Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa

Saat peristiwa itu berlangsung, ia pun masih duduk di SMA dan hanya mengetahui saja peristiwa tersebut dari orang Aceh lainnya. Namun, ia merasa sangat dekat dengan peristiwa Simpang Kraft, ibunya pun merasakan ketakutan ketika menjelang peristiwa tersebut. Seperti yang dikatakannya kepada peneliti melalui wawancara: “Ada isu orang kampung diambil tentara. Mereka itu kayak terakumulasi. Kak Chik juga dapat cerita, tapi itu juga nggak Kakak masukkan, hanya menjadi background. Kenapa Kakak bilang ada yang memobilisasi massa. Saat itu, di hari itu, di Kreung Geukeuh di kampung Lancang Barat dapat cerita kalau malam sudah dimobilisasi. Ibu Kak Chik ngumpet dengan saudara kami di dalam kamar. Pagi-pagi sudah dijemput suruh naik mobil pick up. Jaraknya sekitar 1 km. Ada mobilisasi massa. Semua perempuan disuruh keluar, bawa anak. Bawa anak-anak. ” 3 Konstruksi secara deskripsi tempat kejadian kultur orang Aceh serta alasan mengapa orang Aceh ingin referendum maupun alasan mengapa GAM memberontak dari pemerintah Indonesia, ia memahami itu semua. Secara geografis dan emosional, ia mengenal orang-orang Kreung Geukeuh karena di sana banyak saudaranya. Namun, yang menjadi titik utama dari angle yang diambil dalam naskahnya adalah bagaimana wartawan-wartawan Indonesia menjadi saksi dari pembunuhan orang Aceh oleh militer Indonesia, bagaimana tidak adanya sisi kemanusiaan ketika konflik pada Orde Baru dan reformasi itu berlangsung di Indonesia, khususnya kepada orang Aceh. Chik Rini mencoba melepaskan keberpihakannya meskipun ia adalah orang Aceh. Rini mencoba menulis sesuai dengan angle naskah serta memasukkan dari beragam fakta yang ia temukan di lapangan, tidak 3 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan hanya dari laporan pers Kodam I Bukit Barisan, Medan saja tapi Rini juga memasukkan data dari narasumber warga sipil wartawan dan warga Kreung Geukeuh. Jika strategi media dalam memahami peristiwa dan kognisi penulis dalam memahami peristiwa tersebut, seperti yang diterangkan di atas maka dapat diambil kesimpulan dalam tabel empat skema atau model kognisi sosial van Dijk, sebagai berikut: Tabel 17. Skema Model Kognisi Sosial van Dijk Skema Person Person Schemas : Chik Rini adalah mantan wartawan Harian Analisa, Medan dan wartawan freelance bagi Majalah Pantau. Ia mulai reportase dan menuliskan naskah laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” pada Desember 2001 sampai April 2002. Naskah tersebut dipulikasikan pada Majalah Pantau pada Edisi Mei 2002. Rini lahir dan berdomisili di Aceh hingga sekarang Skema Diri Self Schemas : Chik Rini menulis naskah ini pada rubrik Reporter dari Lapangan. Ia adalah kontributor Pantau. Ia mengambil angle atau sudut pandang peristiwa Simpang Kraft ini bukan dari peristiwa, keadilan, maupun dari dua versi militer Indonesia atau orang Aceh melainkan ia melihat sisi kemanusiaan yang diawali oleh empat wartawan RCTI dan ANTARA, bahwa mereka adalah manusia dan juga bisa mengalami trauma. Atas dasar keprihatinan inilah, ia menuliskannya dan dengan genre jurnalisme sastrawi. Skema Peran Role Schemas : Skema ini berkaitan dengan peran dari media naungan naskah tersebut berada. Majalah Pantau sejak tahun 1999-2003 sebagai majalah media dan jurnalime yang selalu mengkritisi dua hal tersebut, sangat cocok dengan tema liputan yang diangkat oleh Chik Rini. Maka dari itu, Rini mengambil dari angle wartawan. Majalah Pantau menjembatani peran dari media dan wartawan yang ada di Indonesia Skema Peristiwa Event Schemas : Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini bahwa peristiwa ini hanyalah awal dari peristiwa yang kian menumpuk sejak Orde Baru Orba. Reformasi di pemerintahan Indonesia, berdampak juga ke Aceh. Setelah peristiwa Simpang Kraft ini ragam peristiwa berdarah lainnya makin gencar terkuak oleh media nasional apalagi sejak Aceh mendapatkan perhatian khusus di mata media nasional maupun internasional. Peristiwa Simpang Kraft ini terjadi kejam sekali, bagaimana militer Indonesia secara membabi buta menembaki massa dari perempuan hingga anak kecil. Kesannya peritiwa ini lewat begitu saja. Peristiwa ini terblow up karena RCTI dan Associated Press AP yang disiarkan di televisi nasional.

3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Analisis sosial konteks sosial berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti. Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam situasi bagaimana, apa mediumnya, dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana. Dalam konteks peristiwa Simpang Kraft naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini yang menjadi yang menjadi komunikator dan komunikannya adalah antara militer Indonesia dan orang Aceh, di dalam orang Aceh terdapat GAM. Indonesia waktu itu dalam keadaan reformasi dan segala macam kejahatan Soeharto ketika itu membuat GAM memberontak. Chik Rini dan Majalah Pantau menjadi medium di antara peristiwa tersebut untuk mempublikasikan naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Peneliti menganalisis konteks sosial ini, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a. Praktik Kekuasaan

Konstruksi praktik kekuasaan dalam peristiwa Simpang Kraft ini adalah antara militer Indonesia yang memiliki dominasi lebih besar terhadap kaum minoritas yaitu orang Aceh dan di dalamnya terdapat GAM. Hal inilah yang membuat orang-orang Aceh membentuk GAM dan memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Seperti yang terdapat dalam adegan 1 paragraf 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” “Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan. ” Dari paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik kekuasaan militer Indonesia selama 10 tahun. Aceh menjadi salah satu wilayah konflik berbahaya waktu itu oleh pemerintah Indonesia. Karena ketidakadilan itulah, dalam dakwah GAM selalu menyebutkan “Pemerintah-Indonesia Jawa.”

b. Akses Memengaruhi Wacana

Dalam akses mempengaruhi wacana, tentu saja militer Indonesia mempunyai kekuatan yang dominan. Dari macam –macam akses yang van Dijk kemukakan, militer Indonesia memilki akses yang disebut dengan akses perencanaan planning, akses wacana dalam hal setting, akses