Jurnalisme Naratif KONSEPTUALISASI BERITA 1. Pengertian Berita

karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan deskrispi, karakterisasi, dan plot. Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard. Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat dan tingkat immersion yang tinggi. Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang, antara keterampilan mengisahkan cerita dan kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap berbagai orang, tempat, dan kejadian nyat a di dunia,” ungkap Robert Vare dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang dilaporkan Nieman Reports. 25 Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan. Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita pendek. Selain itu, keringkasan kisah. “Pembaca mengejar apa yang 25 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, h. 148 dikisahkan,” tegas Woo, “dan reporter harus segera menyampaikannya.” Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk mengawali serta mengakhiri laporannya. Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi literary journalism , creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction. Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi pada bab ini. Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:  Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu  Proses reportase untuk laporan naratif  Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan semacam itu 26 Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal, yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya, karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana How bukan apa What. Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai details life . Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat 26 Ibid, h. 153 digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat, serta kelas sosial mereka.

C. JURNALISME SASTRAWI

“Ia jurnalisme sastrawi seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada. Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas. ” 27 Pulitzer Prize menyebutny a “eksplorative journalism.” Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan. Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah singkatan dari Who siapa, What Apa, Where di mana, When kapan, Why mengapa, dan How bagaimana. Pada narasi menurut Clark dalam satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28 27 Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23 Mei 2010 dari http:www.semesta.net 28 Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat , h. VIII Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi. 29 Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun, segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya. Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi depth information yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga point of view , dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai. 30 Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi “Jurnalisme Sast rawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau memakai kata „sastra‟ tapi tetap saja harus 29 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30 Ibid, h. 5