LATAR BELAKANG MASALAH A
masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.
1
Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the fourth estate
kekuatan keempat dalam sistem kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa
cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut
memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela kebenaran dan keadilan.
2
Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut
juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang
dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap penting oleh publik.
3
Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia
menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam media massa. I
a mengutarakan hal ini dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme,” di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam
pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi
terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah,
1
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung: Rosda, 2004, h. 67
2
Zaenuddin HM, The Journalist, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, h. 5-6
3
Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: Logos, 1999, h. 3
media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan
relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.
4
Kesembilan elemen dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam
menjalankan tugasnya. Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan
jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang
berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang menarik pula.
Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan
media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative reporting
atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah.
Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam
dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau. Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan
genre literary journalism jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat
genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di
4
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, Yogyakarta: ANDI, 2005, h. 68- 69
Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.
Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama new journalism jurnalisme baru.
5
Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan
pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan, “Saya membaca
laporanmu enak seperti tulisan fiksi. ” Elemen-eleman yang selama ini ada
dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut
keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar “isi kepala” narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk
memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan, misalnya orang ketiga.
6
Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di
Majalah Pantau. Dengan judul, “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat” yang diterbitkan Yayasan Pantau dan Kepustakaan Populer Gramedia KPG dengan penyunting Andreas
Harsono dan Budi Setiyono. Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat
peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam
5
Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat
, Jakarta: KPG, 2008, h. VII
6
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta: Rajawali Press, 2009, h. 182
penelitian ini yaitu tulisan berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft
atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu. Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang
sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe, dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan
ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan, masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka
provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di
Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh Merdeka GAM.
Rini yang mengadopsi naskah “Hiroshima” karya John Hersey ke dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa
tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau.
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik meneliti dengan judul,
“Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah
Pantau.”