Dinamika Inflasi Regional GAMBARAN UMUM

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Dinamika Inflasi Regional

Sepanjang tahun 2000 – 2009, terlihat tingkat inflasi Indonesia pada tingkat nasional selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 terjadi pada tahun 2009 saat harga BBM diturunkan oleh pemerintah dan tertinggi, yaitu mencapai 17,11 ketika dilakukan penyesuaian harga BBM tahun 2005 Gambar 1.1. Tidak berbeda dengan kondisi inflasi tingkat nasional, pada tataran provinsi juga terjadi inflasi yang selalu bernilai positif dalam kurun waktu yang sama di seluruh provinsi Indonesia. Selama periode tahun 2000 – 2009, tercatat inflasi tertinggi terjadi di NAD, yaitu sebesar 41,12 pada tahun 2005 dan terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003 dengan inflasi sebesar 0,69 Gambar 8. Khusus untuk NAD, demikian tingginya inflasi di provinsi ini dibanding provinsi lainnya pada tahun 2005 terkait erat dengan kondisi pasca bencana tsunami yang menyebabkan rusaknya sebagian infrastruktur di provinsi tersebut, ditambah dengan adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi yang naik melebihi 80. Secara umum, jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi untuk setiap provinsi sebagaimana ditunjukkan oleh garis berwarna merah pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di Indonesia melebihi rata-rata inflasi tahun 2000–2009. Selain kedua tahun tersebut, inflasi pada tahun 2001 juga hampir menyebabkan tingkat inflasi di hampir semua provinsi lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali untuk provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi yang hampir menyerupai tahun 2001 adalah inflasi tahun 2002, dapat dilihat, kecuali lima provinsi, yaitu NAD, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB, tingkat inflasi pada setiap provinsi melebihi rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009. Lebih lanjut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari tingkat rata-ratanya juga terjadi setidaknya di lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000. Visualisasi dari kondisi inflasi di setiap provinsi untuk tahun 2000 – 2009 secara rinci dapat dilihat pada Gambar 8. 84 Inflasi Rata-rata Inflasi KALBAR 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALTENG 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALSEL 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 KALTIM 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULUT 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULTENG 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULSEL 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SULTRA 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 NTB 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 NTT 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 MALUKU 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 PAPUA 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 NAD 5 10 15 20 25 30 35 40 45 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMUT 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMBAR 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 RIAU 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JAMBI 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 SUMSEL 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 BENGKULU 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 LAMPUNG 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 DKI 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JABAR 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JATENG 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 DIY 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 BALI 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 JATIM 5 10 15 20 25 30 2 2 2 2 4 2 6 2 8 Sumber : BPS diolah Gambar 8. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009. 85 Terkait dengan kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi inflation targeting framework ITF yang diterapkan oleh BI secara penuh sejak tahun 2005, maka dari masing-masing provinsi dapat dilihat bagaimana perilaku inflasi sebelum dan sesudah kebijakan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tersebut dilaksanakan, dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama tahun 2000 – 2009. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk melihat secara sekilas, sampai sejauh mana hasil penerapan kebijakan ITF di Indonesia, yaitu dengan melihat membandingkan jumlah tahun dengan tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009 untuk masing-masing periode tahun 2000 – 2004 dan periode tahun 2005 - 2009, di setiap provinsi sebagaimana diperlihatkan disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, lebih sedikit untuk periode setelah pelaksanaan kebijakan ITF dibanding sebelumnya terjadi di 11 provinsi, yaitu Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Sementara untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi sama untuk periode tahun 2005 – 2009 dibanding periode tahun 2000 – 2004, juga tercatat sebanyak 11 provinsi, terdiri dari Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT. Lebih lanjut, untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, tercatat lebih banyak dibandingkan periode sebelum diterapkannya kebijakan penargetan inflasi dialami oleh 4 provinsi, diantaranya NAD, DIY, Kalimantan Selatan dan NTB. Merujuk dari hasil pengamatan, kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan tingkat inflasi tersebut terlihat cukup efektif pada 11 provinsi, namun tidak memberikan manfaat di 4 provinsi karena tingkat inflasi setelah kebijakan ITF diterapkan tidak lebih baik dibanding kondisi sebelumnya, sedang pada 11 provinsi lainnya tidak berbeda. Berdasarkan ulasan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa dampak setelah diterapkannya kebijakan ITF di Indonesia belum cukup berhasil dibanding periode sebelumnya. 86 Tabel 6. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 Pulau Kelompok Pulau 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 I I. Kelompok Pulau 1. Jawa 9.27 12.69 10.78 5.58 6.45 16.23 6.72 6.35 11.09 2.36 2. Luar Jawa 9.23 12.80 10.62 4.78 6.65 18.28 7.44 7.88 12.61 3.19 a. Sumatra 9.13 13.32 10.78 4.85 6.86 23.33 7.64 7.53 12.82 2.85 b. Kalimantan 9.06 10.63 9.28 6.44 6.58 14.06 7.78 8.39 12.48 3.20 c. Sulawesi 10.11 14.14 11.87 3.03 6.46 17.93 7.94 7.92 12.58 3.57 d. Lainnya 8.85 12.69 10.45 4.84 6.54 14.63 6.49 8.00 12.42 3.39

II. Wilayah Pembangunan