Inflasi Regional TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi

moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena pada kenyataannya kebanyakan badanbiro statistik di seluruh negara berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya Roger, 1998.

2.2 Inflasi Regional

Teori lokasi location theory menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi biaya cost minimization theories. Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi, baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori maksimisasi keuntungan profit maximization theories yang berusaha menjawab masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik pasar tertentu saja Cappelo, 2007. Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum. Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu negara. Studi empiris dari Marques et al. 2009 menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km, sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya. Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk wilayahnya. Selanjutnya, Andrés et al. 2007 melakukan penelitian mengenai inflasi untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara. Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barang- barang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil. Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada kebanyakan provinsi menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah ekspektasi inflasi backward looking dan nilai tukar, sementara pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi regional.

2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian