10
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jenis Markisa
Tanaman markisa berasal dari Amerika Selatan dan merupakan tanaman tropis yang merambat. Tanaman markisa terdiri dari 400 spesies dan sekitar 50
spesies dapat dikonsumsi buahnya. Sebagian besar tanaman markisa yang dibudidayakan di Indonesia adalah varietas ungu Passiflora edulis dan markisa
kuning P. flavicarpa. Tanaman markisa dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 800 hingga 1500 meter dari permukaan laut dengan curah hujan
minimal 1.200 mm per tahun
7
. 2.2.
Manfaat Tanaman Markisa
Tanaman markisa ungu dapat dikonsumsi sebagai buah segar atau diolah menjadi sari buah markisa sirup markisa, juice atau campuran berbagai macam
minuman dan makanan lain. Buah markisa mengandung berbagai macam vitamin seperti vitamin C, vitamin A dan passiflorine yang bermanfaat untuk
menentramkan urat syaraf. Kulit buah markisa juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan pakan ternak Winarso 2004.
2.3. Hasil Penelitian Tentang Tataniaga Hortikultura
Bagian ini membahas penelitian sebelumnya mengenai tataniaga produk hortikultura khususnya buah-buahan. Tataniaga ditinjau dari aspek saluran dan
lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share dan
struktur pasar. Penelitian sebelumnya yang dibahas pada bagian ini yaitu: penelitian Lubis 2009 yang menganalisis sistem pemasaran belimbing dewa di
Kelurahan Pasir Putih, Kota Depok; penelitian Sumardi 2009 yang menganalisis efisiensi pemasaran jambu biji di Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor;
penelitian Kurniawati 2007 yang menganalisis sistem pemasaran buah stroberi di Desa Alamendah, Kabupaten Bandung; penelitian Maharani 2008 yang
menganalisis cabang usahatani dan sistem tataniaga pisang tanduk di Desa Nanggerang, Kabupaten Sukabumi; penelitian Purba 2008 yang menganalisis
pendapatan usahatani dan saluran pemasaran pepaya california di Desa Cimande,
7
Bank Indonesia. Sistem Informasi Pembiayaan Usaha Kecil: Budidaya Markisa, Aspek Produksi http:www.bi.go.idsipuk [25 November 2010]
11 Kabupaten Bogor; penelitian Adnany 2008 mengenai sistem tataniaga salak
pondoh di Kabupaten Banjarnegara; penelitian Nalurita 2008 yang menganalisis sistem pemasaran belimbing dewa di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok;
penelitian Hermansyah 2008 yang menganalisis tataniaga nenas palembang di Desa Sungai Medang, Kotamadya Prabumulih; penelitian Ariyanto 2008 yang
menganalisis tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir, Kabupaten Bogor. Pada penelitian terdahulu, pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut merupakan salah satu sentra penghasil komoditas yang diteliti. Metode
pengambilan sampel terhadap petani dilakukan dengan cara memperoleh informasi dari penyuluh pertanian Adnany 2008; Lubis 2009, secara sengaja
Kurniawati 2007; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008, simple random sampling Nalurita 2008 dan accidental sampling Purba 2008. Jumlah petani yang
dijadikan sebagai responden bervariasi antara 10 hingga 45 responden. Metode pengambilan sampel terhadap lembaga pemasaran dilakukan dengan metode
snowball sampling yaitu dengan mengikuti alur pemasaran mulai dari petani
hingga konsumen akhir. Pertimbangan utama dalam penentuan seberapa besar jumlah responden yang diteliti adalah responden tersebut sudah dapat
merepresentasikan kondisi populasi yang sebenarnya. Metode analisis data yang dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan
menggunakan dua cara yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan dalam analisis saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi
tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan dalam menghitung marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Analisis terhadap saluran tataniaga memperlihatkan bahwa jumlah saluran tataniaga untuk setiap komoditas bervariasi yaitu mulai dari tiga hingga tujuh
saluran tataniaga. Banyaknya jumlah saluran tataniaga terutama dipengaruhi oleh jumlah lembaga tataniaga yang terlibat dan jangkauan daerah distribusi dari
komoditi yang dipasarkan. Jika jumlah lembaga tataniaga yang terlibat sedikit maka saluran pemasaran akan sedikit dan sebaliknya jika jumlah lembaga
tataniaga yang terlibat banyak maka saluran pemasaran juga akan banyak. Selain
12 itu, semakin luas jangkauan distribusi suatu komoditas maka akan semakin
banyak saluran tataniaga yang terlibat. Jumlah saluran tataniaga yang sedikit yaitu dua atau tiga saluran mempunyai tiga hingga empat lembaga tataniaga dan
dipengaruhi oleh jangkauan distribusi yang terbatas Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Maharani 2008; Purba 2008; Sumardi 2009. Jumlah saluran pemasaran
yang terdiri dari empat hingga lebih dari lima saluran mempunyai lima hingga lebih dari enam lembaga tataniaga yang terlibat. Jangkauan distribusinya juga
lebih luas karena komoditas tersebut sudah diperdagangkan hingga antar provinsi dan antar pulau Kurniawati 2007; Adnany 2008; Nalurita 2008; Lubis 2009.
Jumlah lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran tataniaga mempengaruhi efisiensi tataniaga. Efisiensi saluran tataniaga dapat ditinjau dari
segi volume penjualan, marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan
terhadap biaya. Persentase volume penjualan yang paling tinggi, marjin tataniaga yang paling kecil,
farmer’s share yang paling tinggi dan rasio keuntungan terhadap biaya yang merata antar lembaga tataniaga menandakan bahwa saluran
tersebut sudah efisien. Akan tetapi indikator-indikator tersebut tidak selalu terdapat dalam suatu saluran pemasaran. Para peneliti sebelumnya lebih banyak
menentukan saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan besarnya marjin tataniaga dan
farmer’s share. Lembaga tataniaga dengan jumlah yang relatif lebih sedikit pada suatu saluran tataniaga maka saluran tersebut akan lebih efisien
karena mempunyai farmer’s share tinggi dan marjin tataniaga rendah. Farmer’s
share dapat mencapai 100 persen jika petani menjual langsung kepada konsumen
akhir Ariyanto 2008. Salah satu saluran tataniaga pada penelitian Purba 2008 juga menghasilkan
farmer’s share 100 persen karena petani menjual langsung kepada pabrik pengolah. Namun perhitungan tersebut kurang tepat karena pabrik
pengolahan bukan sebagai konsumen akhir tetapi masih merupakan bagian dari lembaga tataniaga. Volume penjualan pada saluran tersebut juga relatif kecil
yaitu 10 persen dari total produksi. Kasus tersebut memperlihatkan bahwa efisien dari segi
farmer’s share dan marjin tataniaga tetapi jika ditinjau dari volume penjualan belum efisien.
Beberapa penelitian memberikan kesimpulan bahwa saluran tataniaga yang terpendek merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Pada saluran
13 tataniaga yang terpendek memberikan nilai
farmer’s share yang tinggi dan marjin tataniaga yang rendah Kurniawati 2007; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008;
Maharani 2008; Purba 2008. Namun saluran pemasaran yang terpendek tidak selalu menjadi saluran yang paling efisien. Hal tersebut bisa disebabkan oleh
efisiensi biaya pemasaran, kualitas dan volume komoditas pada saluran yang lebih panjang. Efisiensi biaya pemasaran dapat timbul karena adanya kelembagaan
petani seperti koperasi sebagai salah satu lembaga pemasaran Nalurita 2008; Lubis 2009. Hal tersebut sesuai dengan salah satu prinsip koperasi yaitu efisiensi
ekonomi dari perusahaan koperasi Baga et al. 2009. Saluran yang lebih panjang juga dapat menjadi lebih efisien karena saluran tersebut dapat menampung
volume produksi yang besar Adnany 2008. Selain volume penjualan yang besar, konsumen akhir yang membeli buah di pasar modern dan toko buah memberikan
farmer’s share yang lebih tinggi terhadap petani jika dibandingkan dengan konsumen akhir yang membeli di pasar tradisional Sumardi 2009. Hal tersebut
bisa terjadi karena adanya perbedaan kualitas komoditas yang dipasarkan untuk pasar yang berbeda.
Penelitian terdahulu memberikan hasil bahwa petani dan lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik dan
fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dilakukan oleh petani maupun lembaga tataniaga sementara fungsi pembelian dan fungsi penjualan
dilakukan oleh lembaga tataniaga. Fungsi fisik seperti pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan dilakukan baik oleh petani maupun lembaga-lembaga tataniaga.
Fungsi fisik kadangkala tidak dilakukan oleh petani jika pedagang pengumpul membeli langsung komoditas di lahan yang sedang di panen. Seperti halnya
fungsi fisik, fungsi fasilitas berupa sortasi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar dilakukan oleh petani maupun lembaga-lembaga tataniaga. Pada
setiap saluran pemasaran, setiap lembaga tataniaga termasuk petani melakukan fungsi-fungsi yang spesifik atau tidak dapat digeneralisasi untuk semua kasus.
Fungsi-fungsi yang dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan yang produktif karena proses
meningkatkan atau menciptakan nilai a value-added process yaitu nilai guna
14 bentuk form utility, tempat place utility, waktu time utility dan kepemilikan
possession utility. Struktur pasar yang dihadapi petani cenderung bersifat pasar persaingan
competitive market karena jumlah petani dan pedagang pengumpul banyak, harga terbentuk oleh mekanisme pasar, produk yang bersifat homogen dan
kebebasan untuk keluar masuk pasar Adnany 2008; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008; Lubis 2009. Namun petani juga menghadapi pasar yang bersifat
oligopsoni jika jumlah petani banyak sementara hanya ada sedikit pedagang pengumpul atau tengkulak dan pedagang bebas untuk menentukan harga
Kurniawati 2007; Nalurita 2008; Sumardi 2009. Pedagang pengumpul di tingkat desa, tengkulak atau koperasi yang langsung membeli komoditas dari
petani dan menjual kepada pedagang besar atau grosir cenderung menghadapi pasar oligopsoni. Pasar oligopsoni yang dihadapi pedagang pengumpul
mempunyai karakteristik adanya keterbatasan untuk keluar pasar, jumlah pedagang pengumpul yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pedagang
besar dan penentuan harga oleh pedagang besar. Pedagang besar, suplier atau grosir cenderung menghadapi pasar yang bersifat oligopoli dengan karakteristik
jumlah pedagang besar sedikit sementara jumlah pembeli atau pedagang pengecer banyak, mempunyai kekuatan dalam penentuan harga dan sulit untuk keluar dari
pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer cenderung bersifat pasar persaingan competitive market dengan karakteristik jumlah pedagang pengecer
banyak dan jumlah pembeli juga banyak, harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar dan dipengaruhi oleh kualitas produk serta konsumen
mempunyai banyak pilihan barang substitusi. Perilaku pasar dapat diamati pada aktifitas pembelian dan penjualan, cara
pembayaran, sistem penentuan harga dan kerjasama yang terjalin antar lembaga pemasaran. Cara pembayaran yang dilakukan antara petani dengan lembaga
tataniaga dan antar lembaga tataniaga yaitu dengan pembayaran secara tunai, pembayaran uang muka dan pembayaran kemudian dengan perjanjian berdasarkan
atas kepercayaan. Sistem penentuan harga dengan cara mekanisme pasar yaitu tawar menawar antara pembeli dan penjual atau berdasarkan harga yang berlaku
di pasaran serta penentuan harga secara sepihak oleh pembeli atau penjual dengan
15 daya tawar bargaining power yang lebih tinggi. Jika petani mendapat bantuan
modal dari pedagang pengumpul atau tengkulak maka petani harus menjual produknya kepada tengkulak tersebut dimana harga ditentukan secara sepihak
oleh tengkulak Kurniawati 2007; Maharani 2008. Kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul dapat berjalan dengan baik karena kerjasama sudah
berlangsung cukup lama, adanya rasa saling percaya dan hubungan kekerabatan antara petani dengan pedagang Adnany 2008; Ariyanto 2008; Hermansyah 2008;
Sumardi 2009. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam hal
metode pemilihan lokasi penelitian, metode pengambilan responden terhadap petani dan lembaga tataniaga dan metode analisis data. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya yaitu: jenis komoditas yang diteliti, lokasi penelitian dan waktu penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis
tataniaga hortikultura seperti beberapa penelitian sebelumnya tetapi untuk komoditas yang berbeda sehingga penelitian yang sama belum pernah dilakukan
sebelumnya.
2.4. Penelitian Terdahulu Terhadap Markisa