yang tumbuh negatif sebesar 12,8% meningkat menjadi

indeks keyakinan konsumen di Survei Konsumen-BI terus sebesar 5,8%. Pembelian barang elektronik antara lain

menunjukkan peningkatan (Grafik 2.7). Peningkatan ini televisi dan mesin cuci meningkat menjadi sebesar 21,3%

terutama dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dan 33,3% pada tahun 2007 (Tabel 2.3). Tren peningkatan

penghasilan saat ini, kondisi ekonomi, dan ketersediaan konsumsi ini juga tercermin pada pertumbuhan M1 riil

lapangan kerja. Sementara ekspektasi pendapatan yang yang meningkat pada tahun 2007 (Grafik 2.6).

berasal dari Survei Tendensi Konsumen-BPS juga berada pada level optimis yang terutama berasal dari perbaikan

Keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian juga perkiraan pendapatan rumah tangga (Grafik 2.8). Selain merupakan pendorong perbaikan konsumsi swasta. Sejak

itu, penurunan suku bunga pinjaman hingga pertengahan awal tahun 2007, keyakinan konsumen diindikasikan terus

tahun diperkirakan juga memengaruhi peningkatan mengalami perbaikan. Hal ini diperlihatkan oleh Survei

konsumsi swasta.

Konsumen-Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan tren Dari sisi pembiayaan, percepatan pertumbuhan konsumsi swasta didukung oleh kredit konsumsi dan pembiayaan nonbank. Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank

persen, yoy

tumbuh lebih tinggi seiring dengan penurunan suku

bunga. Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2007

sebesar 17,5%, meningkat dibanding dengan tahun

sebelumnya sebesar 16,8%. Selain itu, pembiayaan

konsumen pada tahun 2007 secara rata-rata juga tumbuh

lebih tinggi daripada pertumbuhan rata-rata tahun

0 sebelumnya (Grafik 2.9 dan Grafik 2.10).

Pertumbuhan Penjualan Produk Elektronik

Lemari Es

Pertumbuhan M1 Riil

AC 26,03

Mesin Cuci

Sumber: Electronic Marketing Club.

IV I II III IV Kondisi Ekonomi Saat Ini

2007 Penghasilan Saat Ini

Indeks Keyakinan Konsumen

Perkiraan Pendapatan RT Ketersediaan Lapangan Kerja

Barang Tahan Lama Ketepatan Waktu Pembelian

ITK

Rencana Pembelian Durable Goods Sumber: BPS, Survei Tendensi Konsumen

Grafik 2.7 Grafik 2.8 Survei Konsumen

Indeks Tendensi Konsumen

Berbeda dengan perkembangan konsumsi swasta, (yoy) meningkat dibandingkan dengan 2,5% pada konsumsi pemerintah tumbuh melambat. Konsumsi

tahun 2006. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh pemerintah tumbuh sebesar 4,0% melambat

peningkatan permintaan yang berasal baik dari domestik dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar

maupun eksternal pada paruh pertama tahun 2007 9,6% seiring dengan realisasi APBN yang lebih rendah.

serta peningkatan konsumsi swasta yang tinggi hingga Berdasarkan komponennya perlambatan terutama terjadi

akhir tahun. Peningkatan pertumbuhan terjadi baik pada pada belanja pegawai, Dana Alokasi Umum (DAU) dan

investasi bangunan maupun nonbangunan. Kondisi itu Dana Alokasi Khusus (DAK). Di sisi lain, belanja lain-lain

juga didukung oleh efisiensi penggunaan kapital yang dan Dana Bagi Hasil (DBH) tumbuh negatif.

cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penanaman modal disektor yang padat teknologi. Pada

Merespons perbaikan permintaan, investasi juga tumbuh tahun 2007, incremental capital output ratio (ICOR) 1 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

mengalami penurunan (perbaikan) menjadi sebesar Pada tahun 2007, investasi tumbuh sebesar 9,2%

3,8, lebih rendah dari angka tahun 2006 sebesar 4,2 (Grafik 2.11) maupun rata-rata 4 (empat) tahun terakhir. Dengan perkembangan tersebut, rasio investasi terhadap PDB (riil) meningkat secara perlahan mencapai 22,4%,

persen, yoy

namun masih berada di bawah angka tertingginya pada

periode sebelum krisis (Grafik 2.12).

Dari sisi komponennya, akselerasi pertumbuhan

investasi terutama didorong oleh pertumbuhan investasi

nonbangunan yang mencapai 10,1% (yoy) (Grafik 2.13). Peningkatan pertumbuhan investasi nonbangunan

tersebut tercermin pada tren pertumbuhan penjualan

0 alat angkut berat yang meningkat pada tahun 2007 (Grafik 2.14). Sementara itu, investasi bangunan tumbuh

-10 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov

stabil sebesar 8,6% (yoy). Perkembangan investasi

bangunan tersebut sejalan dengan perkembangan penjualan semen yang relatif tetap selama tahun 2007 (Grafik 2.15).

Grafik 2.9 Pertumbuhan Kredit Konsumsi Riil

1 ICOR adalah angka rasio antara tambahan modal terhadap tambahan output atau besarnya investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output.

Grafik 2.10 Grafik 2.11 Pertumbuhan Pembiayaan Konsumsi Lainnya

Incremental Capital Output Ratio (ICOR)

Perkembangan investasi berdampak pada peningkatan sentimen pelaku bisnis akan kondisi perekonomian ke kapasitas perekonomian sehingga tercermin pada tren

depan membaik, khususnya yang terkait dengan kondisi akumulasi kapital yang meningkat. Berbagai permasalahan

permintaan dalam negeri dan permintaan akan barang terkait prasarana untuk kegiatan produksi mulai

input (Grafik 2.17). Searah dengan survei BPS, Survei mengindikasikan perbaikan seiring meningkatnya tren

Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI yang terkait dengan akumulasi kapital secara perlahan (Grafik 2.16). Di sisi lain,

realisasi investasi memberikan indikasi bahwa realisasi membaiknya pertumbuhan investasi diharapkan mampu

nilai investasi pada semester II-2007 meningkat bila meningkatkan kapasitas perekonomian sehingga tekanan

dibandingkan dengan semester I-2007 (Grafik 2.18). inflasi dari sisi output gap menjadi minimal. Peningkatan investasi tercermin pada kesenjangan Meningkatnya pertumbuhan investasi didukung oleh

tabungan-investasi (saving-investment gap). Sejalan membaiknya sentimen bisnis pengusaha terhadap kondisi

dengan pertumbuhan investasi yang meningkat, rasio perekonomian. Survei BPS memperlihatkan bahwa

kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB juga

persen

persen, yoy

IV I II III IV 2005

PMTB (RHS)

Non Bangunan

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS, diolah

Grafik 2.12 Grafik 2.13 Distribusi PMTB terhadap PDB

Pertumbuhan Komponen Investasi

persen, yoy

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov 2005

Sumber: CEIC

Sumber: CEIC, diolah

Grafik 2.14 Grafik 2.15 Pertumbuhan Penjualan Alat Angkut Berat

Pertumbuhan Konsumsi Semen

mengalami penurunan dari 2,7% pada tahun 2006 belum tersedianya infrastruktur secara memadai serta menjadi 2,5% pada tahun 2007. Namun, penurunan

permasalahan peraturan terkait investasi. Berdasarkan surplus kesenjangan tabungan-investasi tersebut lebih

survei Doing Business 2008 oleh International Financial berasal dari peningkatan defisit Pemerintah, dari -0,9%

Corporation, peringkat daya saing Indonesia menunjukkan menjadi -1,2%. Sementara itu, surplus di sektor swasta

perbaikan dari posisi 133 menjadi 123 pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 3,6% menjadi 3,8%,

(Tabel 2.5). Namun peringkat Indonesia tersebut tetap meskipun pertumbuhan investasi swasta meningkat.

lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam.

Walaupun demikian, kegiatan investasi masih dihadapkan Selain survei tersebut, World Economic Forum juga pada kendala iklim investasi yang kurang kondusif bila

menunjukkan peringkat Indonesia tidak mengalami dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Iklim

perubahan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara investasi yang belum sepenuhnya kondusif antara

tetangga, daya saing Indonesia hanya mengungguli daya lain disebabkan oleh beberapa permasalahan seperti

saing Vietnam dan Filipina (Tabel 2.6).

2006 2007 Akumulasi Kapital (RHS)

Pertumbuhan Sumber: BPS, Survei Tendensi Bisnis

Grafik 2.16 Grafik 2.17 Akumulasi Kapital

Indeks Tendensi Bisnis

Tabel 2.4

persen

Kesenjangan Tabungan – Investasi

Rasio terhadap PDB (%)

Defisit/Surplus

-0,5 -0,9 -1,3

Defisit/Surplus

Realisasi Investasi (% responden)

Defisit/Surplus

Grafik 2.18 Realisasi Investasi (SKDU)

Keterangan: PDB (Triliun Rp), tahun dasar 2000

Transaksi Berjalan (Juta $)

9.713 9.167 9.140 Perkembangan ekspor barang dan jasa terkait dengan Sumber: BPS, Depkeu, diolah

Rata-rata Kurs (Rp/$)

tingginya permintaan dunia. Pada tahun 2007, ekspor masih tumbuh tinggi sebesar 8,0% (yoy) meskipun

sawit dan karet (Grafik 2.21). Sementara itu, komoditas lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun

sektor industri pengolahan yang menonjol adalah barang sebelumnya. Faktor yang memengaruhi pertumbuhan

kimia dan produk karet (Grafik 2.22). Pada tahun 2007 ekspor terutama berasal dari tingginya permintaan dunia di

permintaan dunia akan batu bara dan minyak sawit paruh pertama tahun 2007 (Grafik 2.19). Menjelang akhir

meningkat tajam sehubungan dengan diversifikasi energi paruh kedua tahun 2007, kondisi eksternal berkembang

akibat melambungnya harga minyak. menjadi kurang kondusif sehubungan dengan berlanjutnya kasus subprime mortgage AS yang mulai

Sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi, impor berdampak pada penurunan permintaan global. Namun

barang dan jasa juga tumbuh lebih tinggi dibandingkan kondisi tersebut belum berdampak signifikan terhadap

dengan tahun 2006. Pertumbuhan impor barang dan perlambatan pertumbuhan ekspor.

jasa yang mencapai 8,9% (yoy) terutama ditunjang oleh pertumbuhan barang konsumsi dan bahan baku yang

Pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi tersebut tumbuh tinggi (Grafik 2.23). Pertumbuhan impor barang terutama didukung oleh ekspor komoditas ekstraktif yaitu

konsumsi yang lebih tinggi disebabkan oleh ekspansi komoditas tambang seperti, ekspor batu bara dan nikel

konsumsi masyarakat seiring perbaikan daya beli. (Grafik 2.20) dan komoditas pertanian seperti minyak

Sementara kenaikan pertumbuhan impor bahan baku

Tabel 2.5 Peringkat Indonesia – Iklim Melakukan Usaha/Investasi

Kepatuhan Negara

Kemudahan Melakukan

Memulai Bisnis

Kontrak Menutup Bisnis

Sumber: IFC, diolah

Tabel 2.6 Peringkat Indonesia – Daya Saing

juta ton

juta ton 90 11

(dari 131 negara)

(dari 122 negara)

Malaysia 8 21 19 Vietnam 60 68 64 7

Thailand 28 28 50 6 China

Sumber: WEF, diolah 20 2

dan barang modal terkait dengan peningkatan kegiatan

Total

Pertanian (RHS)

produksi serta peningkatan investasi (Grafik 2.24).

Mineral

Industri Manufaktur (RHS)

Peningkatan impor yang tinggi terutama terjadi pada paruh kedua tahun 2007 sejalan dengan semakin menguatnya Grafik 2.19

Volume Ekspor Nonmigas Berdasarkan Kelompok Barang

permintaan domestik. Penawaran Agregat

Dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor mengalami Peningkatan permintaan domestik dan masih tingginya pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding dengan tahun

ekspor mendorong penguatan pertumbuhan industri 2006. Perkembangan tersebut didukung oleh indikasi

pengolahan. Pada tahun 2007, industri pengolahan peningkatan utilisasi kapasitas produksi yang terjadi di

tumbuh sebesar 4,7% (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan hampir semua sektor (Grafik 2.25). Sektor-sektor yang

dengan 4,6% (yoy) pada tahun 2006 (Tabel 2.7). tumbuh tinggi pada tahun 2007 adalah sektor-sektor

Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh subsektor alat nontradables yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi,

angkutan, mesin dan perlengkapannya serta subsektor sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, serta

makanan, minuman, dan tembakau. Membaiknya sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sementara itu,

pertumbuhan industri pengolahan tercermin pada sektor-sektor yang merupakan penopang perekonomian

pertumbuhan tahunan indeks produksi industri pengolahan seperti sektor industri pengolahan dan sektor pertanian

Bank Indonesia dan BPS yang menunjukkan peningkatan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006.

sejak awal tahun (Grafik 2.26 dan Grafik 2.27). Namun demikian, perlu dicermati tren pertumbuhan triwulanan

juta ton

juta ton

ribu ton

ribu ton

1.000 I II III

IV 0 I II III

IV I II III IV 2005

Nikel (RHS)

Karet

Minyak Sawit (RHS)

Grafik 2.20 Grafik 2.21 Volume Ekspor Produk Unggulan Tambang Nonmigas

Volume Ekspor Produk Unggulan Pertanian

ribu ton

persen, yoy

2007 Produk Karet

Produk Kimia (RHS)

Impor Barang Konsumsi (nilai)

Impor Barang Modal (nilai)

Impor Bahan Baku (nilai)

Sumber: BPS, diolah

Grafik 2.22 Grafik 2.23 Volume Ekspor Produk Unggulan Manufaktur

Pertumbuhan Nilai Impor menurut Kelompok Barang

sektor industri pengolahan yang terus melambat Produksi mobil pada tahun 2007 mencapai 411,6 ribu hingga akhir tahun yang bersumber dari melambatnya

unit, meningkat 98,4% (yoy) dibandingkan dengan tahun pertumbuhan beberapa subsektor.

lalu yang hanya sebesar 207,5 ribu unit. Pada saat yang bersamaan, total penjualan barang elektronik (televisi,

Pertumbuhan sektor industri pengolahan didukung oleh lemari es, AC, dan mesin cuci) mencapai 7,9 juta unit atau subsektor industri alat angkut, mesin, dan peralatannya

meningkat sebesar 24,8% dibanding periode yang sama yang masih tumbuh tinggi. Pada tahun 2007, subsektor

di tahun 2006.

industri alat angkut, mesin dan peralatannya tumbuh sebesar 9,7% dibandingkan dengan 7,6% pada

Sementara itu, subkelompok industri makanan, minuman, tahun 2006. Peningkatan ini terutama didorong oleh

dan tembakau serta subkelompok tekstil, barang dari membaiknya permintaan domestik yaitu konsumsi

kulit dan alas kaki menunjukkan penurunan kinerja bila swasta dan investasi yang meningkat. Hal ini terlihat pada

dibandingkan dengan tahun 2006. Kelompok industri produksi kendaraan bermotor dan barang elektronik yang

makanan, minuman dan tembakau tumbuh sebesar 5,1% meningkat pada tahun 2007 (Grafik 2.28 dan Grafik 2.29).

lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya

persen, yoy

persen, yoy

persen

Survei Kegiatan Dunia Usaha

Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV 2005

2007 Investasi Nonbangunan

Impor Barang Modal (RHS)

Total Utilisasi Kapasitas

Pertanian Pertambangan

Sumber: BPS, diolah

Industri Pengolahan

Listrik, Gas & Air Bersih

Grafik 2.24 Pertumbuhan Nilai Impor Barang Modal dan

Grafik 2.25 Investasi Nonbangunan

Utilisasi Kapasitas

Tabel 2.7 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran

IV Pertumbuhan (%)

I II III

7,6 3,1 3,5 Pertambangan dan Penggalian

1,0 -2,1 2,0 Industri Pengolahan

4,5 3,8 4,7 Listrik, Gas, dan Air Bersih

8,3 9,9 8,6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran

7,9 9,1 8,5 Pengangkutan dan Komunikasi

14,1 17,4 14,4 Keuangan, Persewaan, dan Jasa

6,5 6,3 6,3 Distribusi terhadap PDB (%)

15,1 11,9 13,8 Pertambangan dan Penggalian

8,4 8,6 8,7 Industri Pengolahan

27,1 27,6 27,4 Listrik, Gas dan Air Bersih

6,1 6,5 6,2 Perdagangan, Hotel, dan Restoran

17,2 17,7 17,3 Pengangkutan dan Komunikasi

7,2 7,9 7,3 Keuangan, Persewaan, dan Jasa

Sumber: BPS, diolah

sebesar 7,2%. Apabila dilihat secara triwulanan, meskipun -3,7% (yoy), berlawanan dibandingkan dengan tahun sempat tumbuh tinggi di awal tahun, kelompok industri

sebelumnya yang mencatat pertumbuhan positif makanan, minuman dan tembakau terus menunjukkan

sebesar 1,2% (yoy). Beberapa faktor yang memengaruhi tren pertumbuhan yang melambat hingga akhir tahun.

perlambatan pertumbuhan subkelompok industri tekstil Bahkan subkelompok industri tekstil, barang dari kulit,

adalah penetrasi produk impor berharga murah terutama dan alas kaki yang pada tahun 2007 tumbuh sebesar

dari China serta lambatnya program restrukturisasi mesin industri tekstil berupa pemberian subsidi bunga kredit

perbankan. 2

persen, yoy

indeks

Sejalan dengan peningkatan konsumsi masyarakat, sektor perdagangan, hotel, dan, restoran tumbuh

tinggi. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran

tumbuh sebesar 8,5% pada tahun 2007 lebih tinggi

5 80 dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2006

0 60 sebesar 6,4%. Peningkatan ini terutama bersumber

40 dari subsektor perdagangan yang meningkat dari 6,6%

pada tahun 2006 menjadi 8,9% pada tahun 2007.

Sebagai indikator perbaikan konsumsi masyarakat, peningkatan kegiatan perdagangan tercermin pada hasil

survei di tingkat pedagang eceran oleh Bank Indonesia yang menunjukkan kenaikan kegiatan perdagangan

Indeks Industri Pengolahan (RHS) Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Pengolahan

(Grafik 2.30). Di samping itu, data bongkar muat barang di empat pelabuhan utama (Belawan, Tanjung Priok,

Grafik 2.26 Indeks Produksi Industri Pengolahan-Survei Produksi

2 Dari total subsidi bunga kredit sebesar Rp255 miliar, baru terserap oleh industri tekstil sebesar 60,2%.

persen, yoy

IV I II III IV 2005

Sumber: BPS, diolah

Sumber: CEIC, diolah

Grafik 2.27 Grafik 2.28 Pertumbuhan Indeks Produksi Pengolahan

Pertumbuhan Produksi Mobil

Tanjung Perak, dan Makassar) menunjukkan peningkatan utama pertumbuhan sektor pertanian (Tabel 2.8). kegiatan (Grafik 2.31). Subsektor hotel dan restoran juga

Pertumbuhan ini ditopang oleh kenaikan produksi padi mengalami peningkatan. Kondisi ini tercermin pada tingkat

yang berasal dari kenaikan produktivitas di wilayah Jawa hunian hotel serta jumlah wisatawan mancanegara yang

dan luas lahan pertanian di luar Jawa. Sementara itu, mengalami peningkatan (Grafik 2.32 dan Grafik 2.33).

kenaikan produksi karet dan kelapa sawit terkait dengan tingginya permintaan luar negeri selama tahun 2007

Kenaikan produksi dan meningkatnya permintaan ekspor

(Grafik 2.34).

mendorong perbaikan pertumbuhan sektor pertanian. Pada tahun 2007, sektor pertanian tumbuh sebesar

Sektor pertambangan dan penggalian tumbuh lebih tinggi 3,5%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan

mencapai 2,0% pada tahun 2007 terutama didorong pada tahun 2006 sebesar 3,4%. Kenaikan ini terutama

oleh pertumbuhan subsektor nonmigas. Untuk subsektor bersumber dari kenaikan subsektor tanaman bahan

nonmigas, komoditas yang menopang pertumbuhan makanan khususnya padi, yang merupakan penopang

terutama adalah komoditas batubara dan bijih nikel

persen, yoy

persen, yoy

Lemari Es

Mesin Cuci

Sumber: Electronic Marketing Club

Grafik 2.29 Grafik 2.30 Pertumbuhan Penjualan Barang Elektronik

Indeks Penjualan Eceran-Survei Penjualan Eceran

IV I II III IV 2005

Tingkat Hunian Hotel di Jakarta

Rata-rata Lama Tinggal di Jakarta (RHS)

Sumber: CEIC, diolah

Tingkat Hunian Hotel di Bali

Rata-rata Lama Tinggal di BaliI (RHS)

Grafik 2.31

Sumber: CEIC, sampai November 2007

Pertumbuhan Bongkar Barang Grafik 2.32 di 4 Pelabuhan Utama-Domestik

Tingkat Hunian Hotel dan Lama Tinggal

(Grafik 2.35). Sementara subsektor migas tumbuh negatif masyarakat serta berbagai upaya Pemerintah dalam akibat rendahnya investasi, turunnya produktivitas, dan

pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur. Perbaikan penutupan beberapa sumur minyak.

pertumbuhan sektor bangunan ini tercermin pada tingginya pertumbuhan properti komersial seperti pusat

Sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh tinggi perbelanjaan, apartemen, dan kondominium (Tabel 2.9). sebesar 14,4%, sama dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Subsektor komunikasi masih tumbuh tinggi

Ketenagakerjaan

dan menjadi pendorong utama, sejalan dengan semakin Pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan pada ketatnya persaingan antaroperator telepon. Hal ini

tahun 2007 diiringi oleh penyerapan jumlah tenaga kerja berdampak pada semakin gencarnya inovasi dan ekspansi

yang lebih tinggi yang berdampak pada penurunan angka usaha sehingga memengaruhi kenaikan pertumbuhan

penggangguran. Data terkini Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penggunaan telepon, khususnya telepon seluler.

menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja Indonesia Hingga akhir tahun 2007, jumlah pengguna telepon seluler

pada Agustus 2007 mencapai 109,9 juta orang, naik mencapai 80 juta pelanggan (Grafik 2.36). Sementara itu, subsektor pengangkutan tumbuh lebih rendah terkait maraknya kecelakaan pada berbagai moda transportasi di awal tahun (Grafik 2.37).

ribu orang

Sektor bangunan tumbuh meningkat. Sejalan dengan

pertumbuhan investasi bangunan, sektor bangunan

tumbuh sebesar 8,6% (yoy) lebih tinggi dibandingkan

dengan 8,3% (yoy) pada tahun 2006. Peningkatan

pertumbuhan sektor bangunan ini terkait dengan

keyakinan investor terhadap perbaikan daya beli

Luas Areal Panen dan Produksi Padi

Luas Panen

(Ha) Pertumbuhan Turis (RHS) (Ku/Ha) (ton)

Hasil/Ha

Produksi

Jumlah Turis Triwulan

Sumber: CEIC, sampai November 2007

Kunjungan Wisman melalui 13 Bandara Utama

Sumber: BPS * Angka Sementara

juta ton

juta ton

juta ton

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep 0 2005

2006

Batu Bara (RHS) Karet Kering (RHS)

Biji Sawit

Nikel

Grafik 2.34 Grafik 2.35 Produksi Karet Kering dan Biji Sawit

Volume Ekspor Aluminium dan Batu Bara

sebesar 3,6 juta orang jika dibandingkan dengan Agustus Komposisi tenaga kerja Indonesia belum mengalami 2006 (Grafik 2.38). Peningkatan angkatan kerja ini juga

perubahan dengan sektor pertanian sebagai penyerap diikuti oleh jumlah penduduk yang bekerja. Pada Agustus

tenaga kerja terbesar. Pada tahun 2007 sektor-sektor 2007, jumlah penduduk yang bekerja meningkat sebesar

seperti pertanian, perdagangan, dan industri yang memiliki 4,5 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2006. Dari

daya serap tenaga kerja yang tinggi mampu menyerap jumlah penduduk bekerja tersebut 69,1% bekerja di sektor

tenaga kerja sebesar 2,7%, 7,0%, dan 4,0%. Sementara informal sementara sisanya bekerja di sektor formal (Grafik

itu, peningkatan daya serap tenaga kerja oleh sektor- 2.39). Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang lebih besar

sektor yang tumbuh tinggi seperti sektor pengangkutan dibandingkan dengan angkatan kerja mendorong tren

dan komunikasi, sektor keuangan dan jasa, serta sektor penurunan persentase tingkat pengangguran terbuka

bangunan belum mampu memengaruhi komposisi tenaga (TPT) pada Agustus 2007 menjadi 9,1% dibandingkan

kerja di Indonesia. Komposisi tenaga kerja terbesar masih dengan 10,3% pada Agustus 2006.

berada di sektor pertanian, perdagangan dan industri masing-masing sebesar 41,0%, 20,6%, dan 12,4% (Tabel 2.10).

juta pelanggan

persen, yoy

persen, yoy

Penumpang KA

Cellular (Telkomsel+Indosat+ProXL)

Penumpang Angkutan Udara

Pertumbuhan Cellular (RHS)

Sumber: CEIC, diolah

Sumber: CEIC, diolah

Grafik 2.36 Grafik 2.37 Pelanggan Telepon Selular

Pertumbuhan Penumpang Angkutan KA dan Udara

37

38

Proporsi tenaga kerja yang masih didominasi angkatan kerja berlatar belakang pendidikan rendah memengaruhi tingkat produktivitas. Dari sisi tingkat pendidikan, lebih dari 35% jumlah tenaga kerja berpendidikan tertinggi sekolah dasar dan selanjutnya diikuti oleh SLTP, SLTA, dan tidak/ belum sekolah (Grafik 2.40). Sebagai konsekuensinya, jumlah penganggur dengan latar belakang pendidikan rendah mengalami penurunan sebaliknya jumlah penganggur dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkat (Tabel 2.11). Relatif tidak berubahnya proporsi tenaga kerja berdasarkan pendidikan tersebut memengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja yang sejak tahun 2000 tidak mengalami perubahan signifikan. Apabila diukur dengan menggunakan nilai output PDB (juta Rp) per jumlah tenaga kerja, tingkat produktivitas tenaga kerja tidak banyak mengalami perubahan yaitu meningkat tipis dari Rp19,4 juta per orang pada tahun 2006 menjadi Rp19,6 juta per orang pada tahun 2007 (Grafik 2.41).

Kesejahteraan Jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 menurun seiring dengan turunnya pengangguran. Secara tahunan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,2 juta (16,6%) dibandingkan dengan 39,3 juta (17,8%) pada tahun 2006, atau turun sebesar 2,1 juta (Tabel 2.12). Penurunan penduduk miskin terutama terjadi di daerah pedesaan sebesar 1,2 juta orang sementara di perkotaan berkurang 0,9 juta orang. Kondisi ini tidak terlepas dari pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi pada tahun laporan yang mampu menyerap tambahan tenaga kerja di pedesaan sehingga pada gilirannya mampu menurunkan angka kemiskinan di pedesaan tersebut. Namun demikian, rasio penduduk miskin pedesaan terhadap keseluruhan jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 63,4%. Apabila dilihat dari persentasenya, penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan turun menjadi 12,5% dan 20,4% dibandingkan dengan 13,4% dan 21,9% pada tahun sebelumnya.

Indeks kedalaman 3 dan keparahan kemiskinan 4 menunjukkan penurunan pada tahun 2007, meskipun sempat meningkat pada tahun 2006 akibat kenaikan BBM Oktober 2005. Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan tren perbaikan pada periode 1999- 2005. Kondisi ini terkait dengan penurunan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan yang meningkat pada tahun 2006 mengindikasikan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin secara umum meningkat. Pada tahun 2007, baik indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan penurunanan. Indeks kedalaman kemiskinan turun menjadi 3,0 sementara indeks keparahan kemiskinan turun menjadi 0,8 (Tabel 2.13 dan 2.14).

3 Merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. 4 Semakin tinggi nilai indeks ke kemiskinan berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Grafik 2.38 Angkatan Kerja, Bekerja, dan Menganggur

Angkatan Kerja Bekerja

juta orang

Feb-05 Nov-05

Menganggur Tingkat Pengangguran Terbuka (RHS)

Sumber: BPS, diolah

Tabel 2.9 Pertumbuhan Properti Komersil

Jenis Properti

Kumulatif per Triwulan II-2005

Kumulatif per Triwulan II-2006

Kumulatif per Triwulan II-2007

Pertumbuhan Triwulan II-2006 dibandingkan

Triwulan II-2005 (%)

Pertumbuhan Triwulan II-2007 dibandingkan Triwulan II-2006 (%)

Perkantoran (juta m2)

4,24 Pusat Perbelanjaan (juta m2)

5,35 Apartemen (unit)

44,74 Kondominium (unit)

22,80 Industri (hektar)

Sumber: Procon Indah Research, Triwulan II-2007.

39

Grafik 2.39 Bekerja Formal dan Informal

Formal, rasio terhadap total Informal, rasio terhadap total (RHS)

Agt-05 Feb-06

Sumber: BPS, diolah

Dilihat dari distribusinya, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di pedesaan lebih besar dan tinggi dibanding di perkotaan. Apabila dilihat lebih rinci, kedalaman kemiskinan di pedesaan lebih besar jika dibandingkan dengan di perkotaan, kondisi ini relatif tidak berubah sejak periode tahun 1999 hingga tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pengeluaran penduduk miskin di pedesaan masih jauh di bawah garis kemiskinan pedesaan. Kondisi yang sama juga terlihat pada indeks keparahan kemiskinan di pedesaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini menunjukkan distribusi ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.

Seiring dengan membaiknya berbagai indikator kesejahteraan di atas, pendapatan per kapita tahun 2007

mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, pendapatan mencapai $1.947,1 per kapita atau meningkat sekitar 15% dibandingkan dengan tahun 2006 (Tabel 2.15). Meningkatnya pendapatan per kapita tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan ekonomi secara nominal pada tahun 2007 dan pertumbuhan penduduk yang moderat. Namun demikian, kondisi distribusi pendapatan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Berdasarkan hitungan BPS, koefisien Gini yang mengukur disparitas pendapatan pada tahun 2007 sedikit lebih tinggi dari tahun 2006 (Tabel 2.16). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa disparitas pendapatan masyarakat cenderung melebar yang ditandai oleh membaiknya pendapatan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Sementara golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung mengalami penurunan pendapatan.

Perbaikan kesejahteraan pada tahun 2007 berdampak pada kemajuan yang signifikan dalam pencapaian target yang ditetapkan di dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium tahun 2015 (Millennium Development Goals/ MDGs). Sampai dengan akhir tahun 2007, Bank Dunia

Tabel 2.10 Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor dan Pertumbuhan Tenaga Kerja

2007 Pertumbuhan Tenaga Kerja

Februari November Februari

2006-2007 Nominal

41.206,5 -1.173,6 -2,84 1.070,2 2,67 Pertambangan

12.368,7 -62,8 -0,53 478,6 4,02 Listrik, Gas dan Air

247,1 174,9 33,4 17,17 -53,1 -23,30 Konstruksi

1.252,2 1.399,5 204,1 17,88 53,4 3,97 Jasa Kemasyarakatan

99.930,2 1.498,5 1,59 4.473,3 4,69 Sumber: Sakernas BPS

Tabel 2.11 Jumlah Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan

(persentase dari total jumlah pengangguran)

Pendidikan Agustus 2006 Agustus 2007

Tidak/Belum Pernah Sekolah 1,6 0,9 Belum/Tidak Tamat SD

Sumber: BPS, diolah

40

dalam laporan MDGs tahun 2007/2008, menilai bahwa Indonesia mampu menyelesaikan sebagian besar target- target yang terangkum di dalam 8 tujuan MDGs. Di bidang kemiskinan dan kelaparan, saat ini prosentase penduduk dengan penghasilan $1 per hari telah berhasil diturunkan menjadi 7,5%, di bawah targetnya sebesar 10%. Meskipun demikian, Bank Dunia mencatat bahwa indikator kemiskinan yang lain seperti tingkat kedalaman kemiskinan dan proporsi konsumsi penduduk miskin belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Indikator lain yang juga menunjukkan kemajuan adalah tingkat kematian anak yang menurun dan jumlah anak yang mengenyam pendidikan tingkat SD dan SMP yang meningkat.

Kebijakan Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Pada tahun 2007 kebijakan sektor riil melalui implementasi kombinasi kebijakan yang terintegrasi diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi guna mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6% seperti tercantum dalam RPJMN tahun 2004-2009. Pentingnya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan mendorong Pemerintah untuk bekerja lebih keras dan bersungguh-sungguh dalam merencanakan dan mengimplementasikan setiap kebijakan. Pada tahun 2007, Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 6/2007 berupa paket kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Paket kebijakan tersebut merupakan penguatan kebijakan-kebijakan lintas sektoral yang terdiri dari percepatan implementasi kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan sebelumnya 5 dan penerbitan kebijakan- kebijakan baru. Paket kebijakan tersebut terdiri dari

5 Terutama Inpres No.3 Tahun 2006 tentang Perbaikan Iklim Investasi.

141 kebijakan yang dikelompokkan ke dalam: i) paket perbaikan iklim investasi; ii) reformasi sistem keuangan;

iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan iv) pemberdayaan UMKM. Sampai dengan November 2007, Pemerintah telah berhasil menyelesaikan sebagian besar target yang ditetapkan di dalam Inpres tersebut dan masih menyisakan 47 tindakan kebijakan yang belum dapat diselesaikan (Tabel 2.17).

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai pertumbuhan investasi yang lebih tinggi. Kombinasi antara permasalahan domestik yang belum dapat diselesaikan secara menyeluruh dan persaingan yang makin ketat dengan negara-negara tetangga menjadikan perbaikan iklim investasi sebagai salah satu prioritas utama dalam implementasi kebijakan selama tahun 2007. Perbaikan iklim investasi yang dilakukan oleh Pemerintah mencakup 3 aspek yaitu aspek kelembagaan, kelancaran arus barang dan kepabeanan, serta perpajakan. Dalam aspek kelembagaan, upaya mendorong investasi ditunjukkan dengan disahkannya UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal. Beberapa terobosan penting dalam rangka meningkatkan investasi dalam undang-undang tersebut adalah perluasan cakupan jenis penanaman modal, kriteria investor, jenis usaha, dan penyederhanaan perijinan. Terkait dengan aspek kelancaran barang dan kepabeanan, Pemerintah menerbitkan beberapa peraturan yang intinya memangkas bea masuk beberapa komoditas untuk kegiatan penanaman modal dan pengembangan sektor-sektor produktif. Di samping itu, Pemerintah juga melakukan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang melalui jalur hijau menjadi rata-rata 30 menit dan jalur

Grafik 2.40 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Bekerja berdasarkan Tingkat Pendidikan

40 35 30 25 20 15 10

persen

November 2005 Agustus 2007 Agustus 2007

Tidak/Belum Sekolah

SD

Tidak/Belum Tamat SD

SLTP SLTA

Diploma I/II/III Universitas

Sumber: BPS, diolah

Grafik 2.41 Produktivitas Tenaga Kerja

juta Rp/orang

2004 2007 2006 2003 2002 2001 2000 2001

merah menjadi rata-rata 3 hari. Selanjutnya, untuk aspek perpajakan, Pemerintah menerbitkan beberapa peraturan kelonggaran pajak, khususnya untuk pajak penghasilan dan pertambahan nilai, untuk kegiatan yang berhubungan dengan penanaman modal.

Selain itu, pada tahun 2007 Pemerintah menekankan upaya-upaya reformasi sektor keuangan melalui penguatan stabilitas sistem keuangan yang mencakup lembaga keuangan bank, nonbank, dan pasar modal. Beberapa kebijakan yang ditempuh antara lain adalah penguatan mekanisme koordinasi antarotoritas lembaga keuangan dan penyusunan jaring pengaman sistem keuangan. Di samping itu, Pemerintah juga berhasil menyelesaikan beberapa kredit bermasalah bank BUMN yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan perbankan guna mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Upaya-upaya pemberdayaan UMKM dilakukan guna mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi dan makin memperkokoh struktur perekonomian. Pemberdayaan UMKM pada tahun 2007 mencakup upaya-upaya di bidang peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia, perluasan pasar produk UMKM, dan reformasi peraturan. Terkait dengan akses pada sumber pembiayaan, Pemerintah telah melakukan sertifikasi terhadap 13.000 lahan yang tersebar di berbagai daerah sebagai jaminan kredit kepada UMKM. Selain itu, Pemerintah telah menyelesaikan tahap awal di dalam proses penambahan modal kepada lembaga penjamin kredit UMKM dan menerbitkan peraturan pelaksanaan sistem resi gudang sebagai salah satu instrumen pembiayaan UMKM.

Iklim investasi yang kondusif juga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas infrastruktur yang memadai sehingga Pemerintah pada tahun 2007 berupaya untuk

Tabel 2.12 Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin

Daerah/Tahun

Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)

Jumlah Penduduk Miskin (juta)

Persentase Penduduk Makanan Miskin Bukan Makanan Total

Kota + Desa

Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Panel Februari 2005, Maret 2006 dan 2007.

Tabel 2.13 Indeks Kedalaman Kemiskinan

Tahun Kota

Desa

Kota + Desa

Sumber: BPS, Februari 2007

Tabel 2.14 Indeks Keparahan Kemiskinan

Tahun Kota Desa Kota + Desa

Sumber: BPS, Februari 2007

Tabel 2.15

isinya mengatur secara jelas pengadaan tanah untuk

Pendapatan per Kapita

kepentingan umum. Terkait dengan itu, penguatan kelembagaan ditempuh melalui pemberian guarantee fund

PDB Nominal

PDB per Kapita

sebesar Rp2 triliun melalui APBN tahun 2007 khususnya 2000

($ miliar)

($/orang)

untuk pembebasan lahan dan jaminan kredit proyek 2001

infrastruktur. Sementara itu 10 proyek percontohan yang 2002

dimulai sejak tahun 2006 semakin mendekati proses 2003

pembangunan secara fisik.

Kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi tersebut 2006

juga didukung oleh kebijakan peningkatan daya beli 2007

masyarakat, khususnya masyarakat golongan ekonomi

Sumber: BPS

lemah. Pada tahun 2007, Pemerintah melanjutkan kebijakan pemberian subsidi dan transfer kepada

lebih mempercepat program pembangunan infrastruktur. masyarakat golongan ekonomi lemah baik secara Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan

langsung maupun tidak langsung. Meskipun tidak lagi yang dikeluarkan ditujukan pada penyempurnaan

memberikan bantuan langsung tunai, Pemerintah masih peraturan, penguatan kelembagaan, dan peningkatan

memiliki skema bantuan lain yang dijalankan seperti manajemen. Salah satu hambatan yang dihadapi dalam

bantuan operasional sekolah, beasiswa, dan subsidi pembangunan infrastruktur adalah masalah pembebasan

pangan untuk keluarga miskin.

lahan. Untuk itu, Pemerintah mengeluarkan aturan yang

Tabel 2.16 Tabel 2.17 Gini Ratio

Pencapaian Target Inpres No. 6/2007 Kelompok

Rencana Tindak Dapat Diselesaikan Penduduk

Perbaikan Iklim Investasi

Reformasi Sektor Keuangan

Percepatan Pembangunan

20% teratas 42,19 42,33 42,07

40 13 Gini ratio

Permberdayaan UMKM

Sumber: BPS

Sumber: Kantor Menko Perekonomian

Mencari Kebijakan Moneter yang Berpihak pada Si Miskin

Bertentangan dengan keyakinan umum bahwa kebijakan tabungan dan investasi sehingga kondusif untuk moneter longgar yang ekspansif adalah cara yang

pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. jitu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

menyelamatkan golongan miskin, hasil penelitian 1 Analisis Jangka Pendek

menunjukkan bahwa ternyata kebijakan moneter berhati- Penelitian menggunakan data tahunan nasional hati, yang mengusahakan inflasi rendah dan ekonomi

dan regional Indonesia dua dekade terakhir (1984- makro yang stabil, justru merupakan kebijakan yang

2005). Kinerja kebijakan moneter diukur dari tingkat menurunkan tingkat kemiskinan dalam jangka panjang.

pengangguran (unemployment rate) dan inflasi jangka Dengan menggunakan basis data regional 26 provinsi di

pendek (diukur menggunakan deflator PDB tahunan). Indonesia periode 1984-2005, kajian ini secara empiris

Spesifikasi regresi jangka pendek dibangun dari keyakinan membuktikan bahwa kebijakan moneter yang berhati-hati

bahwa perubahan tingkat kemiskinan tahunan berkorelasi (prudent) merupakan kebijakan moneter yang berpihak

dengan dinamika pengangguran atau perkembangan pada si miskin (pro poor).

inflasi di tahun tersebut. Secara lebih formal, spesifikasi model regresi jangka pendek adalah sebagai berikut:

Secara teoritis kebijakan moneter yang longgar akan menurunkan pengangguran, meningkatkan output dan

∆y t = a 1 + b 1 ∆x 1t + ∑d j d j + e 1t inflasi dalam jangka pendek. Namun dampak kebijakan ini

hanya bersifat sementara karena adanya business cycle ∆y t = a 2 + b 2 ∆x 2t + ∑d j d j + e 2t dan tidak disukainya inflasi yang tinggi, sehingga kebijakan

moneter ini tidak dapat menghasilkan boom permanen. ∆y t = a 3 + b 3 ∆x 1t + b 4 ∆x 2t + ∑d j d j + e 3t Di lain pihak, kebijakan moneter berhati-hati, konsisten,

dan kredibel adalah kebijakan yang dapat mengendalikan

di mana:

inflasi dalam jangka panjang dan menstabilkan fluktuasi permintaan agregat. Rendahnya inflasi dalam jangka

∆y t =y t –y t-1 : perubahan tingkat kemiskinan di tahun t, panjang serta stabilnya ekonomi makro merupakan

∆x 1t =x 1t –x 1,t-1 : dinamika tingkat pengangguran pada situasi positif yang mendorong investasi sehingga

tahun t,

dipercaya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

yang lebih tinggi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi 2t =x 2t –x 2,t-1 : perkembangan inflasi pada tahun t,

∆x

d j : variabel dummy untuk subsampel j. dapat meningkatkan kesejahteraan orang miskin secara

permanen. Studi yang dilakukan Easterly dan Fischer Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam jangka pendek (2001) menunjukkan adanya korelasi antara menurunnya (1 tahun) terdapat hubungan positif yang signifikan (0,992) tingkat kemiskinan dengan turunnya inflasi. Selanjutnya, antara perubahan tingkat pengangguran dan perubahan Romer dan Romer (2002) berhasil memisahkan efek inflasi tingkat kemiskinan (Tabel 1). Sementara itu, tingkat inflasi terhadap kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka menunjukkan hubungan yang negatif (-0,130) dengan panjang. Inflasi yang tinggi dalam jangka pendek belum tingkat kemiskinan. Inflasi yang meningkat sebagai tentu berpengaruh positif menurunkan tingkat kemiskinan akibat kebijakan moneter yang longgar akan mendorong namun dalam jangka panjang pasti berpengaruh negatif permintaan agregat yang pada akhirnya berperan positif menaikkan tingkat kemiskinan. Dalam kaitannya dengan menurunkan tingkat kemiskinan. Kedua penemuan di stabilitas ekonomi makro, Agenor (2004) menunjukkan atas sesuai dengan teori yang diterima banyak khalayak, bahwa membaiknya stabilitas ekonomi makro akibat dimana kebijakan moneter yang ekspansif (kontraktif) akan pengaruh suatu kebijakan cenderung meningkatkan menaikkan (menurunkan) aktivitas ekonomi.

1 Munandar, Kurniawan, dan Santoso (2007), Bank Indonesia, Working Paper “Mencari Kebijakan Moneter yang Berpihak pada Si Miskin: Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia”.

Tabel 1 Tabel 2 Hasil Regresi Jangka Pendek

Hasil Regresi Jangka Panjang Perubahan Tingkat Kemiskinan & Makroekonomi

Tingkat Kemiskinan & Makroekonomi

Model 1 Model 2 Model 3

C -0,922

C -0,205 0,009 -0,174

0,258 0,833 0,231 Perubahan Tingkat

Inflasi Jangka Panjang

0,046 0,191 “Perubahan Tingkat Inflasi”

Instabilitas Makroekonomi

DKI Jakarta

-0,180** -0,120* -0,153**

-2,442 -2,163 -2,573

-0,071 -0,116** -0,122** S.E.E

-1,029 -1,985 -2,127

Note: ** Signifikan di 5% * Signifikan di 10%

Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan.

NTT

Ketiga angka pada tiap variabel adalah koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value.

Analisis Jangka Panjang

Adj. R 2 0,357 0,57 0,589 Analisis jangka panjang menggunakan data cross-section

0,066 0,054 0,053 provinsi tahun 2005 bersamaan dengan data panel

S.E.E.

seluruh provinsi periode tahun 1984-2004. Inflasi jangka di mana: y 1 – tingkat kemiskinan provinsi i tahun 2005. panjang dihitung menggunakan rata-rata inflasi tahunan

x 1i – tingkat inflasi jangka panjang provinsi i (deflator PDB) periode tersebut. Instabilitas ekonomi

(dihitung dari rata-rata inflasi tahun 1984- makro didekati dengan standard deviasi dari pertumbuhan

PDB nominal periode tahun 1984-2004. Tingkat x – tingkat instabilitas makroekonomi provinsi kemiskinan didekati dengan proporsi penduduk miskin

2i

i (standar deviasi pertumbuhan PDB

suatu populasi tertentu (nasional atau regional). 2 Kinerja

nominal tahun 1984-2004). kebijakan moneter didekati dengan inflasi jangka panjang

dan instabilitas ekonomi makro. Hasil regresi (Tabel 2) menunjukkan bahwa inflasi jangka

Model yang dipakai adalah sebagai berikut, di mana variabel independen mengacu pada tahun referensi

panjang yang tinggi maupun kondisi ekonomi makro yang tidak stabil berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan

tertentu (2005) sedangkan variabel penjelas dibentuk dari data jangka panjang (20 tahun) sebelumnya (1984-2004):

(dengan koefisien masing-masing 3,132 dan 1,295). Kedua hubungan di atas secara statistik signifikan, kecuali saat kedua variabel diikutsertakan bersama-

y 1 = r 1 + g 1 x 1i +∑f j d j + x 1i

sama. Sementara itu, variabel dummy digunakan pada

2 2i +∑f j d j + x 2i

beberapa provinsi yang memiliki karakteristik berbeda

(outliers). Provinsi-provinsi tersebut adalah NAD dan y

Maluku, yang merupakan daerah dimana konflik pernah/

1 = r 3 + g 3 x 1i + g 4 x 2t + ∑f j d j + x 3i sedang berlangsung. Di samping itu terdapat juga provinsi DKI, Kaltim dan NTT yang merupakan daerah

dengan kekhususan sumber daya (endowment). DKI dan Kaltim memiliki sumber daya berlimpah sedang NTT

2 Data-data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Implikasi Kebijakan

mengkonfirmasi dugaan bahwa daerah-daerah konflik Kebijakan moneter yang ekspansif dapat menurunkan dan dengan endowment rendah cenderung memiliki

tingkat kemiskinan dalam jangka pendek. Namun fluktuasi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

business cycle dan tidak disukainya inflasi yang tinggi daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi yang

membuat efek positif yang dihasilkan hanya bersifat lebih baik.

temporer. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan terjaganya stabilitas ekonomi makro berkorelasi secara

Berdasarkan temuan di atas, dapat ditarik kesimpulan signifikan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. bahwa dalam jangka panjang, kebijakan moneter yang

Kebijakan moneter yang berhati-hati (menjaga kestabilan menjaga stabilitas ekonomi makro dan secara konsisten

harga dan kondisi ekonomi makro) memiliki efek positif menghasilkan inflasi rendah dalam jangka panjang

yang permanen dalam menurunkan tingkat kemiskinan. berdampak secara signifikan pada menurunnya tingkat

Berdasarkan sejumlah temuan dalam penelitian ini, dapat kemiskinan.

disimpulkan bahwa kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent) adalah kebijakan moneter yang berpihak pada kelompok miskin (pro-poor).

Halaman ini sengaja dikosongkan

Bab 3

Perkembangan Ekonomi Daerah