Kebijakan Perdagangan Kedelai Analisis Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional

Tujuan kebijakan perdagangan kedelai, seperti kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: i meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; ii menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; iii meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; iv menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; dan v menjaga kestabilan politik; vi memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi secara efisien Tomeck dan Robinson 1972. Timmer, Falcon dan Pearson 1983 mengatakan bahwa Kebijakan selalu mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, pemerintah di dalam negeri melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya. Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual Amang dan Sawit 1996. Kenaikan harga jual produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan trade lebih sering diartikan sebagi perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan trade policy tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena kebijakan perdagangan biasanya memberikan dukungan kepada kebijakan harga Siregar 2000. Kebijakan perkedelaian nasional dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti halnya diungkapkan oleh Karo Karo 2011 bahwa kebijakan jangka pendek dapat dilakukan melalui kebijakan bagi perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan atau stoknya ke pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Untuk meningkatkan supply, dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan impor, namun hal ini sulit dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan waktu sekitar 5 – 7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang tiba di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah dapat menurunkan tarif impor sebesar 10 persen menjadi nol persen, sehingga kedelai impor bisa masuk dengan harga yang lebih murah. Namun pada kenyataannya, harga kedelai impor tetap mahal. Dampak penurunan tarif impor ini hanya menurunkan harga kedelai domestik dari harga Rp. 7.500,- menjadi Rp. 6.750,- per kg pada tahun 2011. Terakhir adalah pemerintah harus menghimbau pada pengrajin tahu dan tempe agar melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tempe, seperti penggunaan singkong, kacang tanah dan kacang hijau. Kebijakan jangka panjang terkait dengan aspek teknis, seperti dukungan pemerintah terhadap penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi yang efektif dan efisien, memperluas area tanam kedelai Karo Karo 2011. Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga secara bersama-sama seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dan masyarakat tentunya harus saling mendukung dan terus meningkatkan kinerja usahataninya dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan lainnya adalah dengan himbauan pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk melakukan diversifikasi pangan, misalnya dengan mengkonsumsi makanan tradisional khas Indonesia, tidak hanya mengkonsumsi makanan yang asalnya dari luar negeri. Dengan demikian, dalam jangka panjang bahan makanan yang berasal dari luar negeri akan semakin menurun ketika permintaannya di dalam negeri juga menurun. Umumnya negara sedang berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara- negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan perdagangan internasional terdiri atas kebijakan harga dan perdagangan Irsyad 2011. Tujuan utama kebijakan perdagangan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi dan sekaligus member insentif kepada pengrajin tahu tempe. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979 – 1991 dan setiap tahun diterapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Berdasarkan laporan perkembangan harga FAO, harga dasar kedelai pada tahun mencapai Rp. 6.500,-kg pada tahun 2011 sudah mencapai Rp. 7.000,- kg, dari gambaran peningkatan harga dasar kedelai ini memperlihatkan pemerintah mulai berpihak kepada petani kedelai. Walaupun perubahan harga dasar tersebut menggambarkan perubahan perhatian pemerintah terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai Siregar 2000. Hasil penelitian oleh Zakiah 2011 menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai impor dengan korelasi positif. Artinya, ketika harga impor meningkat, maka harga kedelai nasional juga akan meningkat. Sedangkan variabel jumlah produksi kedelai dan jumlah kedelai impor berkorelasi negatif. Ini menunjukkan harga kedelai di tingkat petani akan menurun jika jumlah kedelai impor meningkat. Karena itu perlu adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor kedelai dari luar negeri. Impor akan menurunkan harga kedelai di tingkat petani, dan ini menyebabkan gairah petani untuk menanam kedelai menurun disebabkan petani tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya. Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun 1980 BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahutempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selam 3 tahun 1979-1983 dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Sementara itu stok kedelai meningkat terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG Irawan dan Purwoto 1989, tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik, karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal. Erwidodo dan Hadi 1999 menganalisis dampak penghapusan tarif impor kedelai 5 persen pada tahun 1995 Pakmei dengan konsep consumer surplus dan producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga tingkat produsen, sehingga penghapusan tarif tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen. Kebijakan perdagangan internasional lainnya adalah pengenaan tarif ad- valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 – 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 – 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 – 2012 Siregar 2000 dan Dirjen Pajak 2012. Review kebijakan perkedelaian nasional yang telah diuraikan secara mendasar memuat misi bahwa disatu sisi sektor pertanian harus mampu menyediakan kebutuhan konsumsi langsungbagi masyarakat dengan cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, sektor pertanian harus dapat menjadi pendorong berkembangnya berbagai kegiatan, baik pada sektor hulu maupun hilir, pada setiap pembangunan wilayah pertanian. Dalam operasionalnya, kebijakan kedelai yang mendukung program pembangunan pertanian diantaranya adalah kebijakan ekonomi terbuka atau perdagangan internasional, yang mencakup kebijakan harga dan perdagangan, dalam hal ini yaitu kebijakan tarif impor dan quota impor. Dengan adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan perkedelaian ini, maka produksi kedelai nasional akan dapat memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga tidak diperlukan impor kedelai, maka pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada kedelai nasional tercapai.

2.4 Model Ekonomi Kedelai

Model ekonomi kedelai berdasarkan beberapa literatur oleh Sari 2005, Adetama 2011, Handayani et al 2011 secara mendasar adalah model permintaan dan penawaran kedelai. Dimana model permintaan pada dasarnya dipengaruhi oleh harga kedelai dalam negeri, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sementara model penawaran kedelai idealnya sama dengan permintaan dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemandirian pangan, dalam hal ini untuk mengurangi bahkan menghilangkan impor kedelai. Sehingga program pembangunan pertanian melalui yaitu berupa ketahanan pangan melalui program swasembada pangan tercapai. Namun pada kenyataannya, harga kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh harga kedelai impor. Kedelai impor juga dipengaruhi oleh produksi kedelai dalam negeri, bea masuk impor tarif impor kedelai, serta permintaan kedelai impor di dalam negeri. Terlihat hubungan simultan, dimana model permintaan yang awalnya dipengaruhi oleh harga kedelai nasional, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk, namun juga mempengaruhi kuantitas kedelai impor. Model ekonomi kedelai yang biasa dilakukan dalam beberapa penelitian tersebut, bertujuan melihat bagaimana perkembangan permintaan dan penawaran kedelai nasional saat ini dan ke depannya, yang mana dipengaruhi oleh variabel- variabel mikro ekonomi maupun makro ekonomi. Pada akhirnya tujuan analisis ini untuk melihat apakah antara penawaran dan permintaan yang melalui pendekatan produksi dan konsumsi kedelai nasional seimbang atau bahkan surplus di masa mendatang, dengan menganalisis simulasi kebijakan untuk mengetahui apakah swasembada kedelai di masa mendatang dapat tercapai yang dibantu dengan simulasi kebijakan.

2.5 Review Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dibahas menjadi dua bagian, penelitian kedelai di Indonesia dan di negara lain, secara rinci sebagai berikut:

2.5.1 Penelitian Kedelai di Negara Lain

Kebijakan kedelai di USA yaitu dapat melakukan intervensi terhadap penetapan harga kedelai di tingkat petani. Besarnya subsidi pemerintah yang diberikan kepada petani, membuat pemerintah USA menetapkan harga kedelai ekspor rendah, agar ekspor semakin meningkat, namun hal ini membuat pendapatan petani kedelai semakin rendah. Untuk meningkatkan pendapatan petani sebesar 9 persen, maka pemerintah harus menurunkan harga kedelai ekspor sebesar 7.8 persen pada tahun 1980 – 1987 dan 5.9 persen per tahun pada periode 1987 – 1991. Disimpulkan bahwa ketika petani kedelai tidak menerima subsidi dari pemerintah, maka pemerintah tidak memiliki hak intervensi terhadap penetapan harga kedelai di tingkat petani, sehingga petani dapat menentukan harga berdasarkan biaya produksi total Chen 1998. Analisis perdagangan saham, ekspor dan perdagangan kedelai dengan pendekatan sistem simultan oleh Reddy 2008 menunjukkan bahwa di India tingkat produksi mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20 persen per tahun dan ekspor kedelai meningkat rata-rata sebesar 14.7 persen per tahun. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara