Produksi Kedelai Nasional Analisis Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional

memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi yang dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor pemerintah, moneter dan sektor riil. 2 Mendorong usaha besar UB untuk turut aktif meningkatkan produksi kedelai dalam bentuk kemitraan dengan UK dalam Program Kemitraan Terpadu PKT. 3 Mengarahkan pengembangan PKT tanaman kedelai ke kawasan-kawasan yang masih potensial di luar Jawa, khususnya daerah-daerah transmigrasi yang telah memiliki jaringan irigasi teknis, atau daerah transmigrasi yang memiliki lahan usaha II tetapi belum dimanfaatkan lahan tidur Bank Indonesia 2004. Prospek pasar kedelai baik di pasar domestik maupun pasar dunia sangat cerah. Pasar kedelai domestik masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini produksi kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhannya. Meningkatnya konsumsi kedelai dunia terutama dari negara-negara Asia akibat berkembang pesatnya industri pangan dan susu serta bahan bakar kedelai di negara tersebut dan pasar kedelai dunia sangat terbuka lebar bagi para eksportir baru. Tahun 1986, luas panen di luar Jawa mencapai 431.000 ha, atau meningkat 300 persen dari tahun 1982. Implikasinya adalah kedelai ditanam di lingkungan yang lebih luas, sehingga kurang peka terhadap cuaca yang merugikan di lingkungan tertentu. Kedelai sering ditanam di sawah pada bulan April setelah panen padi, dan dipanen pada permulaan bulan Juli. Sekalipun luas panen cenderung meningkat, namun besarannya beragam dari tahun ke tahun. Berbagai faktor menyebabkan ketidakstabilan ini, khususnya cuaca dan hujan yang tidak dapat diprakirakan, bencana alam seperti kemarau dan banjir, serta kepekaan tanaman terhadap hama dan penyakit. Ketidak-pastian dalam penyediaan masukan-masukan pokok seperti pupuk dan pestisida juga diduga turut menentukan produksi kedelai Departemen Pertanian 2005. Secara teknis upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman kedelai sudah tentu harus mengubah pola tanam yang belum intensif menjadi pola tanam intensif Departemen Pertanian 2005. Hal tersebut dilaksanakan dengan cara lebih memantapkan penataan yang meliputi perbaikan serta penyempurnaan dalam penerapan teknologi pada setiap siklus produksi, yang dimulai dari: a. Proses persiapan dan pembuatan serta penyediaan pembenihan kedelai yang unggul. b. Persiapan lahan budidaya. c. Penerapan teknologi penanaman. d. Pemeliharaan tanaman. e. Proses pemanenan. f. Proses penanganan hasil. g. Distribusi dan pemasaran hasil. Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan seperti tahu, tempe yang jenis makanan ini semakin banyak atau populer digunakan sebagai pengganti daging. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15 persen per tahun, sasaran produksi 60 persen dicapai pada tahun 2009. dan swasembada baru tercapai pada tahun 2015. Untuk mendukung upaya khusus peningkatan produksi kedelai tersebut diperlukan investasi sebesar Rp. 5.09 trilyun 2005-2009 dan 16.19 trilyun 2010-2025. Dalam periode yang sama, investasi swasta diperkirakan masing-masing sebesar Rp. 0.68 trilyun dan Rp. 2.45 trilyun Munandar et al 2008. Produksi kedelai nasional dipengaruhi, kuantitas impor, depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS, produktivitas dan nilai tukar mata uang yang dapat menimbulkan penurunan kinerja ekonomi, depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing khususnya dollar AS menguntungkan produk-produk Indonesia yang berbahan baku impor rendah untuk go international. Khususnya dalam memanfaatkan peningkatan daya saing dalam rangka melakukan substitusi impor, sehingga dapat meningkatan produksi dan produktivitas kedelai nasional Aji 2009. Atman 2009 mengemukakan bahwa untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi kedelai nasional ada lima strategi penting yang harus dilaksanakan, yaitu: 1 Perbaikan harga jual; 2 Pemanfaatan potensi lahan; 3 Intensifikasi pertanaman; 4 Perbaikan proses produksi; dan 5 Konsistensi program dan kesungguhan aparat. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah a Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; bTingkat kesuburan lahan yang terus menurun, c Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal Hutapea dan Ali 2010. Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh jenis tanah, kualitas benih, varietas. Pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama penyakit, waktu tanam dan teknologi budidaya yang dianjurkan. Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri merupakan suatu keharusan, dan hal ini dapat dilaksanakan melalui dua jalan yaitu: 1 program intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas lebih dari 2 tonha, dan 2 ekstensifikasi, untuk meningkatkan perluasan areal menjadi dua atau tiga kali lipat Zakaria 2010a. Upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat usaha tani sulit diwujudkan karena beberapa alasan berikut: 1 varietas kedelai di Indonesia mempunyai tingkat produktivitas yang relatif rendah, yaitu 1.50 – 2.50 tonha, 2 adopsi teknologi baru usaha tani kedelai oleh petani masih rendah, dan 3 efisiensi usaha tani kedelai yang dipraktekkan petani masih rendah. Kondisi tersebut menyebabkan pengembangan budi daya kedelai belum sesuai dengan yang diharapkan sehingga tingkat produksi tidak dapat mengimbangi kebutuhan kedelai nasional Zakaria 2010b. Kesimpulan review dari beberapa literatur mengenai produksi kedelai nasional yang telah diuraikan sebelumnya adalah bahwa produksi kedelai nasional dari tahun 1961 – 2010 mengalami kemunduran hingga 0.7 persen per tahun. Sejak tahun 2000, impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena meningkatnya kedelai impor hingga mencapai 1 persen per tahun, selain itu, kredit pinjaman yang mudah diperoleh dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri, namun harga lebih rendah dibanding total biaya produksi. Sementara itu, harga kedelai impor semakin rendah mencapai Rp.6000,-kg, sedangkan kedelai lokal sudah mencapai Rp. 8000,-kg, sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya, dari segi harga, kedelai lokal tidak bisa bersaing dengan kedelai Impor. Selain itu, banyaknya program pemerintah mengenai teknologi budidaya pangan tidak dilakukan dengan efektif dan efisien, sehingga kurang bermanfaat bagi petani kedelai. Petani kedelai pun tidak mengerti dengan teknologi modern yang mana pengenalannya masih belum maksimal oleh badan-badan penyuluhan maupun litbang setempat. Selain itu tingkat kesuburan lahan pertanian produktif juga semakin menurun, sehingga menyebabkan tingkat produktivitas kedelai rendah. Hal ini dikarenakan pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman dan pusat bisnis. Kurangnya inovasi terhadap pengolahan agribisnis kedelai juga menjadi salah satu lemahnya daya saing kedelai lokal terhadap kedelai impor.

2.2 Konsumsi Kedelai Nasional

Tingkat konsumsi suatu barang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga barang tersebut relatif terhadap harga barang-barang lainnya, dan selera. Tingkat partisipasi konsumsi kedelai meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan, pangsa kedelai yang dikonsumsi untuk pangan saat ini cukup besar, begitupun dengan konsumsi kedelai yang lebih pesat bersumber dari industri tahu, tempe, kecap dan susu Suryana dan Sudaryanto 1997. Kedelai sebagai salah satu komoditas substitusi beras dan jagung dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan. Sebagai pangan pokok, kedelai memperlihatkan sifat barang inferior, baik di pedesaan maupun di perkotaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Namun komoditas ini masih tetap merupakan penyumbang protein nabati terpenting bagi penduduk pedesaan pada kelompok berpendapatan rendah Kasryno et al 2001. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang secara nyata telah mengubah pola konsumsi penduduknya dari pangan penghasil energi ke produk penghasil protein. Oleh karena itu,kebutuhan akan protein nabati maupun hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan Silitonga, Santosa dan Indiarto 1996 dan Hutabarat 2003. Konsumsi kedelai yang tinggi menyebabkan Indonesia selalu mengalami defisit kedelai nasional, hal ini ditunjukkan oleh net impor yang meningkat dari sekitar 0.54 juta ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.31 juta ton pada tahun 2004. Penurunan produksi kedelai jauh lebih tajam daripada penurunan total konsumsi, maka untuk menutupi defisit diperkirakan impor akan terus meningkat. Namun, Indonesia pernah berswasembada kedelai sebelum tahun 1976, dengan indeks swasembada lebih besar dari satu Swastika 1997 dan 2003. Krisis ekonomi berdampak pada penurunan daya beli dan harga pangan menjadi mahal. Penurunan tingkat partisipasi, tidak menyebabkan penurunan jumlah kedelai yang dikonsumsi oleh penduduk. Saat krisis ekonomi, konsumsi kedelai termasuk tahu,tempe, kecap meningkat sebesar 66.8 persen di kota dan 47.3 persen di desa pada tahun 1996. Artinya, terjadi subsitusi dari pangan sumber protein yang harganya mahal seperti dagingtelurikan beralih kepada pangan nabati terutama tahu dan tempe sebagai lauk pauknya. Tingkat konsumsi tahu tempe di kota pada periode 1996-1999 meningkat sebesar 46.6 persen dari 30.4 kg menjadi 44.6 kgkapth, sedangkan di desa 63.5 persen, dari 19.0 kg menjadi 31.1 kgkapth Ariani dkk 2003. Ariani 2003 juga mengemukakan bahwa analisis konsumsi rumah tangga dapat didekati dengan dua cara yaitu tingkat partisipasi konsumsi yang mencerminkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tertentu dan tingkat konsumsi pangan per kapita. Dalam penelitian ini analisis konsumsi kedelai mencerminkan pendekatan konsumsi rumahtangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi kedelai adalah tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga pangan itu sendiri, harga pangan lain sebagai substitusinya dalam hal ini pangan umbi-umbian, gaya makan, budaya gengsi atau gaya hidup, pendidikan atau pengetahuan, serta ketersediaan pangan. Disebutkan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi kacang-kacangan juga semakin meningkat, dimana perubahan secara signifikan terlihat pada konsumsi kedelai. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan barang normal. Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan snack. Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi per kapita kedelai selama 1.5 dekade terakhir menurun dari sekitar 11.38 kgkapita pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.97 kgkapita pada tahun 2004, atau menurun rata-rata 1.69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995. Selama periode 1995 – 2000, konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kgkapita pada tahun 1995 menjadi 10.92 kgkapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata 1.57 persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000 – 2004, yaitu rata-rata 4.81 persen per tahun Swastika, Marwoto dan Swastika 2005. Konsumen kedelai terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri pakan. Semakin baiknya kehidupan ekonomi, maka konsumsi protein hewani akan semakin meningkat. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan industri pengolahan agribisnis kedelai khususnya industri tahu dan tempe. Syam et al 1996. Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin meningkat. Munandar et al 2008. Review konsumsi kedelai nasional yang telah diuraikan adalah bahwa sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik demografis penduduk Indonesia berubah, dimana perubahan tersebut jelas membawa perubahan dalam pola konsumsi pangannya. Apalagi dengan azas keterbukaan dan arus globalisasi, yang memungkinkan masyarakat dengan mudah dapat mengakses budaya asing termasuk budaya makan. Karena pada dasarnya, faktor yang mempengaruhi pola makan, tidak hanya pendapatan tetapi juga sosial seperti gengsi, pendidikanpengetahuan, ketersediaan pangan dan harga pangan. Bahkan pada wilayah atau struktur masyarakat tertentu, gaya hidup berpengaruh pada gaya makan dan budaya gengsi lebih menonjol dalam pemilihan menu makanannya. Namun seiring dengan pesatnya informasi kesehatan melalui berbagai media, sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi protein nabati dibanding protein hewani yang memang harganya lebih mahal. Untuk itu, kedelai menjadi pilihan utama sebagai substitusi protein hewani yang khususnya sebagai bahan dasar tahu dan tempe. Di Indonesia, tahu dan tempe telah menjadi makanan yang banyak dikonsumsi semua lapisan masyarakat, bahkan Warga Negara Asing baik di Indonesia maupun di Negara-negara lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa dengan semakin sejahtera masyarakat, pangan umbi-umbian semakin ditinggalkan masyarakat, dan sebaliknya untuk kacang-kacangan termasuk kedelai semakin tinggi permintaannya.

2.3 Kebijakan Perdagangan Kedelai