Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi

128 hal tersebut terus terjadi, dimungkinkan pengaruh dari output gap terhadap inflasi menjadi signifikan mengingat pada kondisi tersebut akan terjadi kelebihan permintaan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan tambahan data beberapa periode ke depan dan disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut.

5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi

Depresiasi nilai tukar dapat menyebabkan terjadinya imported inflation karena nilai barang-barang impor menjadi lebih mahal dan mendorong terjadinya inflasi, baik secara langsung melalui konsumsi akhir maupun berasal dari barang domestik yang sebagian besar berbahan baku impor. Dalam beberapa kajian, dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi sering diistilahkan sebagai exchange rate pass through ERPT. Perhatian terhadap besarnya ERPT memicu banyak kajian untuk mengetahui seberapa jauh dampak fluktuasi nilai tukar terhadap volatilitas inflasi. Besarnya derajat ERPT bisa mengindikasikan seberapa besar tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian global. Semakin besar derajat pass through berarti semakin tinggi tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian luar negeri. Hasil estimasi pada Tabel 12 dan Tabel 13 menyatakan dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi adalah signifikan pada taraf nyata 1, dengan besarnya pengaruh 0,0568 berdasarkan estimasi metode SAB dan 0,1017 dari metode FD-GMM. Dibanding Tabel 13 penelitian sebelumnya dari Prasertnukul et al. 2010, dengan menggunakan data Januari 1990 – Juni 2007 dan Wimanda 2006 yang menggunakan data periode tahun 1999 – 2006, besarnya ERPT ini meningkat, namun masih lebih rendah dibanding penelitian dari Achsani dan Nababan 2008. Peningkatan pass through dibanding hasil penelitian Prasertnukul et al. 2010 dan Wimanda 2006, tentunya erat kaitannya dengan krisis finansial global yang dampaknya sempat dirasakan di Indonesia. Hal lain yang juga berkaitan erat dengan peningkatan ERPT adalah tekanan harga minyak dunia yang meningkat di tahun 2008 dan mencapai level tertinggi pada Juli 2008. Akibat kedua shock yang berasal dari perekonomian global tersebut, nilai tukar nominal terdepresiasi hingga sempat menyentuh level Rp. 12.000,-dolar AS dan merupakan level terendah pasca krisis ekonomi 1998. Sementara lebih rendahnya ERPT dari kedua metode yang digunakan pada 129 penelitian ini dibanding hasil dari Achsani dan Nababan 2008 karena pada penelitian tersebut memasukkan guncangan harga minyak dunia ke dalam estimasi, sedangkan pada penelitian ini, guncangan tersebut tidak langsung berpengaruh mengingat harga BBM merupakan administered prices yang merupakan kebijakan dari pemerintah pusat. Perbedaan proksi variabel dalam spesifikasi model yang digunakan dalam kajian Achsani dan Nababan 2008 dengan penelitian ini membuat keduanya cenderung tidak dapat dibandingkan, namun bukti mengenai tingginya derajat pass through dari kajian sebelumnya tersebut tentu tidak dapat dinafikan. 20 40 60 80 100 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Barang Konsumsi Bahan BakuPenolong Barang Modal Sumber : BPS Gambar 15. Perkembangan impor menurut penggunaan barang tahun 2000 – 2010 dalam CIF miliar US Fakta mengenai tingginya derajat pass through di Indonesia secara implisit menyiratkan bahwa perekonomian domestik kian terintegrasi dengan perekonomian global. Konsekuensinya adalah perekonomian domestik menjadi kian terbuka dan hal ini akan menyebabkan semakin rentannya perekonomian domestik terhadap shock yang berasal dari perubahan kondisi global apabila fondasi ekonomi domestik tidak dibangun secara baik. Di bawah area perjanjian pasar bebas yang ditandatangani Indonesia dengan beberapa negara mitra wicara dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya ketergantungan perekonomian 130 domestik terhadap perekonomian global seakan tidak dapat dielakkan lagi, karena wacana penghapusan hambatan biaya masuk yang menjadi benteng terakhir dalam memroteksi masuknya barang impor perlahan-lahan harus dilaksanakan. Tingginya derajat pass through ini tentunya erat kaitannya dengan besarnya penggunaan barang-barang impor, terutama kategori bahan baku atau bahan penolong untuk kegiatan produksi domestik, mengingat lebih dari 70 pangsa impor Indonesia merupakan kategori barang tersebut Gambar 15. Disamping itu, dapat dilihat pula tingkat ketergantungan impor untuk kategori barang modal terlihat cukup tinggi, yaitu tidak kurang dari 13 dalam kurun tahun 2000 – 2009. Tingginya prosentase impor untuk kategori bahan baku atau bahan penolong dan impor kategori barang modal menyebabkan perubahan harga barang impor akan ditransmisi semakin jauh ke dalam perekonomian domestik sehingga dampaknya akan semakin besar terhadap inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, permasalahan tingginya ERPT kembali pada struktur perekonomian domestik yang kemudian berujung dengan masalah daya saing dari produk domestik terhadap produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas dari produknya. Selain itu, perlu juga melakukan strategi pengurangan impor seperti melalui substitusi bahan baku, himbauan penggunaan produk domestik dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produksi dalam negeri untuk lebih menguatkan fondasi ekonomi domestik.

5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur