Struktur Ekonomi Provinsi Wilayah Pembangunan

98 Selain perkembangan harga BBM, Gambar 12 juga memperlihatkan bagaimana perkembangan Gaji PNS untuk golongan terendah. Dalam kurun waktu 10 tahun, pemerintah sempat 6 kali menaikkan gaji PNS, yaitu tahun 2001, 2003 dan tahun 2006 – 2009. Terkait kenaikan kenaikan gaji PNS yang cukup tinggi tersebut pada tahun 2001, agaknya selain kenaikan BBM, kebijakan penyesuaian gaji PNS juga turut berperan dalam memicu tingkat inflasi yang cukup tinggi pada tahun 2001. Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi pada tahun 2008 ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi, mengingat disamping dilakukan penyesuaian harga BBM juga terjadi kenaikan gaji PNS. Nampaknya, kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan administered prices dan melakukan penyesuaian upah minimun untuk pegawai pemerintah PNS ini merupakan penyebab terjadinya inflasi yang terus-menerus di Indonesia selama tahun 2000 – 2009. Meski kedua kebijakan pemerintah tersebut bekerja melalui mekanisme transmisi yang berbeda, dimana administered prices melalui sisi penawaran sementara gaji PNS melalui sisi permintaan, namun hasil akhirnya sama, akan memicu terjadinya inflasi. Akibat penyesuaian gaji PNS secara terus- menerus selama tahun 2006 – 2009, diduga akan membuat inflasi kian persisten mengingat inflasi akan lebih disebabkan oleh tarikan permintaan dibanding akibat dorongan biaya produksi.

4.5 Struktur Ekonomi Provinsi

Pembahasan mengenai struktur ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan ketika mengulas masalah inflasi karena kondisi ekonomi turut berperan dalam pembentukan harga pada suatu wilayah. Adanya perbedaan struktur ekonomi antar wilayah menyebabkan terjadinya kondisi saling ketergantungan antar pelaku ekonomi antar wilayah, baik yang bertindak sebagai produsen maupun sebagai konsumen dalam arti yang lebih luas. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, keterkaitan antar provinsi tersebut diperlihatkan oleh keterkaitan inflasi dengan hubungan yang kuat pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Ulasan berikut merupakan uraian sepintas mengenai kondisi ekonomi pada setiap provinsi yang secara umum akan menyiratkan kondisi keterkaitan antar provinsi. 99 Sumber : BPS diolah Gambar 13. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2000 – 2009 Pertanian Pertambangan Industri Bangunan Perdagangan Angkutan Bank Jasa NAD 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMUT 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMBAR 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 RIAU 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JAMBI 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMSEL 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 BENGKULU 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 LAMPUNG 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 DKI 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JABAR 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 BALI 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JATENG 20 40 60 80 100 1 9 9 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 DIY 20 40 60 80 100 1 9 9 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 JATIM 20 40 60 80 100 1 9 9 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 KALBAR 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALTENG 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALSEL 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALTIM 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULUT 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULTENG 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULSEL 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULTRA 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 NTB 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 NTT 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 MALUKU 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 PAPUA 20 40 60 80 100 2 2 2 2 4 2 6 2 8 100 Sebagaimana disajikan dalam Gambar 13, dapat dilihat sektor-sektor dominan pada setiap provinsi, yaitu sektor dengan andil tidak kurang dari 10 terhadap total PDRB masing-masing provinsi. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa sektor pertanian arsiran berwarna hijau masih merupakan sektor dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Sektor lainnya yang juga termasuk sektor dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk provinsi Riau, Kalimantan Timur dan Papua adalah sektor perdagangan, jasa restoran dan jasa akomodasi arsiran berwarna biru. Selain dua sektor yang telah disebutkan, sektor industri pengolahan arsiran berwarna kuning juga termasuk sektor dominan pada lebih dari separuh provinsi di Indonesia. Dirinci menurut pulau, untuk pulau-pulau di luar Jawa, utamanya masih mengandalkan sektor ekonomi primer, yaitu pertanian dan pertambangan, kecuali Provinsi Bali dan Sulawesi Utara telah bertumpu pada sektor tersier, yaitu sektor jasa-jasa. Meski demikian, pada beberapa provinsi sektor sekunder seperti industri pengolahan sudah mulai berkembang. Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau Jawa karena telah mengandalkan sektor tersier dengan dukungan sektor sekunder seperti sektor industri pengolahan. Akibat perbedaan jenis sektor unggulan ini secara tidak langsung menyebabkan perbedaan struktur ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, terlebih lagi jika kemudian dilihat skala ekonomi dari setiap sektor unggulan akan memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Masih dirinci menurut pulau, bila kemudian dibagi menjadi wilayah, yaitu Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI, dapat dilihat bahwa untuk KBI umumnya sektor industri pengolahan merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, sementara pada KTI sektor tersebut tidak menjadi sektor dominan pada seluruh provinsi, karena masih cenderung mengandalkan sektor primer seperti telah disampaikan sebelumnya. Perbedaan yang cukup nyata ini tidak hanya menyiratkan adanya perbedaan struktur ekonomi namun juga perbedaan tahapan pembangunan ekonomi antara kedua kawasan tersebut. Setidaknya untuk KBI, hampir seluruh provinsi sudah mulai memasuki tahapan industrialisasi, sementara pada KTI umumnya masih cenderung berada pada kondisi perekonomian tradisional. 101 Tabel 8. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Jawa dan luar Jawa Wilayah Sektor J a w a Luar Jawa Input Antara Konsumsi Akhir T o t a l Input Antara Konsumsi Akhir T o t a l Jawa Primer 78,38 80,18 78,99 1,80 7,20 2,91 Sekunder 93,43 93,44 93,44 27,92 27,74 27,82 Tersier 98,22 98,06 98,14 6,85 7,70 7,35 Total 92,91 94,28 93,58 13,63 17,79 15,61 Luar Jawa Primer 21,62 19,82 21,01 98,20 92,80 97,09 Sekunder 6,57 6,56 6,56 72,08 72,26 72,18 Tersier 1,78 1,94 1,86 93,15 92,30 92,65 Total 7,09 5,72 6,42 86,37 82,21 84,39 Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS diolah Keterkaitan perekonomian antara Jawa dan luar Jawa dapat dilihat pada Tabel 8 yang menunjukkan bagaimanan penggunaan komoditi domestik yang digunakan sebagai input antara atau bahan baku dan bahan penolong atau digunakan untuk konsumsi akhir menurut asal wilayah dalam satuan moneter. Untuk Pulau Jawa, total nilai komoditi domestik yang berasal dari daerah sendiri mencapai 93,58, sedang sisanya dari luar Jawa sebesar 6,42. Sebaliknya, total nilai komoditi yang berasal dari Jawa yang digunakan di luar Jawa mencapai 15,61, sementara penggunaan komoditi yang berasal dari wilayah sendiri sebesar 84,39. Berdasarkan proporsi penggunaan komoditi domestik menurut asal wilayah tersebut dapat dilihat keterkaitan atau bahkan ketergantungan antara Jawa dengan luar Jawa. Dirinci lebih lanjut, ketergantungan perekonomian Jawa terhadap luar Jawa terlihat cukup tinggi untuk komoditi sektor primer, yaitu pertanian dan pertambangan yang total nilainya mencapai 21,01, baik digunakan sebagai input antara maupun untuk konsumsi akhir. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat dilihat tingkat ketergantungan perekonomian luar Jawa terhadap Jawa untuk komoditi sektor sekunder yang terdiri dari industri pengolahan; sektor konstruksi; dan sektor listrik, air dan gas yang mencapai 27,82. Kondisi ini tentunya sesuai dengan perbedaan struktur ekonomi seperti telah disinggung sebelumnya. 102 Tabel 9 Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI Wilayah Sektor K B I K T I Input Antara Konsumsi Akhir T o t a l Input Antara Konsumsi Akhir T o t a l K B I Primer 95,35 56,27 85,30 1,32 1,18 1,28 Sekunder 99,33 74,65 86,95 53,73 26,43 37,44 Tersier 99,65 71,05 84,09 7,14 6,01 6,42 Total 98,59 71,80 85,72 24,30 15,36 19,35 K T I Primer 4,65 43,73 14,70 98,68 98,82 98,72 Sekunder 0,67 25,35 13,05 46,27 73,57 62,56 Tersier 0,35 28,95 15,91 92,86 93,99 93,58 Total 1,41 28,20 14,28 75,70 84,64 80,65 Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS diolah Berdasarkan pengelompokan kawasan, ketergantungan perekonomian KBI terhadap KTI mencapai 14,28, yaitu besarnya total nilai komoditi dari KTI yang digunakan oleh KBI. Sebaliknya kebutuhan akan komoditi yang berasal dari KBI untuk digunakan oleh KTI total nilainya mencapai 19,35. Dirinci menurut sektor dan tujuan penggunaan, nilai komoditi sektor primer untuk konsumsi akhir yang digunakan oleh KBI dan berasal dari KTI mencapai 43,73, sementara untuk kebutuhan produksi di KTI, 46,27 dari nilai input antaranya berasal dari KBI. Pola keterkaitan yang mencerminkan ketergantungan antar kawasan ini merupakan konsekuensi dari perbedaan struktur ekonomi dari masing-masing kawasan. Seperti telah diulas sebelumnya, KBI cenderung berada pada tahapan industrialiasi sementara KTI menunjukkan kondisi yang mewakili perekonomian tradional karena masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor dominan yang menggerakan pertumbuhan. Secara signifikan, perbedaan tersebut diperlihatkan oleh pola penggunaan komoditi dari masing-masing kawasan.

V. PEMBAHASAN HASIL