Elemen maksud terdapat pada k

massa ,” paragraf 9. Koherensi pembeda, “Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru ,” paragraf 8. Koherensi kausalitas , “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal ,” paragraf 10, “Peradilan itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total ,” paragraf 15. Adegan kesebelas ini memiliki keunikan dari segi elemen kata ganti karena dalam adegan ini penulis memasukkan dirinya ke dalam teks naskah dengan penggunaan kata ganti orang pertama tunggal „saya.‟ Ia mengkonstruksi dirinya seolah-olah berada di sana serta untuk menunjukkan konteks kekinian dari naskah. Penggunaan „saya‟ dimulai pada paragraf kedua dan disebutkan sebanyak 15 kali. “Tapi dia menolak bicara dengan saya. Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM lembaga swadaya masyarakat dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pai-pai itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh. paragraf 18 Selain „saya‟, dig unakan pula kata ganti „mereka‟, „kami‟, dan „dia‟. Struktur Mikro Stilistik; Leksikon Pemilihan kata atau leksikon yang dipilih oleh Chik Rini yaitu intimidasi, kekerasan, teror paragraf 5, tewas, menerjang paragraf 6, aksi paragraf 9, pembantaian, ditembak mati paragraf 14, advokasi paragraf 15, pesimis paragraf 16. Struktur Mikro Reoris; Grafis dan Metafora Dilihat dari segi grafis , „senjata AK 47‟ lebih ditonjolkan oleh penulis. Dengan adanya penjelasan bahwa ada massa yang membawa jenis senjata ini, membuat militer Indonesia yakin bahwa GAM di balik aksi provokasi massa. Hal ini dijelaskan pada paragraf 9. Grafis kedua yaitu penyebutan kata‟pa‟i‟ diulang kembali pada akhir adegan epilog ini, sebagai pengenasan bahwa orang Ace h masih tidak menyukai pa‟i. Metafora adegan 11 terdiri atas dikejar-kejar bayangan paragraf 1, menyembunyikan emosi paragraf 2, gadis malang paragraf 6, pada suatu siang berudara mendung, Mei berdarah paragraf 7, wajah baru tak tesentuh hukum, tak ketahuan rimbanya paragraf 8, suasana kacau dan memanas, kerumunan massa paragraf 9, memakan korban paragraf 10, pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara paragraf 11, kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam paragraf 14, lumpuh total paragraf 15, peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum paragraf 18. Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 Struktur Wacana Elemen Temuan Hasil Analisis Struktur Makro Topik Tema Topiknya adalah dua tahun pasca peristiwa tersebut yang menceritakan kondisi para tokoh Super struktur skematik Skema Alur  Imam Wahyudi mengalami trauma pasca peristiwa Simpang Kraft. Jika ia kembali ke sana, ia selalu menyempatkan diri ke Simpang Kraft dan selalu mengenang peristiwa tersebut paragraf 1  Pada bagian isi adegan dilanjutkan dengan pernyataan resmi militer yang menyatakan bahwa pihak GAMlah di balik aksi provokasi massa. Chik Rini membuktikannya dengan dimasukkannya dialog antara Camat Marzuki dan Faisal korlap demonstrasi Simpang Kraft saat itu. Faisal menunjukkan dirinya bahwa ia dari GAM  Pasca peristiwa, NGO HAM Aceh dan para pihak yang peduli dengan peristiwa Simpang Kraft masih menuntut keadilan para korban, dengan tuntutan hukum perdata Rp 83 miliar tapi belum jua mendapatkan keadilan  Stereotip, sikap anti Jawa pa‟i, dan tidak lagi percaya dengan LSM serta wartawan ini masih ada pada orang Aceh meski peristiwa itu telah berlalu selama tiga tahun penutup adegan 11 Struktur mikro semantik Latar Latar adegan 11 adalah latar pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tiga tahun setelah peristiwa terjadi Detil Detil kondisi dan deskripsi letak Simpang Kraft sama seperti tiga tahun setelahnya. Detil ini dijelaskan oleh Chik Rini pada paragraf 6 Maksud “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hati-hati ,” paragraf 5 Maksudnya, dalam menuliskan peristiwa ini sekaligus ditulis oleh wartawan Aceh harus secara hati-hati. Peristiwa ini masih membekas dalam hati orang Aceh Praanggapan “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM lembaga swadaya masyarakat dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pai-pai itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh, paragraf 18 Anggapan inilah yang masih berkembang dalam orang Aceh, khususnya korban maupun keluarga korban dari peristiwa Simpang Kraft tersebut Nominalisasi “….ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat …” paragraf 14 Struktur mikro sintaksis Bentuk Kalimat Bentuk kalimat aktif: “Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi massa ,” paragraf 9 Koherensi  Koherensi pembeda: “Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru ,” paragraf 8  Koherensi konjungsi „kausalitas‟: “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal ,” paragraf10 Kata Ganti Kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, kata ganti orang pertama tunggal „saya‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang ketiga tunggal „dia‟ Struktur mikro stilistik Leksikon intimidasi, kekerasan, teror paragraf 5, tewas, menerjang paragraf 6, aksi paragraf 9, pembantaian, ditembak mati paragraf 14, advokasi paragraf 15, pesimis paragraf 16 Struktur mikro Retoris Grafis Senjata AK 47 yaitu senjata yang sering digunakan oleh GAM disebutkan di dalam naskah sebagai pembukti bahwa GAMlah yang berada di balik peristiwa Simpang Kraft dan penggunaan kata pa‟i masih disebutkan meski peristiwa tekah berlalu tiga tahun setelahnya Metafora dikejar-kejar bayangan paragraf 1, menyembunyikan emosi paragraf 2, gadis malang paragraf 6, pada suatu siang berudara mendung, Mei berdarah paragraf 7, wajah baru tak tesentuh hukum, tak ketahuan rimbanya paragraf 8, suasana kacau dan memanas, kerumunan massa paragraf 9, memakan korban paragraf 10, pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara paragraf 11, kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam paragraf 14, lumpuh total paragraf 15, peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum paragraf 18

2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Dalam memahami sebuah teks, kognisi sosial menjadi hal terpenting. Pada umumnya teks diasumsikan tidak mempunyai makna namun anggapan tersebut salah karena teks tersebut diberikan makna oleh si pemakai bahasa penulis. Makna inilah yang dikonstruksi oleh penulis. Dalam menganalisa struktur kedua wacana van Dijk ini yaitu kesadaran mental pengarang. Sama halnya seperti naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” naskah ini tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari penulis yaitu Chik Rini. Tentunya, Chik Rini memiliki memiliki nilai, pengaruh, dan ideologi dari kehidupannya yang memengaruhi terbentuknya teks tersebut. Wacana tentang Aceh yang diangkat dalam Majalah Pantau Edisi Mei 2002 rubrik Reporter dari Lapangan merupakan peristiwa yang telah terlewati tiga tahun lamanya, sebelum naskah tersebut dipublikasikan. Majalah Pantau adalah majalah bergenre jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi atau ISAI 1999-2003 dan Yayasan Pantau Desember 2003-Mei 2004 dengan mengandalkan 70 isinya dari kontributor. Kontributor tersebut bekerja secara freelance tergantung kepada berita yang mereka kirimkan kepada Pantau. Dikutip dari wawancara ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana proses pra produksi sebelum berita diangkat, Imam Sofwan sebagai staf redaksi Yayasan Pantau menceritakan prosedur awal perencanaan liputan , “Biasanya mereka kontributor ngajuin liputan. Ngajuin rencana liputan, semacam proposal liputan. Apa yang akan dia liput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber, temanya, outline tulisannya, dan biaya liputannya. Mereka bikin rencana singkat. Kemudian ada yang menjadi consultant-nya, yang akan ngedit itu nanti siapa. Nanti mereka langsung ketemu dengan editornya, mungkin ada diberikan masukan bacaan apa yang perlu dibaca, narasumber siapa saja yang perlu ditemui, dikasih masukan. Yah , diskusi langsung ke editornya.” 1 Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga mengakui bahwa pada mulanya ia berdiskusi kepada Andreas Harsono mengenai rencana liputannya. Awalnya, ia ingin meliput tentang komandan intelejen di Aceh yang membunuh empat aktivis GAM tapi karena aksesnya susah maka ia tidak jadi. Lalu temannya menceritakan tentang sosok Imam Wahyudi sebagai wartawan yang trauma. Ketika ia ke Jakarta, ia berkonsultasi dengan Andreas Harsono. 1 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3 November 2010 pkl. 14.00 WIB