JURNALISME SASTRAWI KAJIAN TEORITIS

Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi. 29 Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun, segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya. Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi depth information yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga point of view , dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai. 30 Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi “Jurnalisme Sast rawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau memakai kata „sastra‟ tapi tetap saja harus 29 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30 Ibid, h. 5 berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi adalah esensi dalam jurnalisme. Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam, entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal yang berada di luar diri. Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut, bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah. Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber, kawan, dan sebagainya. Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa, tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau menggunakan alur flashback. Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah dapat ditebak. Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional. Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru. Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni:

a. Konstruksi Adegan Demi Adegan

Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B. Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah. Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin dilaporkan. 31 Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga berusahan mendalami “mengapa” dan “bagaimana”. Setelah tersusun fakta 31 Ibid, h. 46 maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya.

b. Pencatatan Dialog Secara Utuh

“Encyclopaedia of Literature” menyatakan bahwa dialog berasal dari bahasa Latin dialogus atau bahasa Yunanri di’alogus. Dialog ini merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis. Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah.

c. Sudut Pandang Orang Ketiga

Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang points of view ini ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau penulis memoar.

d. Mencatat Secara Detil

Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan orang sekitar. Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial. Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat kata “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya sudut pandang dari orang ketiga. Namun, yang terpenting dalam deskripsi mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil, lengkap, dan bermakna. 41

BAB III GAMBARAN UMUM

A. MAJALAH PANTAU 1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream. Seakan- akan gaung kemerdekaan pers baru terasa “merdeka” pasca reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP dari Departemen Penerangan. Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1 Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut, membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau. Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi ISAI pada Juli 1999. ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani Rancangan Undang-Undang UU Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama- 1 Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00 WIB dari http:www.lidahibu.com sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau melalui sebuah newsletter. Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan Televisi yang bekerjasama dengan Article XIX London. Hasil pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu. Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput Pemilu pasca Orde Baru Orba. Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan analisis isi. Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka. Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan. Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar US65,000 2001-2002 dan US200,000 2001-2003. Tujuannya, menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar 350,000 dalam dua tahun termasuk investasi awal. Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.