Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur

133

5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur

Pembahasan mengenai perbedaan inflasi antar wilayah sesungguhnya telah disampaikan pada bab sebelumnya, dilihat dari tinggi-rendahnya inflasi secara secara relatif antara wilayah Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Hanya saja, pada pembahasan tersebut belum ditelusuri lebih lanjut penyebab dari perbedaan inflasi antar wilayah. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab perbedaan tersebut adalah kondisi infrastruktur yang berbeda antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Oleh karenanya, pada pembahasan ini akan dilihat apakah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan yang kemudian menjadi penyebab terjadinya perbedaan inflasi antar wilayah. Hasil estimasi data panel dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel 15 menyimpulkan bahwa perbedaan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan untuk wilayah Jawa dan luar Jawa tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf 10 terhadap volatilitas inflasi, baik diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Hal yang sama juga ditunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada =10, pengaruh interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan pada KBI dan KTI terhadap gejolak inflasi yang terjadi pada kedua wilayah tersebut. Meski pengaruhnya tidak signifikan, namun dapat dilihat koefisien hasil estimasi dari kedua metode menunjukkan nilai yang positif untuk perbedaan kondisi inflasi antara Jawa dengan luar Jawa. Interpretasi dari nilai positif tersebut adalah, sebagai akibat perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama menyebabkan volatilitas inflasi di Jawa lebih rendah dibanding luar Jawa. Sebaliknya, hasil estimasi dengan kedua metode panel data dinamis memperlihatkan koefisien negatif untuk dummy slope yang membedakan volatilitas inflasi KTI terhadap KBI, yang berarti perbedaan interaksi antara laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan volatilitas inflasi di KTI lebih tinggi dibanding KBI. 134 Hasil tersebut sepertinya tidak sejalan dengan pendapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa perbedaan kondisi infrastruktur merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan volatilitas atau perbedaan tingkat inflasi antar wilayah, utamanya untuk Jawa dengan luar Jawa. Menyikapi hal tersebut, disarankan untuk memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya diwakili panjang jalan raya kualitas baik saja, tetapi memasukkan beberapa infrastruktur lainnya seperti panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta beberapa infrastruktur ekonomi lainnya. Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan pada bab sebelumnya, mengenai struktur ekonomi menurut wilayah, dimungkinkan hal tersebut bisa menjelaskan lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun perbedaan volatilitas inflasi antara wilayah. Hal tersebut merupakan usulan untuk penelitian lebih lanjut, tentunya dengan data yang lebih mutahir serta metode estimasi yang lebih baik lagi. Usulan ini tentu saja didasari oleh salah satu hasil penelitian ini, yaitu volatilitas inflasi secara signifikan dipengaruhi pula oleh perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan. 5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter 5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyesuaian harga BBM yang merupakan administered prices dan penyesuaian gaji PNSTNIPOLRI yang tidak lain mewakili upah minimum sektor pemerintah. Merujuk pada Tabel 13 dapat dilihat, laju penyesuaian harga BBM akan berpengaruh positif pada peningkatan inflasi, dengan besarnya pengaruh 0,0483 untuk metode SAB dan 0,0872 dari metode FD-GMM. Artinya, laju penyesuaian harga BBM sebesar 10 akan meningkatkan inflasi yang tidak lebih dari 0,87, dengan catatan, kondisi variabel-variabel lainnya tidak berubah. Tabel 13 memperlihatkan pula laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah berpengaruh positif dan signifikan = 5 terhadap peningkatan inflasi, dengan besarnya koefisien regresi panel sekitar 0,0311. Interpretasi dari hasil ini adalah, jika terjadi laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah sebesar 10, maka akan memberi sumbangan peningkatan inflasi sebesar 0,31 pada kondisi ceteris paribus. 135 Kedua hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dalam menyesuaikan besarnya harga BBM dan gaji pegawainya secara signifikan akan memicu terjadinya volatilitas inflasi. Mengingat dampaknya terhadap inflasi, seyogianya kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati. Lebih lanjut, merujuk pada Mohanty dan Klau 2001, administered prices yang dalam hal ini diwakili oleh harga BBM dapat berpengaruh besar terhadap inflasi, namun tergantung bagaimana perilaku dan respon kebijakan moneter dari penyesuaian tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 12 bagaimana perilaku penyesuaian harga BBM dan respon kebijakan moneter seperti jumlah uang beredar M1 dan BI rate. Gambar 12 memperlihatkan, penyesuaian harga BBM tidak dilakukan secara periodik, sementara pada saat terjadi penyesuaian harga BBM, Bank Indonesia berusaha menaikkan suku bunga acuan akan tetapi secara bersamaan M1 terus meningkat seperti diperlihatkan dalam Gambar 9. Menurut Phillips 1994 dalam Mohanty dan Klau, 2001, jika penyesuaian tidak dilakukan secara periodik seperti pada harga BBM, maka penyesuaiannya akan menyebabkan inflasi. Fakta lain yang tidak dapat diingkari adalah keterkaitan harga BBM dengan komoditi lainnya sehingga jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditi lainnya sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lünnemann and Mathä 2005, dan hal ini didukung oleh Mohanty dan Klau 2001 yang menyatakan kenaikan pada administered prices tidak dikompensasi oleh penurunan harga pada komoditi lainnya. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa pihak otoritas moneter baik secara langsung maupun tidak langsung juga ikut mengakomodasi melalui penambahan M1 dan kondisi ini menurut Mohanty dan Klau 2001 juga akan menyebabkan inflasi. Selanjutnya, sepanjang tahun 2000 – 2009, penyesuaian gaji untuk pegawai pemerintah dilakukan secara periodik sejak tahun 2006, sementara periode sebelumnya tidak dilakukan penyesuaian setiap tahun. Selama beberapa kali terjadi penyesuaian, didapati secara nominal, besarannya selalu saja lebih tinggi dibanding besarnya inflasi tahun berjalan. Fakta ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa ketika terjadi penyesuaian gaji PNSTNIPOLRI, besaran 136 penyesuaian secara nominal ikut membangun ekspektasi masyarakat akan tingkat inflasi yang akan terjadi pada tahun berjalan dan hal ini sejalan dengan hasil penelitian Solikin dan Sugema 2004 yang telah disampaikan sebelumnya. Meski hasil penelitian ini tidak berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak menunjukkan pengaruh langsung terhadap inflasi. Studi empiris yang secara eksplisit menyatakan bahwa administered prices berpengaruh signifikan terhadap inflasi pernah dilakukan oleh Indrawati 1996, dalam Atmadja, 1999, namun untuk pengaruh signifikan dari penyesuaian gaji pegawai pemerintah terhadap inflasi belum pernah diteliti sebelumnya dan hal ini merupakan temuan yang signifikan dari penelitian ini.

5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah