2.3.2 Ekspektasi Inflasi
Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak
langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi
inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi
tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya
mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009.
Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika
struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik, lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut
mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent 1993, dalam Orphanides and
Williams, 2003 menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus
memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur
ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku
ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses
mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi
Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003. Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari
Orphanides dan Williams 2003 karena pengetahuan yang tidak sempurna imperfect knowledge, maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi
ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille 2009 di Inggris secara
signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanya imperfect
knowledge , akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam
mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena
secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian
upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah wage setters harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika
inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini
akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi
lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan
menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir
adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal
tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang
diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya
bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan suku bunga nominal acuan.
Pertanyaan yang
kemudian muncul
adalah bagaimana
mengukur ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi
inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille 2009 mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi,
yaitu pendekatan berbasis survei survey-based measures, pendekatan berbasis
pasar market-based measures dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para
akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas
bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus
tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada
sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan, pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi
seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode
setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili
kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan, termasuk juga produktivitas dari pekerja.
Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran.
Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah
tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3
bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan
rencana pembelian barang-barang tahan lama durable goods. Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema
2004 tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan
rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang
yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceranritel. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh
administered prices , harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga,
harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi
inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak
langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common knowledge
, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk setidaknya untuk kasus negara Indonesia.
2.4 Pendekatan Kurva AD – AS