dari kebijakan moneter ekspansioner yang menyebabkan kurva LM bergeser ke kanan sehingga menyebabkan suku bunga mengalami penurunan. Akibat
penurunan suku bunga tersebut, investasi meningkat dan output juga mengalami peningkatan Gambar 5 panel b atas. Mekanisme selanjutnya sama seperti pada
saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner, kurva AD bergeser ke kanan dan menyebabkan kenaikan harga secara agregat Gambar 5 panel b bawah.
2.4.2 Penawaran Agregat
Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation PS dan wage setting relation
WS, dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai input dalam kegiatan produksi dan markup, sementara upah dipengaruhi oleh
ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran Blanchard, 2004. PS
: P = 1 + W
.............................................. 2.11 WS : W = P
e
F u, z
.............................................. 2.12 dengan : P = tingkat harga
P
e
= ekspektasi harga W
= upah nominal = markup
u = tingkat pengangguran
z = variabel lainnya
Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal W, persamaan 2.11 kemudian dapat dimasukkan ke persamaan 2.12, sehingga akan diperoleh
persamaan untuk penawaran agregat. P = P
e
1 + Fu, z
.............................................. 2.13 Jika tingkat pengangguran u kemudian digantikan dengan dengan output Y per
angkatan kerja L, sehingga ; maka persamaan 2.13 dapat dituliskan
dalam bentuk :
z L
Y 1
F u
1 P
P
e
,
.............................................. 2.14 Berdasarkan persamaan 2.14, secara eksplisit dapat dilihat, beberapa
variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan
memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Selain upah
nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara
L Y
1 u
langsung, artinya, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik. Dalam kerangka analisis permintaan dan penawaran agregat kurva AD – AS,
dampak dari kenaikan upah diperlihatkan oleh Gambar 5 panel b.
2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi
Penentuan upah minimum adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar tenaga kerja mengingat pasar tersebut cenderung
mengarah dari pasar oligopsonis ke pasar monopsonis. Tujuan kebijakan ini adalah sebagai jejaring pengaman safety net agar tingkat upah tidak merosot
akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Menilik dari sisi perusahaan, upah minimum diharapkan akan meningkatkan
produktivitas pekerja, sedangkan dari sisi pekerja sendiri, kebijakan tersebut idealnya dapat meningkatkan daya beli pekerja sehingga dapat meningkatkan taraf
hidup pekerja dan keluarganya, sementara dari sisi pemerintah, instrumen tersebut merupakan salah satu program tidak langsung dalam upaya untuk mengentaskan
kemiskinan melalui redistribusi pendapatan. Bila terjadi kenaikan upah minimum, perusahaan sesungguhnya memiliki
tiga alternatif untuk meresponnya, yaitu mengurangi jumlah pekerja, mengurangi keuntungan perusahaan atau menaikkan harga produk. Umumnya, pendekatan
teori ekonomi meramalkan bahwa jika upah minimum mengalami peningkatan, perusahaan tidak akan mengurangi keuntungan. Hal ini karena perusahaan yang
memberikan standar gaji yang rendah biasanya adalah perusahaan yang terlalu kecil untuk dapat menyerap biaya ekstra yang ditimbulkan oleh kenaikan upah
minimum. Pada pasar persaingan sempurna dengan setiap pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker, teori ekonomi memprediksi bahwa perusahaan
akan mengurangi pekerjanya dalam merespon kenaikan upah minimum. Selain itu, diprediksi pula oleh teori ekonomi jika terjadi lonjakan biaya pada tingkat
industri yang cukup luas, maka kenaikan upah minimum tersebut akan direspon dengan menaikkan harga Lemos, 2004b.
Terkait dengan bagaimana upah minimum dapat memengaruhi harga dan inflasi, Sellekaerts 1981, dalam Lemos, 2004b menjelaskan bagaimana
mekanisme transmisi tersebut. Pertama, adanya dampak langsung dari perubahan upah minimum. Kedua, ada dampak spillover tak langsung dari penetapan upah
minimum yang baru. Ketiga, perusahaan menaikkan harga sebagai responnya atas biaya pekerja yang lebih tinggi. Keempat, perusahaan melakukan penyesuaian
level kegiatan produksi dan melakukan penilaian atas besarnya input dan output terkait dengan minimisasi biaya dengan kendala ekspektasi permintaan. Kelima,
menghasilkan kombinasi jumlah tenaga kerja dan tingkat upah yang baru untuk memproduksi keseimbangan baru pada tingkat pendapatan, permintaan agregat
dan setelah beberapa waktu keseimbangan baru pada tingkat produksi. Keenam, inflasi dan tingkat pengangguran menjadi konsisten dengan keseimbangan baru
yang mungkin pada waktunya kembali akan memengaruhi upah dan harga. Merujuk pada transmisi dari Sellekaerts 1981, dalam Lemos, 2004b,
respon dari perusahaan ditekankan pada bagaimana kemudian upah minimum memengaruhi pasar tenaga kerja sehingga menghasilkan tingkat upah dan tingkat
penyerapan tenaga kerja pada level keseimbangan yang baru. Hasil keseimbangan baru tersebut kemudian akan memengaruhi penawaran dan permintaan agregat,
yang selanjutnya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Berdasarkan penekanan pada keseimbangan di pasar tenaga kerja tersebut, Lemos 2004a
memberikan beberapa alternatif jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari pendekatan teori ekonomi, yaitu 1
melalui permintaan atas tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi, 2 melalui penawaran tenaga kerja, dengan peningkatan
produktivitas tenaga kerja sehingga mendorong harga menjadi lebih rendah; atau dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang kemudian akan mendorong
upah atau harga menjadi lebih rendah, 3 melalui penawaran agregat, sehingga terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan output, kemudian mendorong upah dan
harga menjadi lebih tinggi, 4 melalui permintaan agregat, dengan peningkatan pengeluaran agregat sehingga mendorong harga menjadi lebih tinggi; atau dengan
penurunan permintaan untuk produk-produk pada perusahaan dengan tipe labour-intensive
yang menerapkan upah minimum, sehingga mendorong harga menjadi turun.
Pada kasus negara Indonesia, adanya sektor pekerjaan formal dan informal menjadikan dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja menarik untuk
diteliti. Di samping itu, pada sektor formal upah minimum tersebut bisa dilihat
pada sektor swasta dan sektor pemerintah. Besarnya upah minimum pada sektor swasta terbagi menjadi upah minimum provinsi UMP dan upah minimum
kabupatenkota UMK, sementara pada sektor formal, besarnya upah minimum adalah besarnya gaji pegawai pemerintah PNSTNIPOLRI dengan golongan
terendah. Dalam 15 tahun terakhir, penetapan upah minimum pada sektor swasta dilakukan secara kontinu, setiap setahun sekali melalui proses negosiasi antara
serikat pekerja dan asosiasi perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Berbeda dengan sektor swasta, pada sektor pemerintah, penyesuaian gaji PNSTNIPOLRI
secara kontinu baru dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk menjaga agar daya beli dari pegawai pemerintah tersebut tidak tergerus oleh inflasi dan
yang terpenting adalah untuk meningkatkan produktivitas dari pegawai. Terkait dengan fenomena upah minimum tersebut, khususnya pada sektor
swasta, penelitian Camola dan de Melo 2010 mengenai dampak desentralisasi penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja menyatakan
1 pada sektor formal, upah minimum memberi pengaruh negatif atas penyerapan tenaga kerja di sektor formal, khususnya pada perusahaan domestik, tetapi tidak
memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada perusahaan multi nasional yang beroperasi di Indonesia, 2 pada sektor informal, upah minimum memberi
efek positif karena pengurangan tenaga kerja di sektor formal menambah tenaga kerja di sektor informal. Berdasarkan hasil penelitian Camola dan de Melo 2010
dan beberapa jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari Lemos 2004a, maka untuk kasus Indonesia, diduga
upah minimum pada sektor swasta akan memengaruhi harga melalui permintaan tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi.
Ilustrasi dari kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 6 untuk panel a, yaitu ketika terjadi kenaikan upah minimum di sektor swasta, maka akan mendorong kenaikan
upah secara keseluruhan sehingga upah nominal menjadi naik, demikian pula dengan upah riil. Kenaikan upah nominal tersebut kemudian akan menyebabkan
kenaikan harga, dan selanjutnya karena upah riil juga ikut naik, maka perusahaan meresponnya dengan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerjanya sehingga
secara agregat terjadi pengurangan tenaga kerja. Akibat dari pengurangan tenaga kerja tersebut akan terjadi penurunan output yang dibarengi oleh kenaikan harga.
Berbeda dengan sektor swasta, mekanisme transmisi penyesuaian upah minimum terhadap harga pada sektor pemerintah tidak melalui analisis pasar
tenaga kerja seperti diilustrasikan oleh Gambar 6. Kenaikan upah minimum yang berupa kenaikan gaji PNSTNIPOLRI pada golongan terendah dengan masa kerja
nol tahun selalu diikuti kenaikan gaji pegawai pemerintah pada golongan berikutnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan belanja pemerintah secara
keseluruhan. Akibat kenaikan total belanja pemerintah tersebut, output akan ikut meningkat, namun kenaikan output tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga
alias akan menyebabkan inflasi Gambar 5. panel a. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka mekanisme transmisi kenaikan upah minimum terhadap harga dan
inflasi pada sektor pemerintah cenderung mengikuti jalur permintaan agregat sebagaimana dinyatakan oleh Lemos 2004a.
2.4.4 Administred Prices dan Inflasi