Latar Belakang Analisis Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional

Tabel 1.1 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2002 – 2012 Tahun Area Juta Ha Produksi Juta Ton Produktivitas TonHa 2002 79.0 181.7 2.3 2004 91.6 205.5 2.2 2006 95.3 221.9 2.3 2008 96.4 231.2 2.4 2010 102.4 261.6 2.5 2012 104.9 241.8 2.3 Pertumbuhan rata-rata per tahun 56.9 114.1 1.8 Sumber: FAO 2013, diolah Tabel 1.2 menunjukkan bahwa rata-rata area tanam, produksi dan produktivitas kedelai dunia masing-masing sebesar 56.9 juta ha, 114.1 juta ton, dan 1.8 ton per ha per tahun, sedangkan Indonesia hanya memiliki luas area rata- rata sebesar 0.83 juta ha, produksi rata-rata sebesar 0.85 juta ton dan produktivitas rata-rata sebesar 1.001 ton per ha per tahun. Pertumbuhan area, produksi dan produktivitas kedelai Indonesia yang cenderung kecil menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia dalam memenuhi kedelai dunia hanya sebesar 1.5 persen, 0.7 persen dan 5.4 persen terhadap luas area, produksi dan produktivitas kedelai dunia. Sampai saat ini, produktivitas kedelai di tingkat petani masih rendah, rata- rata 1.3 tonha dengan kisaran 0.6-2.0 tonha, sedangkan potensi hasilnya bisa mencapai 3.0 tonha. Senjang produktivitas yang sangat besar tersebut memberikan peluang bahwa peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas di tingkat petani masih bisa dilakukan. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Kementerian Pertanian, dimana dari laporan Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian 2012 bahwa selama kurun waktu 93 tahun 1918–2012, pemerintah Indonesia telah melepas 73 varietas kedelai. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai salah satunya dengan perluasan wilayah tanam. Namun, upaya peningkatan produktivitas kedelai tidak hanya perluasan wilayah tanam, tetapi juga penggunaan varietas unggul. Varietas unggul sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani Zanetta, Waluyo dan Karuniawan 2013. Permasalahan yang menyebabkan terjadi kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional yang dirangkum dari Kementerian Pertanian 2010 dan Suyamto dan Nyoman 2010 yaitu: 1 Masih rendahnya tingkat produktivitas dan keuntungan usahatani kedelai dibanding komoditas lain seperti padi dan jagung, sehingga petani kurang berminat menanam kedelai dan berpindah ke usahatani tanaman lain yang lebih menguntungkan. Sebagai akibatnya luas areal pangan kedelai makin menurun tajam dan produksi kedelai nasional makin menurun. 2 Belum berkembangnya industri perbenihan kedelai. 3 Rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga stabilitas hasih rendah. 4 Persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain. 5 Swasta kurang berminat mengembangkan kedelai karena resiko kegagalan yang tinggi dan kurang menguntungi. 6 Petani belum mengusahakan kedelai secara intensif dengan cara-cara budidaya yang maju. 7 Tata niaga kedelai belum kondusif, impor kedelai lebih mudah dan lebih murah, sehingga petani yang rata-rata petani kecil kurang dapat bersaing. Tabel 1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1961–2012 Tahun Area juta ha Produksi juta ton Produktivitas tonha 1961 0.62 0.43 0.07 1970 0.69 0.50 0.07 1980 0.73 0.65 0.09 1990 1.33 1.49 0.11 2000 0.82 1.02 0.11 2001 0.68 0.83 0.12 2005 0.62 0.81 0.13 2010 0.66 0.91 1.37 2012 0.57 0.85 1.50 Jumlah rata-rata per tahun Indonesia 0.83 0.85 1.001 Pertumbuhan rata-rata Indonesia per tahun 0.81 2.39 1.64 Jumlah rata-rata dunia per tahun 1961 – 2012 56.9 114.1 1.85 Kontribusi Indonesia terhadap dunia 1.5 0.7 5.4 Sumber: FAO 2013, diolah Dinamika perdagangan kedelai dunia dapat mempertajam posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui posisi kedelai Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat mengantisipasi kebijakan apa yang akan diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pilihan kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja dipengaruhi oleh keinginan politik penguasa Oktaviani 2010. Tabel 1.3 memperlihatkan laju rata-rata penurunan ekspor dan impor kedelai dunia masing- masing sudah mencapai 64.04 persen dan 63.93 persen, dengan perkembangan ekspor dan impor masing-masing sebesar 32.73 juta ton dan 32.76 juta ton per tahun. Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 Tahun Ekspor juta ton Impor juta ton 1961 4.17 4.09 1970 12.63 12.29 1980 26.88 27.04 1990 25.88 26.33 2000 47.38 48.48 2003 65.03 65.80 Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 lanjutan Tahun Ekspor juta ton Impor juta ton 2006 67.0 66.36 2009 81.54 79.94 2011 91.02 90.81 Jumlah rata-rata per tahun juta ton 32.73 32.76 Pertumbuhan rata-rata per tahun -64.04 -63.93 Kontribusi Indonesia terhadap dunia 0.007 1.93 Sumber: FAO 2013, diolah Kontribusi Indonesia terhadap perdagangan kedelai dunia menunjukkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara produsen, tetapi Indonesia merupakan negara importir kedelai, dimana kontribusi Indonesia terhadap impor kedelai dunia sebesar 1.93 persen, sedangkan terhadap ekspor kedelai dunia hanya sebesar 0.007 persen. Seperti yang dijelaskan oleh Supadi 2009 bahwa semenjak Bulog tidak lagi menjadi importir tunggal, mudahnya importir swasta mengimpor kedelai, menyebabkan volume impor kedelai cenderung meningkat karena harga kedelai di pasar internasional lebih murah. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.4 bahwa impor kedelai rata-rata mencapai 631 ribu ton, sedangkan ekspor rata- rata hanya sebesar 2300 ton per tahun. Tabel 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 – 2012 Tahun Ekspor juta ton Impor juta ton 1961 0.000410 1970 0.002690 1980 0.000311 0.10 1990 0.54 2000 0.000290 1.28 2005 0.000876 1.086180 2010 0.003850 1.740505 2012 0.000466 1.914561 Jumlah Rata-rata per tahun ton 0.002374 0.631821 Pertumbuhan rata-ratatahun 357.76 264.42 Sumber: FAO 2013, diolah Dinamika perkedelaian nasional juga dipengaruhi harga kedelai, rendahnya daya saing harga kedelai nasional terhadap harga kedelai internasional disebabkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Supadi 2009 bahwa di negara-negara maju seperti USA, pemerintah selalu memberikan subsidi ekspor terhadap petani, sehingga menjamin hasil panen petani yang selalu terserap oleh pasar internasional dengan harga yang layak.

1.2 Perumusan Masalah

Kebutuhan kedelai di Indonesia akan terus meningkat, dari waktu ke waktu, seiring pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan gizi makanan yang bersumber dari protein nabati. Dalam kurun waktu 5 tahun 2010 – 2014, kebutuhan kedelai setiap tahunnya sekitar 2.3 jutaan ton, namun kemampuan produksi kedelai nasional hanya berkisar 800 ribuan ton per tahun Dirjentanpan 2013 dan FAOSTAT 2012, sehingga untuk memenuhi kekurangan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Seperti dikutip dari hasil penelitian Kustiari et al 2009 bahwa laju produktivitas relatif stabil, namun laju perkembangan luas area tanam relatif menurun, kondisi ini terjadi karena semakin tebatasnya lahan pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir, sedangkan kebutuhan kedelai untuk konsumsi diproyeksikan akan meningkat rata- rata 2.44 persen per tahun Sudaryanto dan Swastika 2007. Permintaan kedelai per kapita sejak tahun 1990 – 2010 diperkirakan tumbuh sebesar 2.92 persen per tahun Siregar 1999. Laju pertumbuhan rata-rata data historis menunjukkan bahwa selama 52 tahun 1961 – 2012, konsumsi kedelai nasional meningkat sebesar 1.2 jutaan ton per tahun atau sekitar 5.4 persen per tahun Lampiran 5b. Peningkatan kebutuhan akan kedelai juga dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap Mursidah 2005. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional ditutup oleh kedelai impor, dimana menurut Amang dan Sawit 1996 impor kedelai banyak menyita devisa negara. Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 – 2012 sumber: FAO 2013 Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional sudah dimulai sejak tahun 1961 – 2012 Gambar 1.1. Meningkatnya permintaan kedelai karena berkembangnya industri pengolahan pangan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku menyebabkan tingkat kebutuhan konsumsi kedelai meningkat Firdausy, Mulya dan Nurlia 2005. Saat ini kebutuhan kedelai dalam negeri sudah mencapai 2.9 jutaan ton, dengan penggunaan konsumsi untuk makanan hampir 2.3 jutaan ton dan sisanya sekitar 600 ribuan ton digunakan untuk non makanan. Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 42 persen konsumsi domestik FAO 2012. Ketidakstabilan produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai yang mana produktivitas kedelai relatif stabil Malian, 2004. Kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 60 persen lebih dipenuhi dari kedelai impor Departemen Pertanian 2008. Lonjakan konsumsi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan tahu dan tempe, semakin populer digunakan unuk substitusi produk hewani pada beberapa kondisi. Kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia tergolong skala kecil–menengah, namun dalam jumlah sangat banyak, sehingga menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai. Peningkatan konsumsi kedelai tidak diimbangi oleh gairah petani dalam budidaya kedelai yang semakin menurun Ariani 2003, menyebabkan areal tanam semakin menurun dan produktivitas relatif stabil Oktaviani 2010. Soesastro dan Basri 1998 mengemukakan bahwa impor kedelai yang semula merupakan monopoli pemerintah, dalam hal ini Bulog, sejak 1 Januari 1998 bebas diimpor dengan menggunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula 20 persen turun menjadi 5 persen pada tahun 2003. Walaupun dalam kesepakatan tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk menetapkan tarif impor kedelai, tetapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk dengan bebas. Pasar bebas yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1999 menyebabkan impor kedelai terus meningkat akibat dari turunnya bea masuk impor kedelai juga dikemukakan oleh IPDN 2008. Penyebab lain meningkatnya impor adalah fasilitas GSM 102 yang diberikan oleh Amerika Serikat yang memudahkan importir kedelai Indonesia Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2002. Impor kedelai yang semakin meningkat didukung oleh harga yang lebih murah, sehingga berdampak pada kualitas kedelai itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Arifin 2012 bahwa kedelai impor yang berasal dari kedelai transgenik akan berdampak buruk pada kesehatan manusia pada jangka panjang. Selain itu, impor kedelai yang semakin meningkat juga akan menyebabkan devisa negara yang menghilang semakin meningkat. Ekspor kedelai tidak berhasil karena tidak adanya dukungan “political will” dari pemerintah yang sangat besar, antara lain dalam bentuk subsidi agro input benih, pupuk dan obat-obatan, peralatan mekanisasi dan subsidi harga dengan penetapan harga jual support price. Ekspor kedelai juga dapat membuat daya saing kedelai di pasar internasional menjadi lebih baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas, dan harga. Selain itu, adanya kebijakan penetapan tarif impor yang menurun hingga 5 persen pada tahun 2004 juga membuat kondisi pertanian kedelai semakin terpuruk Departemen Pertanian 2002.