Strategi dalam Memahami Peristiwa
mewawancarai sekitar 30 sampai 50 narasumber serta mencari data mengenai peristiwa tersebut dalam kurun waktu lima bulan, termasuk
menuliskan naskah. Kedua yaitu reproduksi. Setelah menggunakan strategi pertama
yaitu penyeleksian tema yang dipilih, reproduksi kisah yang berkaitan dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini, Chik Rini
mencari data
sebanyak-banyaknya ketika
reportase dan
mengkonfirmasikan kembali kepada narasumber. Selain itu juga, editor naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Andreas Harsono
mengkroscek setiap data, dialog narasumber, detil kejadian, serta hal-hal kecil lainnya untuk ditanyakan kembali kepada Chik Rini. Supaya
informasi yang didapatkan Chik Rini benar-benar akurat dan harus dikroscek lagi kepada narasumber ketika editing berlangsung, sebelum
sampai kepada publik. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini karena ia sampai terkejut
dengan proses editing Majalah Pantau. “Apa maksud ini? Benar nggak dia berkata seperti ini? Kalimat panjang jadi satu makanya luar biasa belajar
editing di Pantau. Mas Andreas yang bolak-balikin naskahnya. Proses
editing ini mulai Maret sampai April tapi bolak balik. Tapi itu hanya
menceritakan dua atau tiga hari peristiwa. Ada empat dengan yang terbarukan itu.
”
2
Strategi ketiga adalah kesimpulan. Setelah penyeleksian tema serta narasumber dan reproduksi informasi dari narasumber, selanjutnya adalah
2
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
proses penyimpulan. Data seperti kliping koran dan, informasi narasumber dan lainnya dikemas dalam satu teks naskah utuh, yang didalamnya terbagi
dalam adegan demi adegan. Konstruksi per adegan ini termasuk ke dalam elemen jurnalisme sastrawi.
Dari banyaknya 50 narasumber tersebut, ia pilah kepada tokoh utama yaitu wartawan. Narasumber utama yaitu Imam Wahyudi sebagai
pengikat, ia menuliskan siapa saja yang berada dalam lingkaran Imam Umar HN, Fipin Kurniawan, Ali Raban, kemudian ada Azhari wartawan
ANTARA, Camat Dewantara Marzuki Muhammad, dan tokoh pendukung lainnya. Mereka adalah para tokoh yang terpencar hingga Chik Rini harus
mempertemukan mereka ke dalam satu titik. Tokoh-tokoh itu tidak dipertemukan secara langsung dan berinteraksi, hanya disebutkan “Azhari
melihat Um ar HN.” Mereka dipertemukan oleh satu lokasi yaitu Simpang
Kraft. Pada strategi ini, Chik Rini tidak hanya memasukkan dialog
narasumber ke dalam teks saja, tapi deskripsi situasi serta sense penglihatan dan pendengaran ketika mereportase juga dimasukkan
olehnya. Seperti yang terdapat pada paragraf kedua adegan pertama, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan
empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api.
Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.
”
Sesuai dengan genre jurnalisme sastrawi yaang diusung oleh Majalah Pantau, naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” berhasil
membawa Majalah Pantau sebagai majalah jurnalisme sastrawi layaknya The New Yorker, seperti yang dikatakn Andreas Harsono, “Saya suka
naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya
.” Strategi keempat, transformasi lokal. Strategi ini berhubungan
dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Dalam naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” informasi atau data yang berkaitan dengan
peristiwa tokoh dikemas dengan menarik. Meski peristiwa Simpang Kraft ini telah berlalu sejak tiga tahun yang lalu sebelum naskah ini
dipublikasikan, dan detil peristiwa ini terasa begitu kejam namun Chik Rini mampu mengolahnya menjadi naskah yang menarik layaknya sebuah
novel.