Analisis Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL
RIZMA ALDILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Rizma Aldillah NIM H451100281
(3)
Kedelai dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau World's Miracle mengingat kualitas protein tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai di Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Namun produksi kedelai belum mencukupi kebutuhan lokal, sehingga pada 5 tahun terakhir impor rata-rata mencapai 80 persen per tahun (FAO, 2013), walaupun demikian, dalam rencana strategis pengembagan pertanian, Indonesia memiliki tujuan mencapai swasembada kedelai tahun 2020.
Permasalahan utama adalah produksi kedelai nasional lebih rendah daripada kebutuhan dalam negeri, sehingga selalu mengalami defisit. Untuk itu, dilakukan analisis produksi dan konsumsi kedelai nasional yang bertujuan menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai nasional, bagaimana proyeksi produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahun yang akan datang, serta bagaimana alternatif simulasi yang dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kedelai nasional.
Hasil analisis simultan menyimpulkan bahwa produksi kedelai nasional (PKN) dipengaruhi oleh luas area (LATKN) dan produktivitas (PRKN), dimana perubahan LATKN dan PRKN resposif terhadap LATKN t-1 dan PRKNt-1. Sedangkan perubahan konsumsi (KKN) responsive terhadap penawaran (SKN), dimana SKN mempengaruhi harga nasional (HKN), begitupun harga impor (HKI) terintegrasi oleh HKN, sehingga perubahan harga impor mempengaruhi volume impor (KIK), kesesuaian model bagus (fit) berada dalam kisaran 75 – 98 persen.
Hasil peramalan tahun 2013 – 2020 menghasilkan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 1.2 jutaan ton atau sekitar 6.8 persen per tahun dan konsumsi sebesar 2.8 jutaan ton atau sekitar 2.1 persen per tahun, namun demikian, defisit rata-rata mengalami penurunan rata-rata sekitar 0.98 persen atau 1.4 jutaan ton per tahun. Analisis simulasi kebijakan bertujuan menganalisis strategi untuk meningkatkan produksi kedelai nasional pada periode 2013 – 2020 sesuai hasil peramalan, dimana simulasi tersebut diantaranya meningkatkan LATKN 7 persen, HKI 100 persen dan HKN 50 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar penerapan pembelian harga petani spesifik lokasi, penetapan tarif impor kembali sesuai aturan WTO, kontribusi agribisnis misalnya diversifikasi produk, serta pemotongan jalur tataniaga yang lebih efisien dan efektif dari produsen ke konsumen. Kata kunci: kebijakan, kedelai, konsumsi, peramalan, produksi, simulasi
(4)
Soy dubbed as Gold from the Soil, or the World's Miracle considering the quality of balanced and complete high protein. Soybean consumption in Indonesia increase every year considering several considerations such as increasing population, increasing income per capita, public awareness of food nutrition. However, soybean production is insufficient local demand, so that in the last 5 years average imports reached 80 percent per year (FAO, 2013), nevertheless, in the agricultural development of the strategic plan, Indonesia have purpose to reach soybean self-sufficiency by 2020.
The main problem is the national soybean production is lower than the domestic demand, so it is always in deficit. So that, an analysis of national soybean production and consumption aims to analyze the variables that influence of national soybean production and consumption, how the predictions of the national soybean production and consumption in the future, and how alternative simulations that can be done to improve the national soybean production.
The results of simultaneous analysis concluded that production is influenced by area and yield, whereas of area and yield modification is responsive by themselves in the previous year. However, modification of consumption is responsive by quantity supplies which is influence by nastional prices, and of course, the national prices integrated with import prices, and also the modification of it influence of import quantity. Goodness of fit of simultaneous model in the range of 73 – 98 percent.
The results of forecasting at 2013 - 2020 shows average production growth of 1.2 million tons, or about 6.8 percent per year and average consumption of 2.8 million tons, or about 2.1 percent per year, however, it shows an average deficit of diminishing about 0.98 percent or 1.4 million ton per year. Simulation analysis to make strategic policy performed in the corresponding increase at national soybean production forecast results, including increase the area harvested by 7 percent, import prices by 100 percent, and national prices by 50 percent.
Based on the research results, it is suggested that the application of the purchase price at the farm level by spesific location, re import tariffs according to the rules of the WTO, the contribution of agribusiness, for example: product diversification, make the trading system more efficient and effective from producers to consumers.
Key words: consumption, forecasting, policy, production, simulation, soybeans
(5)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(6)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(7)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, M. Adev.
(8)
D i s e t u j u i o l e h
K o m i s i P e m b i m b i n g
D r I r H e n
D i k e t a h u i o l e h
K e t u a P r o g r a m S t u d i A g r i b i s n i s
P r o f D r I r R i t a N u r m a l i n a , M S
(9)
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah produksi dan konsumsi, dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional. Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr Ir Harianto MS dan Dr Heny K Daryanto M Ec sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan perhatian baik secara moril maupun substansi dan teknis yang sangat berarti dari awal penelitian hingga penyusunan tesis ini selesai.
2. Dr Ir Suharno MAdev dan Dr Ir Burhanuddin MS sebagai dosen penguji dalam siding akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnakan tesis.
3. Dr Ir Ana Fariyanti MS sebagai dosen evaluator kolokium atas saran yang diberikan untuk proposal penelitian.
4. Dr Ir Parulian Hutagaol MS sebagai dosen moderator seminar hasil penelitian atas saran yang diberikan untuk tesis.
5. Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS sebagai Ketua Program Studi S2 Agribisnis yang selalu mendukung secara moril dan administratif dari awal perkuliahan hingga kelulusan.
6. Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Dr Ir Handewi P Saliem MS, dan Staf kepegawaian atas dukungan moril serta ke-administrasi-an sejak awal perkuliahan hingga kelulusan.
7. Suami tercinta, Ya’ Thohir, SKM atas doa dan dukungan moril maupun materil, serta kasih sayang yang diberikan, serta anak-anakku Ya’ Muhammad Riztho Rizaldi dan Ya’ Ibrahim Ditho Al-Fathir yang selalu menjadi penyemangat bunda dalam menyelesaikan studi di MSA (Magister Sains Agribisnis).
8. Orang tua, H. Armadi Chaniago dan Hj. Maisaroh, adikku Rizda Anferiz, SE atas doa dan dukungan moril maupun materil serta kasih sayang yang diberikan.
9. Prof Dr Ir Budiman Hutabarat MS, Dr Ir Adang Agustian MSi, Rina Hartini, SSi MB, dan Novindra Taher SP MS atas bantuan dalam pengolahan data dan saran dalam pembahasan.
10.Seluruh dosen dan staf sekretariat Departemen Agribisnis atas ilmu yang diberikan selama perkuliahan, serta bantuan ke-administrasi-an.
11.Teman-teman MSA angkatan pertama atas perhatian, dukungan dan kerjasama kita selama di bangku perkuliahan.
12.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Agustus 2014
(10)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Batasan Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Ekonomi Kedelai 9
Produksi Kedelai Nasional 11
Konsumsi Kedelai Nasional 14
Kebijakan Perdagangan Kedelai 16
Model Ekonomi Kedelai 19
Review Penelitian Terdahulu 19
Penelitian Kedelai di Negara Lain 19
Penelitian Kedelai di Indonesia 21
Model Simultan dan Non Simultan 26
Model Persamaan Simultan 27
Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan 29
Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan 30
3 KERANGKA PEMIKIRAN 33
Kerangka Pemikiran Teoritis 33
Teori Produksi 33
Teori Konsumsi 34
Teori Persamaan Simultan 37
Kerangka Pemikiran Operasional 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas 41
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi 42
Model Persamaan Simultan 44
4 METODE PENELITIAN 47 Jenis dan Sumber Data 47 Metode Analisis 47 Penentuan Model 49
Metode Peramalan 50
(11)
DAFTAR ISI (
lanjutan
)
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 51
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kedelai Nasional 51
Keragaan Luas Area Tanam Kedelai Nasional 51
Keragaan Produktivitas Kedelai Nasional 53
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Kedelai 54
Keragaan Harga Kedelai Impor 54
Keragaan Kuantitas Impor Kedelai 55
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kedelai Nasional 56
Keragaan Konsumi Kedelai Nasional 56
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kedelai Nasional 57
Keragaan Harga Kedelai Nasional 57
Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 61
Simulasi Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Kedelai Nasional 64
Simulasi Kebijakan Pertama 65
Simulasi Kebijakan Kedua 66
Simulasi Kebijakan Ketiga 67
7 SIMPULAN DAN SARAN 70
Simpulan 70
Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 71
LAMPIRAN 80
(12)
DAFTAR TABEL
1.1 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
Dunia Tahun 2000 – 2010 2
1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
Indonesia Tahun 1961–2012 3
1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 3 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 – 2012 4 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan 26 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 44
5.1 Hasil Estimasi Parameter LATKN 52
5.2 Hasil Estimasi Parameter PRKN 53
5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI 54
5.4 Hasil Estimasi Parameter KIK 56
5.5 Hasil Estimasi Parameter KKN 57
5.6 Hasil Estimasi Parameter HKN 58
5.7 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun
2010 – 2020 62
5.8 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Pertama 65 5.9 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Kedua 66 5.10 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Ketiga 67
DAFTAR GAMBAR
1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 – 2012 5 1.2 Harga Ekspor dan Harga Impor Kedelai Nasional 1961 – 2012 7
3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 40
3.2 5.1
Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional
Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013 – 2020
44 63
DAFTAR LAMPIRAN
1 Negara-Negara Produsen Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2010 80
2a Data Historis 80
2b 2c
Data Historis Data Historis
81 83
3 Jenis Variabel Data dan Sumber Data 84
4 Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 84
5a Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 86
5b 5c
Perkembangan Pertumbuhan Data Historis Perkembangan Pertumbuhan Data Historis
87 88
(13)
DAFTAR LAMPIRAN (
lanjutan
)
6a Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model 89 6b Rekapitulasi Perangkingan Hasil Respesifikasi Model 102
7 Nilai U-Theil 102
8a Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih 103
8b Hasil Output SAS, Peramalan 106
(14)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan dan merupakan sumber utama protein dan minyak nabati utama dunia. Kedelai merupakan tanaman pangan utama strategis terpenting setelah padi dan jagung. Kedelai juga berguna untuk usaha peternakan yaitu untuk pakan ternak dan pupuk hijau dari daun dan batangnya. Selain itu, kedelai dapat dimanfaatkan menjadi bahan industri makanan, seperti tahu, tempe, susu, vetsin, kue, dan sebagainya, sedangkan untuk industri non makanan seperti kertas, tinta cetak, cat air, dan sebagainya. Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan Gliserida, seperti minyak goreng, tinta, pernis, margarin, dan sebagainya. Kedelai dapat digunakan untuk bahan Lecithin, seperti margarin, isolat protein, puff kedelai, insektisida, plastik, industri farmasi, dan sebagainya (CGPRT Center 1986), sehingga ketersediaan kedelai sebagai bahan pangan maupun non pangan sangat penting.
Begitu besarnya kontribusi kedelai dalam hal penyediaan bahan pangan bergizi bagi manusia sehingga kedelai biasa dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau sebagai World's Miracle mengingat kualitas asam amino proteinnya yang tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai oleh masyarakat Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Dibandingkan protein hewani, protein asal kedelai murah dan terjangkau oleh kebanyakan masyarakat. Dengan demikian, tanaman kedelai memiliki manfaat ekonomis yang luas dan strategis, sekaligus berkaitan erat dengan pengembangan industri hilir1. Peningkatan kebutuhan akan kedelai dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap (Mursidah 2005), serta berkembangnya olahan kedelai dan industri pakan ternak (Siregar 2003).
Produsen terbesar di dunia adalah Amerika, hingga tahun 2012 produksi kedelai USA telah mencapai 82 juta ton, dengan pertumbuhan produksi dan produktivitas rata-rata selama periode 1961 – 2012 masing-masing sebesar 54 juta ton dan 2.2 ton per tahun (FAO 2012). Tujuh negara produsen kedelai terbesar di dunia dapat menghasilkan rata-rata produksi mencapai 1.4 jutaan ton hingga 53 jutaan ton per tahun, seperti negara Canada, China, Argentina, USA, Brazil, India, Paraguay, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2 – 45 persen per tahun (Lampiran 1). Pentingnya komoditas kedelai di dunia ditunjukkan oleh area tanam, produksi dan produktivitas yang cenderung meningkat (Tabel 1.1).
1) Agribisnis. 2001.
Produksi Kedelai Nasional Belum Mencukupi. Jumat, 24 Agustus 2001; 18:21WIB. Jakarta. www. agribisnis.tripod.com
(15)
Tabel 1.1 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2002 – 2012
Tahun Area
(Juta Ha)
Produksi (Juta Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2002 79.0 181.7 2.3
2004 91.6 205.5 2.2
2006 95.3 221.9 2.3
2008 96.4 231.2 2.4
2010 102.4 261.6 2.5
2012 104.9 241.8 2.3
Pertumbuhan rata-rata per tahun 56.9 114.1 1.8 Sumber: FAO (2013), diolah
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa rata-rata area tanam, produksi dan produktivitas kedelai dunia masing-masing sebesar 56.9 juta ha, 114.1 juta ton, dan 1.8 ton per ha per tahun, sedangkan Indonesia hanya memiliki luas area rata-rata sebesar 0.83 juta ha, produksi rata-rata-rata-rata sebesar 0.85 juta ton dan produktivitas rata-rata sebesar 1.001 ton per ha per tahun. Pertumbuhan area, produksi dan produktivitas kedelai Indonesia yang cenderung kecil menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia dalam memenuhi kedelai dunia hanya sebesar 1.5 persen, 0.7 persen dan 5.4 persen terhadap luas area, produksi dan produktivitas kedelai dunia.
Sampai saat ini, produktivitas kedelai di tingkat petani masih rendah, rata-rata 1.3 ton/ha dengan kisaran 0.6-2.0 ton/ha, sedangkan potensi hasilnya bisa mencapai 3.0 ton/ha. Senjang produktivitas yang sangat besar tersebut memberikan peluang bahwa peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas di tingkat petani masih bisa dilakukan. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Kementerian Pertanian, dimana dari laporan Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (2012) bahwa selama kurun waktu 93 tahun (1918–2012), pemerintah Indonesia telah melepas 73 varietas kedelai. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai salah satunya dengan perluasan wilayah tanam. Namun, upaya peningkatan produktivitas kedelai tidak hanya perluasan wilayah tanam, tetapi juga penggunaan varietas unggul. Varietas unggul sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani (Zanetta, Waluyo dan Karuniawan 2013).
Permasalahan yang menyebabkan terjadi kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional yang dirangkum dari Kementerian Pertanian (2010) dan Suyamto dan Nyoman (2010) yaitu: (1) Masih rendahnya tingkat produktivitas dan keuntungan usahatani kedelai dibanding komoditas lain seperti padi dan jagung, sehingga petani kurang berminat menanam kedelai dan berpindah ke usahatani tanaman lain yang lebih menguntungkan. Sebagai akibatnya luas areal pangan kedelai makin menurun tajam dan produksi kedelai nasional makin menurun. (2) Belum berkembangnya industri perbenihan kedelai. (3) Rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga stabilitas hasih rendah. (4) Persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain. (5) Swasta kurang
(16)
berminat mengembangkan kedelai karena resiko kegagalan yang tinggi dan kurang menguntungi. (6) Petani belum mengusahakan kedelai secara intensif dengan cara-cara budidaya yang maju. (7) Tata niaga kedelai belum kondusif, impor kedelai lebih mudah dan lebih murah, sehingga petani yang rata-rata petani kecil kurang dapat bersaing.
Tabel 1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1961–2012
Tahun Area
(juta ha)
Produksi (juta ton)
Produktivitas (ton/ha)
1961 0.62 0.43 0.07
1970 0.69 0.50 0.07
1980 0.73 0.65 0.09
1990 1.33 1.49 0.11
2000 0.82 1.02 0.11
2001 0.68 0.83 0.12
2005 0.62 0.81 0.13
2010 0.66 0.91 1.37
2012 0.57 0.85 1.50
Jumlah rata-rata per tahun Indonesia 0.83 0.85 1.001
Pertumbuhan rata-rata Indonesia per tahun (%) 0.81 2.39 1.64
Jumlah rata-rata dunia per tahun 1961 – 2012 56.9 114.1 1.85
Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 1.5 0.7 5.4
Sumber: FAO (2013), diolah
Dinamika perdagangan kedelai dunia dapat mempertajam posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui posisi kedelai Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat mengantisipasi kebijakan apa yang akan diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pilihan kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja dipengaruhi oleh keinginan politik penguasa (Oktaviani 2010). Tabel 1.3 memperlihatkan laju rata-rata penurunan ekspor dan impor kedelai dunia masing-masing sudah mencapai 64.04 persen dan 63.93 persen, dengan perkembangan ekspor dan impor masing-masing sebesar 32.73 juta ton dan 32.76 juta ton per tahun.
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 4.17 4.09
1970 12.63 12.29
1980 26.88 27.04
1990 25.88 26.33
2000 47.38 48.48
(17)
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 – 2011 (lanjutan)
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
2006 67.0 66.36
2009 81.54 79.94
2011 91.02 90.81
Jumlah rata-rata per tahun (juta ton) 32.73 32.76
Pertumbuhan rata-rata per tahun (%) -64.04 -63.93
Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 0.007 1.93
Sumber: FAO (2013), diolah
Kontribusi Indonesia terhadap perdagangan kedelai dunia menunjukkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara produsen, tetapi Indonesia merupakan negara importir kedelai, dimana kontribusi Indonesia terhadap impor kedelai dunia sebesar 1.93 persen, sedangkan terhadap ekspor kedelai dunia hanya sebesar 0.007 persen. Seperti yang dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa semenjak Bulog tidak lagi menjadi importir tunggal, mudahnya importir swasta mengimpor kedelai, menyebabkan volume impor kedelai cenderung meningkat karena harga kedelai di pasar internasional lebih murah. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.4 bahwa impor kedelai rata mencapai 631 ribu ton, sedangkan ekspor rata-rata hanya sebesar 2300 ton per tahun.
Tabel 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 – 2012
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 0.000410 0
1970 0.002690 0
1980 0.000311 0.10
1990 0 0.54
2000 0.000290 1.28
2005 0.000876 1.086180
2010 0.003850 1.740505
2012 0.000466 1.914561
Jumlah Rata-rata per tahun (ton) 0.002374 0.631821
Pertumbuhan rata-rata/tahun (%) 357.76 264.42
Sumber: FAO (2013), diolah
Dinamika perkedelaian nasional juga dipengaruhi harga kedelai, rendahnya daya saing harga kedelai nasional terhadap harga kedelai internasional disebabkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa di negara-negara maju seperti USA, pemerintah selalu memberikan subsidi ekspor terhadap petani, sehingga menjamin hasil panen petani yang selalu terserap oleh pasar internasional dengan harga yang layak.
(18)
1.2 Perumusan Masalah
Kebutuhan kedelai di Indonesia akan terus meningkat, dari waktu ke waktu, seiring pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan gizi makanan yang bersumber dari protein nabati. Dalam kurun waktu 5 tahun (2010 – 2014), kebutuhan kedelai setiap tahunnya sekitar 2.3 jutaan ton, namun kemampuan produksi kedelai nasional hanya berkisar 800 ribuan ton per tahun (Dirjentanpan 2013 dan FAOSTAT 2012), sehingga untuk memenuhi kekurangan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Seperti dikutip dari hasil penelitian Kustiari et al (2009) bahwa laju produktivitas relatif stabil, namun laju perkembangan luas area tanam relatif menurun, kondisi ini terjadi karena semakin tebatasnya lahan pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir, sedangkan kebutuhan kedelai untuk konsumsi diproyeksikan akan meningkat rata-rata 2.44 persen per tahun (Sudaryanto dan Swastika 2007). Permintaan kedelai per kapita sejak tahun 1990 – 2010 diperkirakan tumbuh sebesar 2.92 persen per tahun (Siregar 1999). Laju pertumbuhan rata-rata data historis menunjukkan bahwa selama 52 tahun (1961 – 2012), konsumsi kedelai nasional meningkat sebesar 1.2 jutaan ton per tahun atau sekitar 5.4 persen per tahun (Lampiran 5b). Peningkatan kebutuhan akan kedelai juga dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap (Mursidah 2005). Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional ditutup oleh kedelai impor, dimana menurut Amang dan Sawit (1996) impor kedelai banyak menyita devisa negara.
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 – 2012 (sumber: FAO 2013)
Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional sudah dimulai sejak tahun 1961 – 2012 (Gambar 1.1). Meningkatnya permintaan kedelai karena
(19)
berkembangnya industri pengolahan pangan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku menyebabkan tingkat kebutuhan konsumsi kedelai meningkat (Firdausy, Mulya dan Nurlia 2005). Saat ini kebutuhan kedelai dalam negeri sudah mencapai 2.9 jutaan ton, dengan penggunaan konsumsi untuk makanan hampir 2.3 jutaan ton dan sisanya sekitar 600 ribuan ton digunakan untuk non makanan. Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 42 persen konsumsi domestik (FAO 2012). Ketidakstabilan produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai yang mana produktivitas kedelai relatif stabil (Malian, 2004). Kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 60 persen lebih dipenuhi dari kedelai impor (Departemen Pertanian 2008).
Lonjakan konsumsi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan (tahu dan tempe), semakin populer digunakan unuk substitusi produk hewani pada beberapa kondisi. Kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia tergolong skala kecil–menengah, namun dalam jumlah sangat banyak, sehingga menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai. Peningkatan konsumsi kedelai tidak diimbangi oleh gairah petani dalam budidaya kedelai yang semakin menurun (Ariani 2003), menyebabkan areal tanam semakin menurun dan produktivitas relatif stabil (Oktaviani 2010).
Soesastro dan Basri (1998) mengemukakan bahwa impor kedelai yang semula merupakan monopoli pemerintah, dalam hal ini Bulog, sejak 1 Januari 1998 bebas diimpor dengan menggunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula 20 persen turun menjadi 5 persen pada tahun 2003. Walaupun dalam kesepakatan tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk menetapkan tarif impor kedelai, tetapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk dengan bebas. Pasar bebas yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1999 menyebabkan impor kedelai terus meningkat akibat dari turunnya bea masuk impor kedelai juga dikemukakan oleh IPDN (2008). Penyebab lain meningkatnya impor adalah fasilitas GSM 102 yang diberikan oleh Amerika Serikat yang memudahkan importir kedelai Indonesia (Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2002).
Impor kedelai yang semakin meningkat didukung oleh harga yang lebih murah, sehingga berdampak pada kualitas kedelai itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Arifin (2012) bahwa kedelai impor yang berasal dari kedelai transgenik akan berdampak buruk pada kesehatan manusia pada jangka panjang. Selain itu, impor kedelai yang semakin meningkat juga akan menyebabkan devisa negara yang menghilang semakin meningkat.
Ekspor kedelai tidak berhasil karena tidak adanya dukungan “political will” dari pemerintah yang sangat besar, antara lain dalam bentuk subsidi agro input (benih, pupuk dan obat-obatan), peralatan mekanisasi dan subsidi harga dengan penetapan harga jual (support price). Ekspor kedelai juga dapat membuat daya saing kedelai di pasar internasional menjadi lebih baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas, dan harga. Selain itu, adanya kebijakan penetapan tarif impor yang menurun hingga 5 persen pada tahun 2004 juga membuat kondisi pertanian kedelai semakin terpuruk (Departemen Pertanian 2002).
(20)
Gambar 1.2 Harga Ekspor (HKE) dan Harga Impor Kedelai (HKI) 1961 – 2012 (Sumber: FAO 2013)
Harga kedelai impor pada Gambar 1.2 secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 3 persen per tahun, sedangkan laju rata-rata harga kedelai nasional mencapai 14 persen per tahun pada periode 1961 – 2012 (FAO 2012). Dengan semakin meningkatnya harga kedelai impor, membuat posisi daya saing harga kedelai lokal lebih baik.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi kedelai nasional?
2. Bagaimana pola kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi kedelai nasional di masa mendatang?
3. Bagaimana alternatif simulasi kebijakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia.
2. Memproyeksikan tingkat produksi dan konsumsi kedelai Indonesia di masa mendatang.
3. Merumuskan simulasi kebijakan alternatif untuk meningkatkan produksi kedelai nasional.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini berguna untuk beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah penelitian.
(21)
2. Bagi pemerintah (pengambil kebijakan), penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk acuan membuat aternatif-alternatif kebijakan perkedelaian nasional.
3. Bagi pelaku akademisi, penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi dalam melakukan analisis yang terkait dengan produksi dan konsumsi kedelai.
Batasan Penelitian
Batasan dan ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Penelitian difokuskan pada produksi dan konsumsi kedelai nasional dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Penelitian menggunakan data sekunder, tidak dilakukan pengambilan data di tingkat petani.
3. Penelitian memberikan gambaran simultan antara produksi dan konsumsi serta faktor yang mempengaruhinya, melakukan proyeksi peramalan hingga beberapa tahun ke depan, serta memberikan gambaran simulasi kebijakan alternatif.
(22)
2.1 Ekonomi Kedelai
Indonesia hingga saat ini termasuk negara produsen kedelai keenam terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Cina, dan India. Namun, produksi kedelai domestik belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui peningkatan produksi domestik. Untuk mencukupinya, pemerintah melakukan impor. Diperkirakan kebutuhan kedelai Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2.79 juta ton (Nasution 1990). Untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai impor yang terus meningkat,diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, baik melalui perluasan areal tanam, peningkatan produktivitas maupun pemberian dukungan pemerintah melalui kebijakan yang berpihak kepada petani, seperti pengaturan tata niaga kedelai, tarif bea masuk, Dan penetapan harga dasar. Diharapkan berbagai kebijakan tersebut dapat memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi kedelai.
Kedelai dari sisi ekonomi dapat dikemukakan melalui naiknya nilai tukar yang akan mempengaruhi jumlah kedelai yang diimpor yang selanjutnya akan mempengaruhi penawaran dan stok kedelai di dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian Kumenaung (1994), dengan naiknya nilai tukar 15 persen telah menyebabkan turunnya jumlah impor sebesar 12.58 persen. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing turun, mengakibatkan kemampuan untuk membayar kebutuhan kedelai melalui impor semakin kecil. Penurunan jumlah impor ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penawaran kedelai nasional. Jumlah penawaran kedelai nasional menurun 2.63 persen karena impor kedelai merupakan salah satu unsur yang menyusun jumlah penawaran kedelai. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi industri tahu dalam negeri yang juga mengalami penurunan produksi sebesar 1.33 persen. Jika harga impor naik, merangsang harga kedelai domestik naik sehingga akan menguntungkan petani. Terjadi surplus, begitupun dengan industri tahu dan tempe, ketika surplus, kebutuhan kedelai dalam negeri akan terpenuhi oleh kedelai domestik, kemudian surplus di ekspor untuk menambah devisa negara.
Ekonomi kedelai di Indonesia dapat dikemukakan melalui beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: (1) penerapan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi pengusahaan komoditas kedelai cukup tepat untuk meningkatkan permintaan akan kedelai lokal dan menurunkan permintaan terhadap kedelai impor dari manca negara; (2) pengaruh yang cukup besar dan berbeda-beda dari peubahan kebijakan perdagangan internasional dari negara-negara pengekspor kedelai ke Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memperoleh volume impor kedelai yang dibutuhkan dengan meminimalkan pengeluaran devisa; (3) pengaruh yang cukup besar dan berbeda-beda dari perubahan biaya transportasi untuk setiap negara pengekspor kedelai ke Indonesia, dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kedelai impor dengan harga lebih kompetitif, sehingga dapat menekan pengeluaran devisa Indonesia; (4) pemerintah dapat memanfaatkan kondisi krisis moneter yang amsih berlangsung di Indonesia untuk menurunkan permintaan impor kedelai, misalnya pelaksanaan program yang dapat meningkatkan daya substitusi kedelai lokal, seperti pengembangan benih kedelai yang disukai petani dan pengusaha tahu tempe, yang
(23)
dapat mensubstitusi kedelai impor, untuk mendukung efektivitas kebijakan lainnya (Rachmawati 1999).
Kedelai saat ini merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat penting dalam kehidupan penduduk Indonesia, masalah yang dihadapi agribisnis kedelai di Indonesia adalah pendapatan usahatani kedelai yang rendah. Akibatnya kedelai nasional tidak berdaya saing dibandingkan dengan kedelai impor. Usahatani kedelai telah mencapai efisiensi teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis. Usahatani kedelai tanpa maupun dengan side product memiliki peluang daya saing, sehingga diperlukan kebijakan harga (floorprice) diatas harga jual petani (farm gate price) untuk meningkatkan efisiensi ekonomis komoditas kedelai, serta apabila harga kedelai impor lebih rendah, maka diperlukan barier dalam bentuk Rate Protection Tax dengan memperhitungkan Effective Rate of
Protection (ERP).Untuk menambah tingkat daya saing perlu diperhitungkan side
product budidaya kedelai (Sutrisno, Titis dan Rini 2010).
Beberapa argumen tentang pentingnya pengembangan ekonomi kedelai adalah: 1) pertambahan jumlah penduduk, 2) usahatani kedelai melibatkan lebih dari dua juta rumah tangga petani, 3) peningkatan pendapatan masyarakat dan kesadaran pentingnya mengonsumsi protein nabati, 4) perkembangan industri makanan berbahan baku kedelai, seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco, serta 5) perkembangan industri pakan yang salah satu komponen utamanya adalah bungkil kedelai. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan terhadap kedelai terus meningkat setiap tahun (Zakaria 2010c).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat di gunakan untuk mengkukur secara lagsung kualitas sumber daya dengan cara mengatur kecukupan pangan dan gizinya karena sifat kedelai sangat ekonomis dan dinamis. Dari sisi ekonomi, kedelai sebagai komoditas pangan yang strategis, beresiko bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, pertimbangan pokoknya adalah memegang peranan yang sangat kuat dalam menu pangan penduduk. Kedelai berperan dari sisi sosial ekonomi, psikologis dan politis yang cukup tinggi adanya gejolak seperti berkurangnya pasokan yang diikuti dengan lonjakan harga akan membuat susah masyarakat, bukan hanya perajin tahu dan tempe yang terancam bergulung tikar. Krisis kedelai seperti krisis komoditas pangan lain sebenarnya akumulasi dari tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam membangun ketahanan pangan (Sri 2011).
Sintesis dari beberapa wacana mengenai ekonomi kedelai diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi pertanian, hal yang harus dicapai terlebih dahulu adalah memperkuat ketahanan pangan dari ancaman globalisasi, dimana terdapat dua pilihan antara lain pencapaian berswesembada artinya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri minimal tergantung pada perdagangan luar negeri, lalu yang kedua pencapaian kemandirian dalam pangan yaitu berusaha menyediakan minimal pangan yaitu berusaha menyediakan minimal pangan perkapita untuk melindungi dari ketergantungan impor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan akses terhadap pangan. Persoalan kedelai Indonesia di masa mendatang, harus diarahkan ke swasembada, ketergantungan impor dapat mengganggu kestabilan sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk itu, ketika swasembada kedelai tercapai, maka Indonesia akan memiliki peluang menjadi salah satu negara eksportir terbesar di dunia. Hal ini tentunya berdampak pada nilai kepercayaan luar negeri
(24)
kepada komoditas pertanian Indonesia. Disaat produk pertanian Indonesia memiliki daya saing yang baik di dunia internasional, maka hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan semakin membaik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2.2 Produksi Kedelai Nasional
Produksi kedelai dalam negeri secara tidak langsung di subsidi oleh pemerintah melalui subsidi pupuk dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan persoalan bagi kebijaksanaan nasional, karena biaya produksi kedelai di Indonesia lebih tinggi daripada harganya di pasaran internasional. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan (viabilitas) ekonomi program subsidi pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Namun penting dilakukan perlindungan terhadap produksi kedelai, karena banyak industri kecil pedesaan kepada produksi kedelai setempat. Peningkatan produksi diperlukan agar biaya ekonomi program pemerintah tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi ekonomi nasional (CGPRT Center 1986).
Suryana dan Sudaryanto (1997) menyatakan bahwa di masa yang akan datang dinamika perubahan lingkungan strategis baik di tingkat nasional maupun internasional akan mewarnai aspek produksi dan konsumsi pangan domestik. Faktor-fakor yang menunjang meningkatnya produksi komoditas kedelai, diantaranya adalah: (1). Dibangunnya prasarana irigasi; (2). Digunakannya varietas unggul berproduksi tinggi dari lahan gangguan hama/penyakit; (3). Penyuluhan tentang teknik budidaya kedelai yang baik; (4). Pemberian fasilitas kredit berbunga rendah; (5). Pemberian subsidi pupuk; (6). Harga dasar yang cukup relatif untuk kedelai; (7). Program intensifikasi seperti Bimas (Bimbingan Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), dan Insus (Intensifikasi Khusus), dan ada program khusus untuk kedelai dan jagung yaitu Opsus (Operasi Khusus).
Program peningkatan produksi kedelai diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan kedelai nasional yang cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap kandungan gizi beberapa produk makanan yang berbahan baku kedelai. Diantara produk kedelai, konsumsi tahu dan tempe meningkat lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi biji kedelai dan keperluan lainnya (Sahara dan Endang 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai adalah perkembangan luas areal tanam, jumlah benih yang tersedia, produktivitas, kuantitas dan harga ekspor dan impor, serta harga jual di tingkat petani. Konsep produksi menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia di banyak tempat dan murah harganya (Ariani 2003).
Tuhana dan Novo (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan produksi kedelai nasional rendah adalah cara bercocok tanam dan pemeliharaan kurang intensif, mutu benih kurang baik dan daya tumbuh rendah, varietas lokal yang digunakan tidak mempunyai daya produksi tinggi, suatu areal yang sempit sering ditanami beberapa varietas kedelai yang berbeda, dan pencegahan hama belum intensif. Untuk itu upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatan produksi kedelai nasional, antara lain: (1) Membantu pihak Usaha Kecil (UK) dalam bidang agribisnis tanaman kedelai agar mereka mampu
(25)
memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi yang dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor pemerintah, moneter dan sektor riil. (2) Mendorong usaha besar (UB) untuk turut aktif meningkatkan produksi kedelai dalam bentuk kemitraan dengan UK dalam Program Kemitraan Terpadu (PKT). (3) Mengarahkan pengembangan PKT tanaman kedelai ke kawasan-kawasan yang masih potensial di luar Jawa, khususnya daerah-daerah transmigrasi yang telah memiliki jaringan irigasi teknis, atau daerah transmigrasi yang memiliki lahan usaha II tetapi belum dimanfaatkan (lahan tidur) (Bank Indonesia 2004).
Prospek pasar kedelai baik di pasar domestik maupun pasar dunia sangat cerah. Pasar kedelai domestik masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini produksi kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhannya. Meningkatnya konsumsi kedelai dunia terutama dari negara-negara Asia akibat berkembang pesatnya industri pangan dan susu serta bahan bakar kedelai di negara tersebut dan pasar kedelai dunia sangat terbuka lebar bagi para eksportir baru). Tahun 1986, luas panen di luar Jawa mencapai 431.000 ha, atau meningkat 300 persen dari tahun 1982. Implikasinya adalah kedelai ditanam di lingkungan yang lebih luas, sehingga kurang peka terhadap cuaca yang merugikan di lingkungan tertentu. Kedelai sering ditanam di sawah pada bulan April setelah panen padi, dan dipanen pada permulaan bulan Juli. Sekalipun luas panen cenderung meningkat, namun besarannya beragam dari tahun ke tahun. Berbagai faktor menyebabkan ketidakstabilan ini, khususnya cuaca dan hujan yang tidak dapat diprakirakan, bencana alam seperti kemarau dan banjir, serta kepekaan tanaman terhadap hama dan penyakit. Ketidak-pastian dalam penyediaan masukan-masukan pokok seperti pupuk dan pestisida juga diduga turut menentukan produksi kedelai (Departemen Pertanian 2005).
Secara teknis upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman kedelai sudah tentu harus mengubah pola tanam yang belum intensif menjadi pola tanam intensif (Departemen Pertanian 2005). Hal tersebut dilaksanakan dengan cara lebih memantapkan penataan yang meliputi perbaikan serta penyempurnaan dalam penerapan teknologi pada setiap siklus produksi, yang dimulai dari: a. Proses persiapan dan pembuatan serta penyediaan pembenihan kedelai yang unggul. b. Persiapan lahan budidaya. c. Penerapan teknologi penanaman. d. Pemeliharaan tanaman. e. Proses pemanenan. f. Proses penanganan hasil. g. Distribusi dan pemasaran hasil.
Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan seperti tahu, tempe yang jenis makanan ini semakin banyak atau populer digunakan sebagai pengganti daging. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15 persen per tahun, sasaran produksi 60 persen dicapai pada tahun 2009. dan swasembada baru tercapai pada tahun 2015. Untuk mendukung upaya khusus peningkatan produksi kedelai tersebut diperlukan investasi sebesar Rp. 5.09 trilyun (2005-2009) dan 16.19 trilyun (2010-2025). Dalam periode yang sama, investasi swasta diperkirakan masing-masing sebesar Rp. 0.68 trilyun dan Rp. 2.45 trilyun (Munandar et al 2008).
Produksi kedelai nasional dipengaruhi, kuantitas impor, depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS, produktivitas dan nilai tukar mata uang yang dapat menimbulkan penurunan kinerja ekonomi, depresiasi
(26)
nilai rupiah terhadap mata uang asing khususnya dollar AS menguntungkan produk-produk Indonesia yang berbahan baku impor rendah untuk go
international. Khususnya dalam memanfaatkan peningkatan daya saing dalam
rangka melakukan substitusi impor, sehingga dapat meningkatan produksi dan produktivitas kedelai nasional (Aji 2009).
Atman (2009) mengemukakan bahwa untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi kedelai nasional ada lima strategi penting yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) Perbaikan harga jual; (2) Pemanfaatan potensi lahan; (3) Intensifikasi pertanaman; (4) Perbaikan proses produksi; dan (5) Konsistensi program dan kesungguhan aparat. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Hutapea dan Ali 2010).
Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh jenis tanah, kualitas benih, varietas. Pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama penyakit, waktu tanam dan teknologi budidaya yang dianjurkan. Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri merupakan suatu keharusan, dan hal ini dapat dilaksanakan melalui dua jalan yaitu: (1) program intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas lebih dari 2 ton/ha, dan (2) ekstensifikasi, untuk meningkatkan perluasan areal menjadi dua atau tiga kali lipat (Zakaria 2010a). Upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat usaha tani sulit diwujudkan karena beberapa alasan berikut: 1) varietas kedelai di Indonesia mempunyai tingkat produktivitas yang relatif rendah, yaitu 1.50 – 2.50 ton/ha, 2) adopsi teknologi baru usaha tani kedelai oleh petani masih rendah, dan 3) efisiensi usaha tani kedelai yang dipraktekkan petani masih rendah. Kondisi tersebut menyebabkan pengembangan budi daya kedelai belum sesuai dengan yang diharapkan sehingga tingkat produksi tidak dapat mengimbangi kebutuhan kedelai nasional (Zakaria 2010b).
Kesimpulan review dari beberapa literatur mengenai produksi kedelai nasional yang telah diuraikan sebelumnya adalah bahwa produksi kedelai nasional dari tahun 1961 – 2010 mengalami kemunduran hingga 0.7 persen per tahun. Sejak tahun 2000, impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena meningkatnya kedelai impor hingga mencapai 1 persen per tahun, selain itu, kredit pinjaman yang mudah diperoleh dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri, namun harga lebih rendah dibanding total biaya produksi. Sementara itu, harga kedelai impor semakin rendah mencapai Rp.6000,-/kg, sedangkan kedelai lokal sudah mencapai Rp. 8000,-/kg, sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya, dari segi harga, kedelai lokal tidak bisa bersaing dengan kedelai Impor. Selain itu, banyaknya program pemerintah mengenai teknologi budidaya pangan tidak dilakukan dengan efektif dan efisien, sehingga kurang bermanfaat bagi petani kedelai. Petani kedelai pun tidak mengerti dengan teknologi modern yang mana pengenalannya masih belum maksimal oleh badan-badan penyuluhan maupun litbang setempat. Selain itu tingkat kesuburan lahan pertanian produktif juga semakin menurun, sehingga menyebabkan tingkat produktivitas kedelai rendah. Hal ini dikarenakan pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain
(27)
seperti permukiman dan pusat bisnis. Kurangnya inovasi terhadap pengolahan agribisnis kedelai juga menjadi salah satu lemahnya daya saing kedelai lokal terhadap kedelai impor.
2.2 Konsumsi Kedelai Nasional
Tingkat konsumsi suatu barang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga barang tersebut (relatif terhadap harga barang-barang lainnya), dan selera. Tingkat partisipasi konsumsi kedelai meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan, pangsa kedelai yang dikonsumsi untuk pangan saat ini cukup besar, begitupun dengan konsumsi kedelai yang lebih pesat bersumber dari industri tahu, tempe, kecap dan susu (Suryana dan Sudaryanto 1997). Kedelai sebagai salah satu komoditas substitusi beras dan jagung dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan. Sebagai pangan pokok, kedelai memperlihatkan sifat barang inferior, baik di pedesaan maupun di perkotaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Namun komoditas ini masih tetap merupakan penyumbang protein nabati terpenting bagi penduduk pedesaan pada kelompok berpendapatan rendah (Kasryno et al 2001).
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang secara nyata telah mengubah pola konsumsi penduduknya dari pangan penghasil energi ke produk penghasil protein. Oleh karena itu,kebutuhan akan protein nabati maupun hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
dan peningkatan pendapatan (Silitonga, Santosa dan Indiarto 1996 dan Hutabarat
2003). Konsumsi kedelai yang tinggi menyebabkan Indonesia selalu mengalami defisit kedelai nasional, hal ini ditunjukkan oleh net impor yang meningkat dari sekitar 0.54 juta ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.31 juta ton pada tahun 2004. Penurunan produksi kedelai jauh lebih tajam daripada penurunan total konsumsi, maka untuk menutupi defisit diperkirakan impor akan terus meningkat. Namun, Indonesia pernah berswasembada kedelai sebelum tahun 1976, dengan indeks swasembada lebih besar dari satu (Swastika 1997 dan 2003).
Krisis ekonomi berdampak pada penurunan daya beli dan harga pangan menjadi mahal. Penurunan tingkat partisipasi, tidak menyebabkan penurunan jumlah kedelai yang dikonsumsi oleh penduduk. Saat krisis ekonomi, konsumsi kedelai (termasuk tahu,tempe, kecap) meningkat sebesar 66.8 persen di kota dan 47.3 persen di desa pada tahun 1996. Artinya, terjadi subsitusi dari pangan sumber protein yang harganya mahal seperti daging/telur/ikan beralih kepada pangan nabati terutama tahu dan tempe sebagai lauk pauknya. Tingkat konsumsi tahu tempe di kota pada periode 1996-1999 meningkat sebesar 46.6 persen (dari 30.4 kg menjadi 44.6 kg/kap/th), sedangkan di desa 63.5 persen, dari 19.0 kg menjadi 31.1 kg/kap/th (Ariani dkk 2003).
Ariani (2003) juga mengemukakan bahwa analisis konsumsi rumah tangga dapat didekati dengan dua cara yaitu tingkat partisipasi konsumsi yang mencerminkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tertentu dan tingkat konsumsi pangan per kapita. Dalam penelitian ini analisis konsumsi kedelai mencerminkan pendekatan konsumsi rumahtangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi kedelai adalah tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga pangan itu sendiri, harga pangan lain sebagai substitusinya (dalam hal ini pangan umbi-umbian), gaya makan, budaya gengsi atau gaya hidup,
(28)
pendidikan atau pengetahuan, serta ketersediaan pangan. Disebutkan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi kacang-kacangan juga semakin meningkat, dimana perubahan secara signifikan terlihat pada konsumsi kedelai. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan barang normal.
Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan (snack). Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi per kapita kedelai selama 1.5 dekade terakhir menurun dari sekitar 11.38 kg/kapita pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.97 kg/kapita pada tahun 2004, atau menurun rata-rata 1.69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995. Selama periode 1995 – 2000, konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kg/kapita pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg/kapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata 1.57 persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000 – 2004, yaitu rata-rata 4.81 persen per tahun (Swastika, Marwoto dan Swastika 2005).
Konsumen kedelai terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri pakan. Semakin baiknya kehidupan ekonomi, maka konsumsi protein hewani akan semakin meningkat. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan industri pengolahan agribisnis kedelai khususnya industri tahu dan tempe. (Syam
et al 1996). Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi
masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin meningkat. (Munandar et al 2008).
Review konsumsi kedelai nasional yang telah diuraikan adalah bahwa sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik demografis penduduk Indonesia berubah, dimana perubahan tersebut jelas membawa perubahan dalam pola konsumsi pangannya. Apalagi dengan azas keterbukaan dan arus globalisasi, yang memungkinkan masyarakat dengan mudah dapat mengakses budaya asing termasuk budaya makan. Karena pada dasarnya, faktor yang mempengaruhi pola makan, tidak hanya pendapatan tetapi juga sosial seperti gengsi, pendidikan/pengetahuan, ketersediaan pangan dan harga pangan. Bahkan pada wilayah atau struktur masyarakat tertentu, gaya hidup berpengaruh pada gaya makan dan budaya gengsi lebih menonjol dalam pemilihan menu makanannya. Namun seiring dengan pesatnya informasi kesehatan melalui berbagai media, sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi protein nabati dibanding protein hewani yang memang harganya lebih mahal. Untuk itu, kedelai menjadi pilihan utama sebagai substitusi protein hewani yang khususnya sebagai bahan dasar tahu dan tempe. Di Indonesia, tahu dan tempe telah menjadi makanan yang banyak dikonsumsi semua lapisan masyarakat, bahkan Warga Negara Asing baik di Indonesia maupun di Negara-negara lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa dengan semakin sejahtera masyarakat, pangan umbi-umbian semakin ditinggalkan masyarakat, dan sebaliknya untuk kacang-kacangan (termasuk kedelai) semakin tinggi permintaannya.
(29)
Tujuan kebijakan perdagangan kedelai, seperti kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: (i) meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; dan (v) menjaga kestabilan politik; (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi secara efisien (Tomeck dan Robinson 1972).
Timmer, Falcon dan Pearson (1983) mengatakan bahwa Kebijakan selalu mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan.
Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, pemerintah di dalam negeri melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya. Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual (Amang dan Sawit 1996). Kenaikan harga jual produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan (trade) lebih sering diartikan sebagi perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan
(trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri.
Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena kebijakan perdagangan biasanya memberikan dukungan kepada kebijakan harga (Siregar 2000).
Kebijakan perkedelaian nasional dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti halnya diungkapkan oleh Karo Karo (2011) bahwa kebijakan jangka pendek dapat dilakukan melalui kebijakan bagi perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan atau stoknya ke pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Untuk meningkatkan supply, dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan impor, namun hal ini sulit dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan waktu sekitar 5 – 7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang tiba di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah dapat menurunkan tarif impor
(30)
sebesar 10 persen menjadi nol persen, sehingga kedelai impor bisa masuk dengan harga yang lebih murah. Namun pada kenyataannya, harga kedelai impor tetap mahal. Dampak penurunan tarif impor ini hanya menurunkan harga kedelai domestik dari harga Rp. 7.500,- menjadi Rp. 6.750,- per kg pada tahun 2011. Terakhir adalah pemerintah harus menghimbau pada pengrajin tahu dan tempe agar melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tempe, seperti penggunaan singkong, kacang tanah dan kacang hijau.
Kebijakan jangka panjang terkait dengan aspek teknis, seperti dukungan pemerintah terhadap penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi yang efektif dan efisien, memperluas area tanam kedelai (Karo Karo 2011). Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga secara bersama-sama seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dan masyarakat tentunya harus saling mendukung dan terus meningkatkan kinerja usahataninya dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan lainnya adalah dengan himbauan pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk melakukan diversifikasi pangan, misalnya dengan mengkonsumsi makanan tradisional khas Indonesia, tidak hanya mengkonsumsi makanan yang asalnya dari luar negeri. Dengan demikian, dalam jangka panjang bahan makanan yang berasal dari luar negeri akan semakin menurun ketika permintaannya di dalam negeri juga menurun.
Umumnya negara sedang berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara-negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan perdagangan internasional terdiri atas kebijakan harga dan perdagangan (Irsyad 2011). Tujuan utama kebijakan perdagangan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi dan sekaligus member insentif kepada pengrajin tahu tempe. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai.
Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979 – 1991 dan setiap tahun diterapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Berdasarkan laporan perkembangan harga FAO, harga dasar kedelai pada tahun mencapai Rp. 6.500,-/kg pada tahun 2011 sudah mencapai Rp. 7.000,- /kg, dari gambaran peningkatan harga dasar kedelai ini memperlihatkan pemerintah mulai berpihak kepada petani kedelai. Walaupun perubahan harga dasar tersebut menggambarkan perubahan perhatian pemerintah terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai (Siregar 2000).
Hasil penelitian oleh Zakiah (2011) menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai impor dengan korelasi positif. Artinya, ketika harga impor meningkat, maka harga kedelai nasional juga
(31)
akan meningkat. Sedangkan variabel jumlah produksi kedelai dan jumlah kedelai impor berkorelasi negatif. Ini menunjukkan harga kedelai di tingkat petani akan menurun jika jumlah kedelai impor meningkat. Karena itu perlu adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor kedelai dari luar negeri. Impor akan menurunkan harga kedelai di tingkat petani, dan ini menyebabkan gairah petani untuk menanam kedelai menurun disebabkan petani tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya.
Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun 1980 BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selam 3 tahun (1979-1983) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Sementara itu stok kedelai meningkat terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto 1989), tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik, karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal.
Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan
producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga
kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga tingkat produsen, sehingga penghapusan tarif tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen.
Kebijakan perdagangan internasional lainnya adalah pengenaan tarif ad-valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 – 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 – 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 – 2012 (Siregar 2000 dan Dirjen Pajak 2012).
Review kebijakan perkedelaian nasional yang telah diuraikan secara mendasar memuat misi bahwa disatu sisi sektor pertanian harus mampu menyediakan kebutuhan konsumsi langsungbagi masyarakat dengan cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, sektor pertanian harus dapat menjadi pendorong berkembangnya berbagai kegiatan, baik pada sektor hulu maupun hilir, pada setiap pembangunan wilayah pertanian. Dalam operasionalnya, kebijakan kedelai yang mendukung program pembangunan pertanian diantaranya adalah kebijakan ekonomi terbuka atau perdagangan internasional, yang mencakup kebijakan harga dan perdagangan, dalam hal ini yaitu kebijakan tarif impor dan quota impor. Dengan adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan perkedelaian ini, maka produksi kedelai nasional akan dapat memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga tidak diperlukan impor kedelai, maka pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada kedelai nasional tercapai.
(1)
SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
LATKN 50 0.0226 0.20 0.00 0.11 0.88 0.19 0.81 1.0402 0.6706 PRKN 50 0.00138 0.41 0.03 0.01 0.97 0.32 0.66 0.8547 0.5050 KKN 50 0.0276 0.53 0.00 0.00 1.00 0.37 0.63 0.8174 0.5242 HKN 50 8.5316 0.01 0.00 0.99 0.01 0.82 0.17 10.0229 0.9126
HKI 50 . . . . .
KIK 50 . . . . .
PKN 50 0.0234 0.21 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 1.0182 0.6474 SKN 50 0.0744 0.54 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.8788 0.4721 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Pertama, Jika LATKN Naik 7 Persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 8.822E‐9 Maximum Iterations 3
Total Iterations 103
Average Iterations 2.019608 Observations Processed Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 886.3 309.3 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0180 0.2544 KKN 51 51 1309.8 765.8 1359.1 766.3 HKN 51 51 1154.7 2266.9 1103.8 2206.7 HKI 51 51 235.6 167.8 234.4 156.5 KIK 51 51 644.2 815.6 632.4 698.5 PKN 51 51 855.9 417.1 918.3 432.0 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1659.0 965.8 Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 54.0151 8.1007 101.6 13.2273 132.9 17.7099 0.8131 PRKN 51 0.0104 0.9697 0.0262 2.7540 0.0349 3.8259 0.9793 KKN 51 49.3089 7.4050 162.6 14.0251 216.2 16.3953 0.9187
(2)
HKN 51 ‐50.8998 ‐53.8822 327.4 200.2 614.8 297.4 0.9250 HKI 51 ‐1.2578 . 43.6233 . 67.4927 . 0.8350 KIK 51 ‐11.8190 . 258.8 . 413.9 . 0.7373 PKN 51 62.4012 9.0587 110.6 13.8701 147.1 18.1879 0.8732 SKN 51 50.5823 5.9361 272.3 19.8989 432.5 24.3073 0.8280
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728 PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167 KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704 HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237 HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186 KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101 PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749 SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0271 0.20 0.14 0.12 0.74 0.13 0.73 1.1376 0.6432 PRKN 50 0.00140 0.41 0.04 0.00 0.95 0.32 0.64 0.8585 0.4989 KKN 50 0.0311 0.51 0.08 0.00 0.91 0.27 0.65 0.8667 0.4990 HKN 50 9.1650 0.03 0.02 0.97 0.01 0.81 0.16 10.3883 0.9179
HKI 50 . . . . .
KIK 50 . . . . .
PKN 50 0.0292 0.21 0.18 0.11 0.72 0.13 0.69 1.1373 0.6074 SKN 50 0.0761 0.54 0.02 0.13 0.86 0.02 0.96 0.8891 0.4661 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Kedua, Jika HKI Naik 105 Persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0. The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.256E‐9 Maximum Iterations 3
Total Iterations 104
Average Iterations 2.039216 Observations Processed Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
(3)
Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 881.2 296.7 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0178 0.2551 KKN 51 51 1309.8 765.8 1250.4 728.6
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1881.7 2619.7 HKI 51 51 235.6 167.8 501.2 333.8 KIK 51 51 644.2 815.6 812.9 802.3 PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 426.2 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1839.7 1096.3 Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 48.9340 7.9227 101.5 13.2893 133.2 18.0944 0.8122 PRKN 51 0.0102 0.9382 0.0264 2.7672 0.0352 3.8297 0.9790 KKN 51 ‐59.4132 ‐2.2079 147.1 11.4059 224.8 14.5362 0.9121 HKN 51 727.0 321.5 866.3 428.5 1116.6 618.2 0.7525 HKI 51 265.5 . 265.5 . 327.0 . ‐2.874 KIK 51 168.6 . 341.3 . 468.9 . 0.6628 PKN 51 62.6002 8.8866 112.6 13.7660 152.8 18.9077 0.8631 SKN 51 231.2 16.7136 374.6 28.0461 525.0 34.5362 0.7465 Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733 PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169 KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760 HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949 HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680 KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161 PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779 SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0283 0.20 0.14 0.16 0.71 0.08 0.78 1.1632 0.6360 PRKN 50 0.00141 0.41 0.04 0.01 0.95 0.30 0.66 0.8619 0.5002 KKN 50 0.0348 0.40 0.07 0.01 0.92 0.27 0.65 0.9169 0.6188 HKN 50 44.3573 ‐0.12 0.29 0.71 0.00 0.64 0.07 22.8539 0.9518
HKI 50 . . . . .
KIK 50 . . . . .
PKN 50 0.0314 0.22 0.17 0.17 0.66 0.06 0.78 1.1800 0.6014 SKN 50 0.1247 0.50 0.19 0.26 0.55 0.01 0.80 1.1378 0.4961 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
Simulasi Kebijakan Ketiga, Jika HKN Naik 64 Persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variabels 8Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at NEWTON iteration 0.
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULTAN Solution Summary
(4)
Variabels Solved 8 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 6.114E‐9 Maximum Iterations 3
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Total Iterations 110 Average Iterations 2.156863 Observations Processed Read 52 Solved 51 Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN The SAS System
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LATKN 51 51 832.3 310.4 874.0 277.3 PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0176 0.2560 KKN 51 51 1309.8 765.8 1230.4 678.4 HKN 51 51 1154.7 2266.9 1776.4 3402.5 HKI 51 51 235.6 167.8 243.1 169.8 KIK 51 51 644.2 815.6 781.3 951.4 PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 424.9 SKN 51 51 1608.4 1053.1 1808.1 1256.9 Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LATKN 51 41.7755 8.0794 110.6 14.7437 150.5 21.1769 0.7602 PRKN 51 0.0100 0.8990 0.0267 2.7905 0.0357 3.8538 0.9783 KKN 51 ‐79.4568 ‐0.9755 178.4 13.5130 270.1 16.5910 0.8731 HKN 51 621.8 18.1398 831.6 315.5 1492.2 445.8 0.5580 HKI 51 7.4868 . 43.9211 . 71.6585 . 0.8140 KIK 51 137.1 . 331.2 . 506.8 . 0.6061 PKN 51 62.5706 9.0908 128.1 15.2265 189.6 22.5598 0.7892 SKN 51 199.7 9.8049 375.4 26.1454 611.4 32.2442 0.6561 Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835 PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171 KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927 HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356 HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227 KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246 PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967 SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATKN 50 0.0399 0.11 0.10 0.38 0.52 0.00 0.90 1.3817 0.6607 PRKN 50 0.00143 0.39 0.04 0.02 0.95 0.27 0.69 0.8692 0.5026 KKN 50 0.0406 0.31 0.04 0.12 0.85 0.11 0.86 0.9911 0.6027 HKN 50 21.0478 0.01 0.01 0.99 0.00 0.88 0.11 15.7428 0.9383 HKI 50 . . . . . KIK 50 . . . . . PKN 50 0.0468 0.14 0.12 0.42 0.46 0.00 0.88 1.4405 0.6370 SKN 50 0.0948 0.57 0.07 0.28 0.65 0.01 0.92 0.9922 0.4537 NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Maret tahun 1982. Penulis
merupakan anak pertama dari Bapak H. Armadi Chaniago dan Ibu Hj. Maisaroh.
Penulis menikah pada November tahun 2010 dengan Ya’ Thohir dan memiliki
dua orang anak lelaki, Ya’ Muhammad Riztho Rizaldi yang lahir tanggal 29
Agustus 2011, dan Ya’ Ibrahim Ditho Al-Fathir yang lahir pada tanggal 29 Maret
2013.
Penulis menyelesaikan studi di IPB sejak tahun 2000 – 2003 di jurusan
Budidaya Hutan Tanaman, Fakultas Kehutanan, kemudian tahun 2003 – 2006 di
jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan tahun 2010 –
2014 di jurusan Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen.
Penulis memiliki pengalaman bekerja tahun 2006 di bidang telekomunikasi PT.
TELKOM yang bertempat di Bogor, kemudian pada tahun 3007 di bidang
percetakan, Majalah Franchaise Indonesia, Jakarta, selanjutnya di bidang geodesi,
tahun 2007 – 2008 di PT. Eksamap Asia, Jakarta. Saat ini, penulis bekerja sebagai
peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, tahun 2008 – sekarang.
Tesis penelitian ini juga dijadikan artikel ilmiah untuk di beberapa jurnal
dengan 3 judul yang berbeda. Pertama, telah diterima untuk dipublikasikan di
Jurnal Agribisnis Indonesia, Departemen Agribisnis, IPB, Bogor, pada edisi Juni
2014. Kedua, diterima di Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, pada edisi
Desember 2014. Ketiga, masih dalam proses review kedua untuk kemudian
diterima di Journal of Agriculture Resources Economy and Environment
(JAREE), Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor, pada edisi
tahun 2014.
(6)