Konsumsi Kedelai Nasional Analisis Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional

pendidikan atau pengetahuan, serta ketersediaan pangan. Disebutkan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi kacang-kacangan juga semakin meningkat, dimana perubahan secara signifikan terlihat pada konsumsi kedelai. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan barang normal. Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan snack. Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi per kapita kedelai selama 1.5 dekade terakhir menurun dari sekitar 11.38 kgkapita pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.97 kgkapita pada tahun 2004, atau menurun rata-rata 1.69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995. Selama periode 1995 – 2000, konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kgkapita pada tahun 1995 menjadi 10.92 kgkapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata 1.57 persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000 – 2004, yaitu rata-rata 4.81 persen per tahun Swastika, Marwoto dan Swastika 2005. Konsumen kedelai terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri pakan. Semakin baiknya kehidupan ekonomi, maka konsumsi protein hewani akan semakin meningkat. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan industri pengolahan agribisnis kedelai khususnya industri tahu dan tempe. Syam et al 1996. Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin meningkat. Munandar et al 2008. Review konsumsi kedelai nasional yang telah diuraikan adalah bahwa sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik demografis penduduk Indonesia berubah, dimana perubahan tersebut jelas membawa perubahan dalam pola konsumsi pangannya. Apalagi dengan azas keterbukaan dan arus globalisasi, yang memungkinkan masyarakat dengan mudah dapat mengakses budaya asing termasuk budaya makan. Karena pada dasarnya, faktor yang mempengaruhi pola makan, tidak hanya pendapatan tetapi juga sosial seperti gengsi, pendidikanpengetahuan, ketersediaan pangan dan harga pangan. Bahkan pada wilayah atau struktur masyarakat tertentu, gaya hidup berpengaruh pada gaya makan dan budaya gengsi lebih menonjol dalam pemilihan menu makanannya. Namun seiring dengan pesatnya informasi kesehatan melalui berbagai media, sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi protein nabati dibanding protein hewani yang memang harganya lebih mahal. Untuk itu, kedelai menjadi pilihan utama sebagai substitusi protein hewani yang khususnya sebagai bahan dasar tahu dan tempe. Di Indonesia, tahu dan tempe telah menjadi makanan yang banyak dikonsumsi semua lapisan masyarakat, bahkan Warga Negara Asing baik di Indonesia maupun di Negara-negara lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa dengan semakin sejahtera masyarakat, pangan umbi-umbian semakin ditinggalkan masyarakat, dan sebaliknya untuk kacang-kacangan termasuk kedelai semakin tinggi permintaannya.

2.3 Kebijakan Perdagangan Kedelai

Tujuan kebijakan perdagangan kedelai, seperti kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: i meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; ii menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; iii meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; iv menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; dan v menjaga kestabilan politik; vi memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi secara efisien Tomeck dan Robinson 1972. Timmer, Falcon dan Pearson 1983 mengatakan bahwa Kebijakan selalu mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, pemerintah di dalam negeri melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya. Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual Amang dan Sawit 1996. Kenaikan harga jual produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan trade lebih sering diartikan sebagi perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan trade policy tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena kebijakan perdagangan biasanya memberikan dukungan kepada kebijakan harga Siregar 2000. Kebijakan perkedelaian nasional dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti halnya diungkapkan oleh Karo Karo 2011 bahwa kebijakan jangka pendek dapat dilakukan melalui kebijakan bagi perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan atau stoknya ke pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Untuk meningkatkan supply, dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan impor, namun hal ini sulit dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan waktu sekitar 5 – 7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang tiba di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah dapat menurunkan tarif impor