Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur

130 domestik terhadap perekonomian global seakan tidak dapat dielakkan lagi, karena wacana penghapusan hambatan biaya masuk yang menjadi benteng terakhir dalam memroteksi masuknya barang impor perlahan-lahan harus dilaksanakan. Tingginya derajat pass through ini tentunya erat kaitannya dengan besarnya penggunaan barang-barang impor, terutama kategori bahan baku atau bahan penolong untuk kegiatan produksi domestik, mengingat lebih dari 70 pangsa impor Indonesia merupakan kategori barang tersebut Gambar 15. Disamping itu, dapat dilihat pula tingkat ketergantungan impor untuk kategori barang modal terlihat cukup tinggi, yaitu tidak kurang dari 13 dalam kurun tahun 2000 – 2009. Tingginya prosentase impor untuk kategori bahan baku atau bahan penolong dan impor kategori barang modal menyebabkan perubahan harga barang impor akan ditransmisi semakin jauh ke dalam perekonomian domestik sehingga dampaknya akan semakin besar terhadap inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, permasalahan tingginya ERPT kembali pada struktur perekonomian domestik yang kemudian berujung dengan masalah daya saing dari produk domestik terhadap produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas dari produknya. Selain itu, perlu juga melakukan strategi pengurangan impor seperti melalui substitusi bahan baku, himbauan penggunaan produk domestik dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produksi dalam negeri untuk lebih menguatkan fondasi ekonomi domestik.

5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur

Seperti pada pembahasan sebelumnya, untuk melihat respon inflasi terhadap perubahan kondisi infrastruktur digunakan dua metode, yaitu data panel dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis dengan formulasi yang sedikit berbeda, yaitu dimasukkannya interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP pada metode FD-GMM, sementara pada metode SAB, dampak penyesuaian UMP dilihat secara langsung dan hal tersebut sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Merujuk pada Tabel 12, pengaruh dari perubahan kondisi infrastruktur yang diinteraksikan dengan penyesuaian UMP memberi pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap volatilitas inflasi. Pengaruh yang tidak signifikan ini dari 131 penyesuaian upah minimum ini terhadap inflasi ini konsisten dengan pembahasan sebelumnya yang melihat dampaknya secara langsung terhadap inflasi dan hasil pengujian kausalitas granger. Meski hasil keduanya tidak signifikan, namun menariknya, pada kondisi ceteris paribus, dampak dari laju penyesuaian UMP secara simultan dengan laju perubahan kondisi infrastruktur adalah positif terhadap inflasi, berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan, tanpa adanya perubahan kondisi infrastruktur, pengaruh penyesuaian UMP adalah negatif terhadap inflasi. Temuan menarik ini secara tidak langsung menguatkan Oosterhaven and Elhorst 2003 yang menyatakan bahwa untuk melihat dampak infrastruktur terhadap variabel makro ekonomi harus ditelusuri lebih lanjut bagaimana respon dari pasar tenaga kerja atas perubahannya, misalnya dari sisi penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran atau dari sisi penyesuaian upah, sehingga dampak bauran dari keduanya tidak mudah untuk diprediksi. Selain dilihat respon dari sisi pasar tenaga kerja, perubahan kondisi infrastruktur juga perlu dilihat responnya dari sisi jalur perdagangan. Hasil estimasi antara interaksi dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi memperlihatkan pengaruh yang negatif terhadap inflasi terhadap volatilitas inflasi, baik berdasarkan estimasi dengan metode FD-GMM maupun dengan metode SAB. Pengaruh yang negatif ini sesuai dengan teori pertumbuhan regional yang menyatakan perbaikan infrastruktur akan berpengaruh pada penurunan biaya transpor dan teori standar perdagangan internasional yang menyatakan makin tinggi derajat keterbukaan berarti semakin tinggi pula volume dari ekspor dan impor dari suatu daerah dan untuk itu barang-barang ekspor maupun impor harus dapat bersaing, salah satunya dari sisi harga sehingga akan memicu penurunan harga. Perbedaan yang ditemui adalah signifikannya pengaruh dari interaksi tersebut taraf 10 berdasarkan hasil estimasi metode FD-GMM, sebaliknya dengan metode SAB menyatakan hal sebaliknya. Secara pemodelan, dapat dilihat jika hasil estimasi dari FD-GMM relatif lebih sensitif terhadap shock dari luar negeri dibanding hasil yang diperoleh metode SAB. Hal ini bisa dilihat dari koefisien dari derajat pass through dan penyesuaian harga BBM dari FD-GMM yang besarnya hampir dua kali lipat dari hasil estimasi SAB atau tingkat 132 signifikansi dari variabel-variabel yang terkait dengan shock dari luar seperti nilai tukar, harga BBM dan trade openness. Kurang sensitifnya hasil pendugaan dari metode SAB disebabkan oleh besarnya porsi penimbang dan instrumen yang merepresentasikan transaksi pada pasar domestik guna menangkap spillover secara spasial. Berdasarkan hasil tersebut, estimasi dari setiap metode memiliki kelebihan maupun kekurangan masing-masing untuk menjelaskan dinamika inflasi di Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi dari FD-GMM, maka kata kunci untuk meredam atau menurunkan volatilitas inflasi di Indonesia adalah peningkatan kondisi infrastruktur yang harus dibarengi dengan peningkatan daya saing lokal. Melalui peningkatan daya saing misalnya, maka ekspor neto akan terus meningkat dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar, sehingga secara tidak langsung akan menurunkan exchange rate pass through ERPT. Sementara dengan peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transportasi terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah disamping juga akan berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah. Dilihat dari koefisien interaksi antara keduanya terhadap inflasi, jika secara simultan laju dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat perdagangan terjadi sebesar 1, maka dapat menurunkan volatilitas inflasi sebesar 0,11. Secara pemodelan, interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terbilang baru baik dalam kajian pada level nasional maupun pada tataran regional ASEAN. Hasil ini merupakan temuan signifikan dalam penelitian ini, meskipun banyak kalangan telah menyatakan hal yang sama namun tidak disertai oleh bukti empiris sebagaimana penelitian ini. Temuan ini tentunya menjadi salah satu novelti dari penelitian ini dan diharapkan dapat melengkapi kekurangan atau kesenjangan pembahasan yang terjadi pada kajian-kajian sebelumnya khususnya terkait dengan bahasan mengenai dinamika inflasi Indonesia. 133

5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur