Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka GAM dengan militer Indonesia, Perda Syariah
yang diterapkan di sana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun, peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyarakat Aceh,
khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapatkan keadilan
dari segi hukum. Bahkan LSM Imparsial dalam terbitan buku
“Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007
” menuliskan bahwa peristiwa Simpang Kraft ini menduduki posisi pertama dari peristiwa lainnya.
Dalam laporannya, dideskripsikan sebagai berikut; Simpang KKA Kertas Kraft Aceh aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang
berdemo di Kecamatan Dewantara. Tragedi KKA berawal dari sikap arogansi pasukan Rudal terhadap warga setempat. Detasemen rudal
sebelumnya turun ke Cot Murong memukuli warga karna dituduh menyandera aparat militer. Warga datang ke Koramil meminta mereka
menghentikan tindakannya. Namun Koraml tidak mneghiraukan tuntutan warga. Bahkan meminta bantuan pasukan non organik untuk
menyingkirkan warga. 46 orang tewas tertembak aparat militer termasuk Saddam Husen yang berusia 6 tahun, sekitar 200 luka-luka. Upaya hukum
Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keppres No.881999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh KIPTKA.
18
18
J. Budi Hernawan dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007
. Jakarta: Imparsial, 2009, h.106
Simpang Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya
sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke
dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini
menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini. Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu
kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan
berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa.
Sekitar 10 meter dari Simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri
dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-
barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada
bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga. Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya
berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung.
Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah
sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan.
Senin 3 Mei 1999, hari di mana peristiwa berdarah itu terjadi. Pada hari itu, ada dua demonstrasi besar-besaran. Pertama, di depan Koramil
Dewantara dekat Krueng Geukeuh dan yang kedua di Simpang Kraft. Ada sekitar 10 ribu orang berkumpul di Simpang Kraft. Mulai dari para wanita,
anak-anak, kaum laki-laki sampai yang tua renta ada di sana. Sebelumnya, ada beberapa isu yang beredar dan mengakibatkan
masyarakat Aceh berkumpul di Simpang Kraft, di antaranya: a. Malam sebelumnya, para perempuan disuruh jaga malam karena
tentara mau menyerang kampung b. Ada laki-laki yang mengumumkan di meunasah masjid kalau
meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik ulama sudah tewas dibunuh.
c. Di Cot Murong Pemukiman, empat km arah barat Krueng Geukeuh warga menghentikan setiap kendaraan untuk mencari anggota ABRI
karena ada yang mendengar bahwa warga desa Lanang Barat dipukuli dan ditangkap tentara.
d. Dua hari sebelumnya, Kamis malam, 30 April 1999, tentara dari Satuan Artileri Pertahanan Udara Arhanud Peluru Kendali Rudal
001Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke Cut Murong. Ada satu anggota yang hilang, dan mengakibatkan tentara masuk kampung
untuk mencarinya.
Masyarakat Aceh yang tidak senang militer masuk kampung, membuat mereka geram. Oleh karena itu, mereka demonstrasi kepada
Camat Dewantara Cut Murong, Marzuki Muhammad. Kesepakatan yang tidak membuahkan hasil kepada masyarakat Aceh membuat mereka demo.
Mereka meneriakkan Referendum, Merdeka, dan sebagainya. Pukul 12.00 siang pada Senin, 3 Mei 1999 ketika keadaan mulai
memanas. Tiba-tiba sebuah truk datang dari arah Arhanud Rudal, mulailah senjata meletus dengan keras dan tentara menyuruh massa bubar. Tentara
seperti kesetanan dan menembaki massa yang berkeliaran. Korban mencapai puluhan dan ratusan terluka.
Sinopsis cerita di atas, hanya menjelaskan segelintir dari peristiwa Simpang Kraft. Chik Rini mampu menjelaskannya dengan sangat baik dan
detil. Rini mengambil dan memaknai peristiwa ini dari sudut pandang wartawan. Justru karena angle atau newspeg-nya dari perspektif wartawan
inilah, Rini ingin menunjukkan bagaimana wartawan menjadi saksi dari peristiwa pembunuhan orang Aceh. Sudut pandang inilah yang belum
pernah ditulis oleh wartawan media mana pun. Ada wartawan yang trauma, wartawan pun manusia. Lantas,
peristiwa itu juga fenomenal di Aceh. Korbannya cukup banyak dan juga memilukan. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini pada wawancara via
email: “Simpang Kraft adalah satu dari banyak peristiwa yang
kebenarannya dan keadilannya tak pernah terselesaikan sampai saat ini. Simpang Kraft hanya bagian dari peristiwa konflik yang
memperlihatkan kekejaman militer di Aceh yang mau Kak Chik sampaikan kepada pembaca di luar Aceh.”
19
Andreas Harsono pun menulis dalam grup Majalah Pantau untuk mempromosikan tulisan naskah Chik Rini ini.
Rini menceritakan pengalaman beberapa wartawan, antara lain Umar HN, Imam Wahyudi dan Fipin Kurniawan dari RCTI,
ketika menyaksikan dari jarak dekat pembantaian puluhan orang Aceh di depan pabrik kertas Kraft di Kreung Geukeuh,
Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999. Imam menyebutnya sebagai Santa Cruz versi Aceh.
Laporan Rini ini unik karena ia memakai genre jurnalisme sastrawi. Dari panjang tulisan, ia memang belum memecahkan
rekor Pantau sepanjang 16 halaman yang dipegang oleh Coen Husain Pontoh dengan laporan majalah Tempo edisi Agustus 2001,
tapi Rini yang pertama kali mengusung genre sastrawi ke dalam Pantau. Ini sebuah reputasi tersendiri. Ternyata Rini yang
memakai gaya ini pertama kali di Pantau. Bravo untuk Rini
Linda ketika membaca naskah itu mengatakan introduksinya mirip In Cold Blood karya Truman Capote. Di sana Rini
memakai deskripsi alam Lhokseumawe, dengan tower plus api menyala-nyala karena gas LNG, kemiskinan yang bikin
sesak napas, dan terminal bis malam, sebagai pembukaannya. Ada kekeringan, ada becak mesin, ada kesunyian, bau kematian. Mirip
dengan Capote yang membuka In Cold Blood dengan alam Midwest ala Kansas City di Amerika Serikat.
Ternyata Rini meminjam gayanya John Hersey dalam Hiroshima. Rini mengatakan pada saya bahwa ia bolak-balik
membaca Hiroshima ketika menggarap Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
Mirip dengan Hersey, karena di sini Rini tak memakai referensi apa pun dalam naskahnya. Semua ditulis ibarat sebuah
novel atau cerita pendek. Rini bekerja selama lima bulan, dari Medan, Jakarta,
Lhokseumawe dan Banda Aceh, buat menyelesaikan naskah ini. Ia juga mempelajari rekaman video buat
memperkaya paparannya tentang Simpang Kraft. Saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai
memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.
20
19
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Rabu, 22 November 2010 pkl 21.22 WIB melalui surat elektonik dari tiaagnes_n3ztyahoo.com kepada chikrini72yahoo.co.id
20
Artikel ini diakses dari chikrini_70yahoo.com pada 22 Februari 2011
Perspektif wartawan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dapat dilihat dari kacamata tiga orang wartawan RCTI yaitu Umar HN
koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995, Imam Wahyudi Koordinator Liputan daerah RCTI Jakarta sejak 1994, Fipin Kurniawan
kameraman RCTI, Ali Raban kamerawan yang bekerja untuk Umar HN, dan Azhari wartawan ANTARA. Meski peristiwa Simpang Kraft
telah berlalu dan sudah diberitakan namun sisanya tetaplah sejarah.
71