Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi

(1)

ADJI SUBEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011 Penulis,

Adji Subekti H151090114


(3)

supervision of HERMANTO SIREGAR and NOER AZAM ACHSANI.

Indonesia never experience any annual deflation for more than forty years. After being strucked by the 1998 economic crisis, Indonesia introduced two fundamentals policies, those are the exchange rate rearrangement in 1999 and the decentralization policy in 2001. Following the implementation of those policies, there are some changes of policy or non-policy variables that would be responded by various level of inflation among regions in Indonesia. This research aim to examine the policy and non-policy variables affecting Indonesian inflation dynamics at provincial level. After utilizing the method of dynamic panel data with spatial and non-spatial approaches, this research found that during the period of 2000-2009, inflation dynamics are likely affected by non-policy variables, such as inflation inertia, exchange rate volatility, and the simultaneous changes of infrastructure conditions and trade openness. Some policy variables such as salary adjustment of government employee, adjustment of domestic oil price and interest rate adjustment are also affecting the inflation dynamics. It is suggest that central bank together with government develop system to support inflation-forecast targeting. In order to decrease exchange rate pass through, government can propose import substitution, nationality suasion to use domestic product and the obligation for proposing a new establishment’s permission to use a local base or domestic material in the most. It is also suggest that central government sets the domestic oil prices adjustment periodically to minimize bad impact of unanticipated expectation of the policy, beside that, salary adjustment of government employee must be set carefully to avoid higher inflation expectation. Further more, in the way of interest rate adjustment and targeting inflation, central bank should construct an accurately forecast to raise their credibility. Last, central and local government must concern about the improvement of the infrastructure condition and simplification of regulation which related to business environment. Keywords : inflation volatility, dynamic panel data, policy and non policy

variables


(4)

Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NOER AZAM ACHSANI.

Sejarah mencatat, selama lebih dari 40 tahun Indonesia belum pernah mengalami deflasi untuk periode tahunan. Pasca krisis 1998, terdapat perubahan haluan politik yang menyebabkan perubahan kondisi ekonomi secara struktural. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabel kebijakan dan non kebijakan yang memengaruhi dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi. Metode yang digunakan dalam metode ini adalah data panel dinamis untuk model spasial dan non spasial. Temuan dari penelitian ini adalah, selama tahun 2000 – 2009, dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BIrate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1, penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi. Berdasarkan pendekatan model data panel spasial dinamis, inersia inflasi dapat didekomposisi menjadi dua sumber penyebab inflasi, yaitu persistensi dari inflasi masing-masing provinsi dan inflasi yang berasal dari provinsi lainnya. Selain itu, pendekatan model data panel non spasial dinamis menunjukkan bahwa interaksi antara perbaikan kondisi infrastruktur dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan secara simultan dapat menurunkan volatilitas inflasi. Hal ini terkait dengan hasil estimasi dari model ini yang lebih sensitif terhadap shock yang berasal dari perekonomian global dibanding model spasial. Penelitian ini menyimpulkan selama tahun 2000 – 2009, inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran, selain itu, diperoleh bukti bahwa inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena fiskal. Terkait dengan kesimpulan penelitian ini, dalam penetapan target inflasi, Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah disarankan untuk merancang sistem peramalan target inflasi. Upaya penurunan derajat pass through dapat dilakukan dengan strategi substitusi bahan baku impor, himbauan penggunaan barang domestik dan kewajiban penggunaan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk lokal untuk perizinan usaha baru. Pemerintah pusat disarankan untuk melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala untuk mengindari dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas kebijakan tersebut dan seyogyanya mempertimbangkan besaran penyesuaian gaji pengawai pemerintah karena dapat menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. Lebih lanjut, terkait dengan penyesuaian BI rate dan penentuan target inflasi, Bank Indonesia hendaknya membuat peramalan yang cukup akurat guna meningkatkan kredibilitasnya. Terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan perbaikan kondisi infrastruktur dan penyederhanaan peraturan-peraturan terkait dengan dunia usaha.

Kata kunci: volatilitas inflasi, data panel dinamis, variabel kebijakan dan non kebijakan


(5)

atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

ADJI SUBEKTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Judul Tesis : Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi

Nama : Adji Subekti

NRP : H151090114

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua

Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(8)

(9)

(10)

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan banyak masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku ketua dan sekretaris program studi yang telah banyak memberi dukungan dan arahan sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

Secara khusus, penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Banten dan Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi Banten yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian juga, terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas dan menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada yang tersayang Rosnawiyah, ST (istri penulis), Damar Fatih Mahardhika (anak pertama penulis), Radityo Hadi Nugraha (anak kedua penulis), Akhtar Rafif Waskita (anak ketiga penulis) dan seluruh keluarga besar kami yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis sejak seleksi awal tugas belajar hingga penyelesaian tesis ini.

Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan proses pembangunan di Indonesia khususnya dalam upaya mengendalikan inflasi. Selain itu, tesis ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2011

Penulis,


(11)

Penulis bernama Adji Subekti, lahir pada tanggal 14 Juli 1973 di Jakarta. Penulis anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Soetadi Prawirowiyono dan Ariati Nurprestya Ningsih. Penulis diterima menjadi mahasiswa Akademi Ilmu Statistik Jakarta (AIS) pada tahun 1994 dan menyelesaikan pendidikan DIII pada tahun 1997. Setelah selesai pendidikan DIII, penulis sempat bekerja di BPS Provinsi Jawa Barat, namun tidak lama kemudian berpindah tugas di BPS Kabupaten Serang Provinsi Jawa Barat.

Setelah bekerja kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dalam rangka menyelesaikan pendidikan DIV. Selesai pendidikan DIV, pada tahun 2000 penulis kembali bertugas di BPS Kabupaten Serang tetapi kemudian bukan lagi bagian dari Provinsi Jawa Barat melainkan Provinsi Banten, karena pemekaran wilayah.

Terhitung sejak tahun 2008, penulis beralih tugas dari sebelumnya di BPS Kabupaten Serang ke BPS Provinsi Banten. Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM, penulis melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.


(12)

xi DAFTAR TABEL ...ivxiii DAFTAR GAMBAR ...iiixiv DAFTAR LAMPIRAN ...iiiixv DAFTAR ISTILAH ...iiixvi DAFTAR SINGKATAN ...iixvii

I. PENDAHULUAN ... 001 1.1 Latar Belakang ... 001 1.2 Perumusan Masalah ... 011 1.3 Tujuan Penelitian ... 014 1.4 Ruang Lingkup... 014 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 017 2.1 Definisi Inflasi ... 017 2.2 Inflasi Regional ... 019 2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian ... 021 2.3.1 Output Potensial danOutput Gap... 025 2.3.2 Ekspektasi Inflasi ... 027 2.4 Pendekatan Kurva AD – AS ... 030 2.4.1 Permintaan Agregat ... 030 2.4.2 Penawaran Agregat ... 033 2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi... 034 2.4.4 Administred Pricesdan Inflasi... 037 2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi .. 040 2.6 Infrastruktur dan Inflasi ... 043 2.7 MetodeUnivariate Detrending ... 045 2.8 Metode Regresi Data Panel ... 047 2.8.1 Data Panel Statis ... 048 2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) ... 048 2.8.1.2 Random Effect Model (REM) ... 049 2.8.2 Data Panel Dinamis ... 049 2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial ... 050 First-DifferenceGMM (FD-GMM) ... 050 SystemGMM (SYS-GMM) ... 052 2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis ... 053 Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) ... 054 Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) ... 056 2.9 Penelitian Sebelumnya... 058 2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian... 062


(13)

xii

3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode

Univariate Detrending ... 065 3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel ... 067 3.1.3.1 Model Data Panel Statis ... 068 3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial... 069 3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis... 070 3.2 Spesifikasi Model Penelitian ... 072 3.3 Jenis dan Sumber Data ... 078 3.4 Hipotesis Penelitian ... 081 IV. GAMBARAN UMUM... 083 4.1 Dinamika Inflasi Regional... 083 4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar ... 089 4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI ... 094 4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS ... 096 4.5 Struktur Ekonomi Provinsi ... 098

V. PEMBAHASAN HASIL... 103

5.1 Penaksiran Output Potensial danOutput Gap... 103

5.2 Pengujian Stasioneritas Data ... 106

5.3 Pengujian Kausalitas Granger ... 108

5.4 Hasil Estimasi... 113

5.4.1 Model Dasar ... 113

5.4.2 Model Penargetan Inflasi... 120

5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah ... 122

5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan ... 125

5.5.1 Peran Inersia Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial dalam Pembentukan Inflasi... 125

5.5.2 PengaruhOutput Gapterhadap Inflasi... 127

5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi ... 128

5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur ... 130

5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur ... 133

5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter ... 134

5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat ... 134

5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah... 136

5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter ... 138

5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi ... 142

5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan ... 145

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 149

6.1 Kesimpulan ... 149

6.2 Implikasi Kebijakan... 150

6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 155


(14)

xiii 01. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi

tahun 1959-1966... 002 02. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi

tahun 1990-1998 ... 004 03. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009 ... 009 04. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya ... 058 05. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis ... 081 06. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 ... 086 07. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009 ... 087 08. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah

untuk Jawa dan Luar Jawa ... 101

09. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) ... 102

10. Rangkuman hasil pengujianpanel unit root... 107

11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti... 109

12. Hasil estimasi model data panel non spasial ... 115

13. Hasil estimasi model data panel spasial ... 119

14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi... 121

15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan inflasi antar wilayah ... 124

16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan penerimaan daerah tahun 2000 – 2009... 137

17. Korelasi antara Upah Minimum Provinsi (UMP) riil dengan tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009 ... 138

18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 ... 143


(15)

xiv

01.0 Inflasi Indonesia tahun 1958 – 2009 ... 001 02.0 Nilai tukar nominal (rupiah/US $) dan inflasiyear on year(%) ... 005 03.0 Upah minimum provinsi riil 5 provinsi di Indonesia... 006 04.0 Hipotesistradeoff antara inflasi danoutput gapdalam

kurva Phillips versi NKPC... 024 05.0 Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan

kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi... 032 06.0 Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan

harga BBM ... 039 07. Kerangka pemikiran penelitian ... 063 08. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009... 084 09. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1)

tahun 2003 – 2009... 089 10. Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi

tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah) ... 092 11. Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar

tahun 2000 – 2009... 094 12. Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009 ... 096 13. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi

tahun 2000 – 2009... 099 14. Output aktual dan output potensial menurut provinsi

tahun 1999 – 2009 (dalam triliun rupiah) ... 104 15. Perkembangan impor menurut penggunaan barang

tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$) ... 129 16. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate ... 140


(16)

xv 1. Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6 ... 161 2. Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan

Beberapa Variabel yang Diteliti Program Eviews v6 ... 172 3. Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis

Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB) ... 173 4. ScriptsInput dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis

dan Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan


(17)

xvi

administred prices : barang-barang yang harganya ditentukan oleh peraturan pemerintah

backward looking : perilaku ekspektasi yang cenderung memperhatikan kondisi sebelumnya

BIrate : suku bunga acuan dari Bank Indonesia continuum : rangkaian urutan nilai parameter

detrending : penghalusan tren dari data runtun waktu

driving force variable : variabel utama yang memengaruhi variabel tidak bebas fiat money : uang unjuk nilai, yaitu nilai nominal uang yang tertera

pada mata uang yang digunakan pada suatu negara first differencing : pembedaan pertama

downward biased : bias ke bawah, artinya nilai estimasi yang dihasilkan cenderung lebih rendah dibanding nilai parameter sebenarnya

forward looking : perilaku ekspektasi yang cenderung meramalkan bagaimana kondisi ke depan

money growth : pertumbuhan uang money supply : penawaran uang

output gap : kesenjangan output, yaitu deviasi dari output aktual terhadap kondisi potensialnya

pass through : atau exchange rate pass through (ERPT) adalah dampak pergerakan nilai tukar terhadap volatilitas inflasi

persistence : persistensi, yaitu ada dan berlangsung terus-menerus karena tidak mudah untuk dikendalikan

predetermine variable : variabel yang nilai ditentukan terlebih dahulu dalam model namun tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya price rigidity : kekakuan harga

price setter : pihak-pihak yang menentukan besarnya harga

robustness : kekuatan/keteguhan/ketegaran yang sulit dibantahkan shock : guncangan yang terjadi akibat adanya suatu perubahan spatial error : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari

galat secara spasial

spatial lag : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari variabel tidak bebas secara spasial

spillover : dampak limpahan atau imbas

spurious regression : regresi yang dibangun atas hubungan semu atau hubungan yang sebenarnya terjadi sehingga hasilnya bisa menimbulkan kesalahan interpretasi

trade openness : derajat keterbukaan perdagangan volatile : terus-menerus bergejolak

wage setter : pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam menetapkan besarnya upah


(18)

xvii AD – AS :aggregate demand – aggregate supply

ADF – Fisher test : augmentedDickey–Fuller – Fisher test

BBM : bahan bakar minyak

ERPT : exchange rate pass through FD-GMM : first-differenceGMM FEM : fixed effect model GLS : generalize least squared

GMM : generalized method of moments HP-filter : Hodrick-Prescott (HP) filter

IHK : indeks harga konsumen

IPS test : Im, Pesaran and Shin test IRIO : inter-regional input-output

IHK : indeks harga konsumen

ITF : inflation targeting framework

KBI : Kawasan Barat Indonesia

KTI : Kawasan Timur Indonesia

LLC test : Levin, Lin and Chutest

NAIRU : non-accelerating inflation rate of unemployment NKPC : New Keynesian Phillips Curve

OLS : ordinary least squared

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PLS : pooled least squared

PNS : pegawai negeri sipil

PP – Fisher test : Phillips–Perron – Fishertest REM : random effect model

SAB : spatiallyArellano-Bond SBB : spatiallyBlundell-Bond

SYS-GMM : systemGMM


(19)

(20)

1.1 Latar Belakang

Sejarah mencatat, lebih dari empat dasawarsa Indonesia belum pernah mengalami deflasi untuk periode tahunan, artinya sepanjang kurun waktu tersebut, setiap tahun terjadi inflasi secara terus-menerus. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi, masing-masing pada tahun 1966 dan tahun 1998 (BPS). Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi dengan tiga digit tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara di era tahun 1990-an inflasi tahun 1998 adalah inflasi dengan dua digit tertinggi.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 1. Inflasi Indonesia Tahun 1958 – 2009.

Saat Orde Lama jatuh, yaitu pada tahun 1966, inflasi tercatat mencapai 636% dan secara bersamaan jumlah uang beredar (M1) menunjukkan peningkatan lebih dari 90% dalam lima tahun terakhir sebelum kejatuhan rezim tersebut (Tabel 1). Peningkatan M1 tersebut merupakan konsekuensi dari instabilitas politik dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh banyaknya pemberontakan, serta kebijakan politik luar negeri Indonesia yang cenderung berkiblat pada blok


(21)

timur sehingga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Tambunan, 2009). Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya konfrontasi dengan Malaysia dan operasi Trikora dalam rangka membebaskan Irian Barat serta pembangunan proyek-proyek “mercu suar”. Akibatnya, pemerintah kemudian melakukan kebijakan untuk mencetak uang untuk membiayai semuanya termasuk juga membiayai pembangunan dalam negeri. Secara umum, penyebab utama dari hiperinflasi yang terjadi pada masa Orde Lama adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang yang dipicu oleh neraca perdagangan yang negatif, hutang luar negeri yang cukup besar, tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman luar negeri sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar terpaksa harus dibiayai dengan pencetakan uang.

Tabel 1. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 19591966 Tahun M1 Pertumbuhan M1

(%)

Inflasi (%)

1958 29 - 46

1959 35 18,78 22

1960 48 37,13 38

1961 68 41,40 27

1962 136 100,89 174

1963 263 93,79 119

1964 675 156,34 135

1965 2.713.688 301.965,18 594

1966 5.164.552 90,31 636

Sumber : Bank Indonesia – Sejarah Moneter Periode 1959-1966

Akibat lebih lanjut dari jatuhnya rezim Orde Lama adalah perekonomian Indonesia di bawah rezim baru cenderung lebih liberal dan lebih terbuka terhadap perekonomian luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk peraturan perundang-undangan yang berusaha menstimulasi sektor swasta untuk masuk ke sektor-sektor strategis, termasuk juga berusaha untuk menarik penanaman modal asing (Tambunan, 2009). Melalui perubahan sistim politik tersebut maka dimulailah pinjaman luar baik yang bersifat bilateral maupun melalui pinjaman multilateral untuk membiayai proyek-proyek strategis, mengingat pada rezim sebelumnya banyak infrastruktur ekonomi yang terbengkelai pada awal rezim ini. Guna mengejar banyak ketertinggalan di bidang ekonomi, paradigma pembangunan Orde Baru, selain diarahkan untuk mendorong pertumbuhan


(22)

ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya juga berusaha untuk menjaga stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan. Dalam praktiknya, upaya menjaga stabilitas nasional tersebut termasuk juga melakukan stabilisasi harga guna menurunkan inflasi. Nampaknya, kesadaran dari rezim ini akan bahaya akan inflasi yang merupakan “hantu perekonomian” yang menakutkan disebutkan secara implisit sebagai salah satu tujuan dari langkah strategis dalam pembangunan.

Tak dapat dipungkiri, Orde Baru memberikan perubahan yang signifikan dalam proses pembangunan Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Ibarat pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, karena dengan membuat perekonomian Indonesia lebih terbuka membuat guncangan yang berasal dari luar negeri akan berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian di dalam negeri. Tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan ketergantungan atas pinjaman luar negeri termasuk penanaman modal asing membuat perekonomian Indonesia semakin rapuh terhadap guncangan dari luar negeri. Terbukti ketika terjadi krisis mata uang Asia, dalam hitungan bulan perekonomian Indonesia memasuki fase krisis yang cukup parah. Akibat inflasi yang demikian tinggi ditambah rupiah yang terdepresiasi demikian hebat, penanggulangan krisis tersebut diperkirakan mencapai 50% dari besarnya GDP (Mishkin, 2004).

Selanjutnya, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 diawali oleh krisis mata uang Asia yang sesungguhnya merupakan shock yang berasal dari luar negeri. Krisis tersebut kemudian dengan cepat menjalar ke sektor riil sehingga membuat perekonomian Indonesia memasuki fase krisis ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu 13,13% (BPS). Selama fase krisis ekonomi tersebut tercatat inflasi mencapai 77,63% dan di saat yang sama terjadi penambahan jumlah uang beredar (dalam arti luas/M2) sebesar 62,28% (Tabel 2). Meski inflasi pada tahun 1998 tidak sebesar tahun 1966, namun tingkat inflasi tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru mulai melakukan upaya stabilisasi inflasi pada tahun 1970-an. Adanya penambahan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) nampaknya merupakan konsekuensi


(23)

logis karena Bank Indonesia berusaha melakukan stabilisasi nilai tukar terhadap dolar AS yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat pada periode tersebut Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Akibat menipisnya cadangan luar negeri karena harus terus-menerus melakukan intervensi dalam stabilisasi rupiah terhadap dolar AS, diduga pihak otoritas moneter meningkatkan base money (McLeod, 2003 dalam Ito dan Sato, 2006). Melihat dua kondisi Indonesia tersebut, agaknya pendapat Prof. Friedman (Mankiw, 2007) mengenai inflasi merupakan sebuah fenomena moneter kapan saja dan dimana saja sepertinya benar.

Tabel 2. Jumlah uang beredar (dalam miliar rupiah) dan inflasi tahun 19901998 Tahun M1 Pertumbuhan M1

(%) M2

Pertumbuhan M2 (%)

Inflasi (%)

1990 23,82 - 84,63 - 9,94

1991 26,34 10,58 99,06 17,05 9,93

1992 28,78 9,26 119,05 20,18 5,04

1993 36,81 27,90 145,20 21,97 10,18

1994 45,37 23,25 174,51 20,19 9,64

1995 53,22 17,30 222,64 27,58 8,97

1996 64,09 20,42 288,63 29,64 6,65

1997 78,34 22,24 355,64 23,22 11,05

1998 101,20 29,17 577,15 62,28 77,63 Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Pasca krisis ekonomi tahun 1998, terjadi perubahan sistem nilai tukar dari sebelumnya menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) menjadi nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) pada tahun 1999, melalui pemberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pengertian nilai tukar fleksibel bagi Indonesia ini bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter juga ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing dan pada gilirannya akan membantu stabilitas inflasi. Upaya stabilisasi nilai tukar tersebut terkesan lambat karena membutuhkan sekitar empat tahun setelah dilakukan perubahan sistem tersebut, nilai tukar riil Indonesia hampir sama dengan nilai tukar riil negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, masing-masing terhadap dolar AS, sementara tiga negara lainnya telah mencapai nilai tukar riil yang cukup stabil sejak tahun 2000 (Ito dan Sato, 2006). Hal lain yang bisa dilihat adalah meski telah dilakukan upaya


(24)

stabilisasi nilai tukar sejak tahun 1999, namun nilai tukar nominal tidak pernah kembali ke level semula, yaitu kondisi sebelum krisis. Bahkan, adanya perubahan sistem ini menyebabkan nilai tukar rupiah dan inflasi menjadi lebih volatile (Prasertnukulet al., 2010).

Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Gambar 2. nilai tukar nominal (rupiah/US$) dan inflasiyear on year(%).

Perubahan lainnya yang cukup mendasar pasca krisis ekonomi tahun 1998 adalah dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang membawa konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi termasuk desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan daerah. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengatur keuangannya di sisi lain, menimbulkan kekhawatiran akan munculnya egoisme lokal yang akan berpengaruh buruk pada stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional.


(25)

Salah satu implikasi dari pemberlakukan otonomi daerah adalah mekanisme penetapan besarnya upah minimum regional (UMR) pada tingkat provinsi atau dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP) yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi, sejak tahun 2001 menggunakan sistem desentralisasi. Sebelum terjadinya perubahan mekanisme tersebut, sampai dengan tahun 2000, ketika Indonesia terserang krisis ekonomi pada tahun 1998, upah minimum riil mengalami penurunan dibanding sebelum krisis. Periode setelahnya, yaitu ketika mekanisme penentuan upah minimun dilakukan dengan sistem desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kecuali untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3).

0 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9

Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Selatan

Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (data diolah)

Gambar 3. Upah Minimum Provinsi riil 5 provinsi di Indonesia.

Bersamaan dengan kenaikan upah minimum riil pada tingkat provinsi tersebut, pemerintah juga melakukan penyesuaian besarnya gaji untuk PNS termasuk TNI dan Polri secara bertahap dalam kurun waktu 10 terakhir. Salah satu alasan pemerintah menaikkan gaji pegawainya adalah untuk menjaga daya beli dari aparat pemerintah tersebut agar gaji yang diterima setiap bulan tidak tergerus oleh inflasi, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi 1998. Kebijakan ini tidak hanya menaikkan pengeluaran belanja pemerintah secara nominal, lebih jauh lagi,


(26)

kabar yang tentang kenaikan gaji pegawai pemerintah diterima oleh kalangan dunia bisnis dari pengumuman presiden melalui berbagai media massa memicu terjadinya kenaikan harga pada beberapa bulan mendatang, bahkan sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan beberapa harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Pengumuman mengenai kenaikan gaji pegawai pemerintah tersebut diyakini akan memunculkan sentimen pasar melalui ekspektasi mengenai inflasi di tahun mendatang.

Sejalan dengan perubahan mendasar pasca krisis, perekonomian Indonesia kian terintegrasi dengan perekonomian global. Setidaknya beberapa perjanjian mengenai pasar bebas dalam skala regional seperti AFTA dan perjanjian pasar bebas antara ASEAN dengan China, Australia-Selandian Baru, Jepang, India, Korea Selatan dan Amerika Serikat kurun waktu tahun 2002 – 2006, kian memperjelas kondisi tersebut. Dalam perjanjian pasar bebas tersebut, wacana penting yang dimunculkan adalah pengurangan atau bahkan penghapusan tarif masuk yang menjadi salah satu penghalang terselenggaranya pasar bebas. Berkurangnya atau dengan dihapuskannya penghalang tersebut, di satu sisi, diharapkan konsumen domestik akan menikmati berbagai macam komoditas untuk memenuhi kebutuhannya, yang tidak hanya berasal dari produk domestik tetapi juga produk impor dengan harga bersaing. Di sisi lain, dengan pasar bebas akan menyebabkan pendapatan pemerintah dari pajak impor akan berkurang dan di saat yang sama perekonomian domestik akan semakin terbuka dan terintegrasi dengan perekonomian global. Jika fondasi perekonomian Indonesia tidak cukup kuat, hal ini tentu akan memberi pengaruh buruk pada perekonomian domestik karena akan membuat tingkat ketergantungan yang tinggi atas perekonomian global.

Perkembangan selanjutnya adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sebagaimana paradigma pembangunan dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY), dalam lima tahun terakhir, tercatat peningkatan belanja APBN yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 509,63 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.005,67 triliun pada tahun 2009. Peningkatan belanja APBN yang demikian tinggi ini ternyata tidak lepas dari masalah, karena setidaknya ketika terjadi guncangan harga minyak dunia (oil price shock),


(27)

pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM dan menyusul menaikkan tarif dasar listrik (TDL) yang notebenenya merupakan administred prices guna mengurangi subsidi energi yang menjadi beban berat APBN, mengingat dalam beberapa tahun terakhir menganut sistem anggaran belanja tidak berimbang (imbalanced budgeting) dan selisih antara anggaran pendapatan dan belanja tersebut cenderung meningkat. Demi menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam bentuk obligasi pemerintah untuk hutang negara yang berasal dari dalam negeri dan mengupayakan pinjaman luar negeri baik yang berasal dari pinjaman bilateral maupun pinjaman multilateral, karena pemerintah memiliki kendala anggaran, baik untuk penyelenggaran negara maupun untuk keperluan pembangunan.

Bersamaan dengan perubahan sistem APBN, pihak otoritas moneter secara efektif mulai memberlakukan secara penuh kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) pada tahun 2005 berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. ITF merupakan suatu kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode (tahun) ke depan. Terkait dengan pengumuman mengenai target inflasi yang akan dicapai tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa tingkat inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Meski demikian tidak berarti dengan single objective tersebut, ITF tidak mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan, tetapi sebaliknya inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, diyakini akan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable growth). Sejalan dengan tanggung jawab BI dalam melakukan stabilisasi inflasi sesuai dengan amanat UU tersebut, dilakukan pula stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.

Terkait dengan upaya stabilisasi inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, selambat-lambatnya setiap tiga bulan sekali, melalui Rapat Dewan Gubernur, Bank Indonesia menetapkan besarnya suku bunga acuan (BI rate). Tujuan penetapan BI rate ini tidak hanya memberi sinyal kepada pasar tentang


(28)

kondisi perekonomian secara umum, namun juga untuk memengaruhi ekspektasi masyarakat mengenai tingkat inflasi pada periode mendatang, termasuk memengaruhi variabel makro ekonomi lainnya, yang pada akhirnya akan memengaruhi besarnya inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi.

Berbagai kebijakan maupun variabel non kebijakan tersebut direspon dengan tingkat inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah di Indonesia, artinya kebijakan yang sama di tingkat nasional seperti penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM maupun berbagai kebijakan moneter yang bersifat sentralistik, memiliki dampak inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah atau provinsi. Ketika terjadi krisis finansial global pada tahun 2008 misalnya, inflasi di Indonesia cukup bervariasi dengan rata-rata inflasi 12,11%; sementara inflasi tertinggi dan terendah sebesar masing-masing 20,51% dan 6,96%. Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga BBM pada awal tahun 2009, tercatat inflasi rata-rata 3,33%, dengan inflasi tertinggi dan terendah masing-masing sebesar 7,52% dan 0,80% pada tahun 2009.

Tabel 3. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009

Tahun Pulau /

Kelompok Pulau Rata-rata Maksimum Minimum

Standar Deviasi 2008 Jawa

• dengan DKI 11,05 14,20 6,96 1,84

• tanpa DKI 11,04 14,20 6,96 1,88

Luar Jawa 12,08 20,51 6,96 2,87

• Sumatra 12,20 18,40 8,39 2,46

• Kalimantan 12,48 19,85 8,89 3,20

• Sulawesi 12,58 17,58 9,20 2,77

• Lainnya 13,69 20,51 9,25 3,97

INDONESIA 12,11 20,51 6,96 2,76

2009 Jawa

• dengan DKI 3,17 5,83 1,30 0,97

• tanpa DKI 3,21 5,83 1,30 0,98

Luar Jawa 3,64 7,52 1,15 1,55

• Sumatra 2,38 4,18 0,80 0,92

• Kalimantan 3,63 7,21 1,15 1,94

• Sulawesi 3,83 6,84 1,40 1,82

• Lainnya 4,57 7,52 1,92 1,83

INDONESIA 3,33 7,52 0,80 1,52

Sumber : BPS (diolah)

Bervariasinya inflasi di Indonesia juga dapat dilihat menurut perbandingan antar pulau, yaitu dengan rata-rata dan variasi inflasi di Jawa cenderung lebih rendah dibanding luar Jawa, kecuali dibanding Sumatra untuk tahun 2009. Selain


(29)

perbandingan tersebut, dapat dilihat pula pada Tabel 3, ketika inflasi cukup tinggi, yaitu tahun 2008, maka variasi inflasi dalam setiap pulau atau kelompok pulau juga cukup tinggi, sebaliknya ketika inflasi cukup rendah pada tahun 2009, variasi inflasi dalam setiap pulau ikut menjadi rendah.

Salah satu langkah proaktif dari Bank Indonesia terkait dengan ITF adalah pembentukan tim pengendali inflasi daerah dengan alasan bahwa inflasi daerah memengaruhi 78% inflasi nasional. Tim ini dibentuk untuk mengendalikan inflasi yang berasal dari gangguan penawaran barang yang juga disebut dengan inflasi non inti, sementara BI sebagai otoritas moneter hanya dapat memengaruhi inflasi inti saja1. Pembentukan tim ini sepertinya adalah salah satu bentuk kesadaran akan bervariasinya tekanan inflasi antar daerah mengingat inflasi nasional merupakan indeks gabungan yang disusun berdasarkan inflasi daerah. Disamping itu, pembentukan tim pengendali inflasi daerah oleh BI ini agaknya sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di Indonesia yang menyatakan bahwa gangguan dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi perkembangan inflasi dibanding gangguan dari sisi permintaan.

Bervariasinya tekanan inflasi antar daerah yang didominasi berasal dari sisi penawaran ini tentu terkait dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan perbedaan karakteristik antar wilayah atau antar provinsi, seperti struktur ekonomi. Perbedaan struktur ini tidak serta-merta terjadi karena tentunya dipengaruhi oleh faktor endogen yang mencerminkan adanya kekuatan dari faktorendowment dari wilayah tersebut dan faktor eksogen yang cenderung berasal dari luar wilayah. Kepemilikan faktor endogen dan eksogen tersebut merupakan determinan dalam menciptakan output yang potensial. Akibat adanya keterbatasan atau kelimpahan sumber daya, suatu wilayah belum bisa mencapai kondisi potensialnya atau bisa melampauinya.

Adanya perbedaan karakteristik antar provinsi dalam lingkup satu negara yang kemudian menyebabkan perbedaan tingkat harga dan bervariasinya tingkat inflasi tidak berarti masing-masing provinsi ini saling bebas terpengaruh satu dengan lainnya. Adanya kedekatan secara geografis atau secara spasial dan

1


(30)

kedekatan secara ekonomi (spatial and economic proximity) antar provinsi memungkinkan terjadinya spillover antar provinsi, yaitu melalui transfer pengetahuan dan penyebaran inovasi dan informasi atau melalui kebijakan yang diterapkan di satu provinsi yang dampaknya terasa sampai dengan wilayah lain sekitarnya. Secara empiris, penelitian Wimanda (2006) mengenai inflasi regional menyatakan bukti terjadinya keterkaitan inflasi antar provinsi.

1.2 Perumusan Masalah

Mengingat banyaknya faktor yang mungkin akan memengaruhi inflasi di Indonesia, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seperti pengaruh dari faktor moneter atau non monenter, tentu tidak mudah untuk menjelaskan perilaku inflasi berdasarkan salah satu pendekatan saja. Hal inilah yang kemudian mendasari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi di Indonesia dengan berbagai pendekatan, baik merujuk pada landasan teoritis yang sudah baku maupun mengacu pada beberapa kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dari berbagai pendekatan tersebut, diharapkan gambaran menyeluruh tentang perilaku inflasi akan terlihat dengan lebih jelas.

Berbagai studi mengenai perilaku inflasi telah banyak dilakukan di banyak negara dimana umumnya menggunakan pendekatan ekonometrik untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan seberapa besar dari pengaruhnya terhadap inflasi. Terkait dengan penelitian di Indonesia, setidaknya terdapat penelitian mengenai inflasi yang telah dilakukan oleh Solikin (2004, 2007) yang mengangkat masalah keberadaan kurva Phillips dan karakteristik tekanan inflasi di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dibatasi hanya melihat inflasi Indonesia pada level nasional saja dan tidak banyak yang melihat dinamika inflasi dalam perspektif regional, yaitu antar provinsi.

Penelitian mengenai inflasi dalam perspektif regional dan terkait dengan Indonesia dilakukan oleh Habermeieret al. (2009) yang meneliti tentang tekanan inflasi dan opsi kebijakan moneter dalam perspektif antar regional dengan studi kasusemerging and developing countries. Penelitian lainnya mengenai bagaimana pergerakan nilai tukar memengaruhi tingkat inflasi di beberapa negara Asia yang terkena dampak krisis mata uang Asia demikian parah yaitu Indonesia, Filipina, Korea Selatan dan Thailand. Sayangnya, penelitian mengenai inflasi ini juga


(31)

masih pada level agregat dan tidak menjelaskan dinamika inflasi antar provinsi di Indonesia, hanya menjelaskan keterbandingan antar negara atau kelompok negara (Prasertnukul et al., 2010). Penelitian khusus mengenai dinamika inflasi antar provinsi salah satunya dilaksanakan di China untuk melihat bagaimana proses terjadinya perbedaan dalam pembentukan inflasi antar provinsi di negara yang mengalami perubahan sistem ekonomi tersebut (Mehrotra et al., 2007). Kajian lainnya mengenai inflasi regional dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional, yaitu pada tataran provinsi.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dinamika inflasi coba dijelaskan dengan hubungan kurva Phillips, namun model yang digunakan bukan model tradisional yang menyatakan adanya trade off antara inflasi dan tingkat pengangguran melainkan menggunakan model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) yang menunjukkan terjadinya tarik ulur antara inflasi dan kesenjangan output. Kesenjangan output tersebut didefinisikan sebagai perbedaan antara output aktual dan output potensial. Sebelumnya, penganut paham Real Business Cycle (RBC) juga menggunakan pendekatan kesenjangan output namun dengan asumsi flexible price. Sementara model hubungan kurva Phillips NKPC diperkenalkan

oleh penganut New Keynesian untuk menjawab adanya rigiditas harga dan upah yang terjadi di dunia nyata, mengingat adanya guncangan pada sisi permintaan atau penawaran tidak serta merta direspon secara langsung oleh price setter atau wage setter (Romer, 2006). Kondisi ini setidaknya mirip dengan keadaan di Indonesia dimana terdapat beberapa komoditi yang penentuan harganya diatur oleh pemerintah (administred prices).

Selainadministred prices, kontrak upah juga sering mengacu pada regulasi tingkat upah minimum regional yang disahkan oleh pemerintah daerah sehingga besarnya upah cenderung tidak berubah dalam kurun waktu setahun misalnya. Implikasinya baik harga maupun tingkat upah cenderung mengikuti teori dari Calvo mengenai stagerring prices and wages, yaitu dalam jangka pendek uang tidak bersifat netral, karena terjadi rigiditas baik harga maupun upah (Solikin dan Sugema, 2004). Penelitian mengenai keberadaan kurva Phillips di Indonesia dilakukan oleh Solikin (2004) menyatakan bahwa untuk level nasional, kurva


(32)

tersebut memang eksis dan berubah sering dengan perubahan struktur perekonomian di Indonesia.

Selain dijelaskan dengan kurva Phillips, penelitian mengenai perilaku inflasi berdasarkan karakteristik sumber tekanan terhadap inflasi juga sering dilakukan dengan pendekatan strukural VAR (SVAR). Melalui pendekatan ini, sumber-sumber tekanan terhadap inflasi didekomposisi menjadi beberapa jalur transmisi berdasarkan landasan teori mengenai faktor-faktor yang memengaruhi harga secara agregat. Jalur transmisi utama yang memengaruhi perubahan harga secara agregat atau menyebabkan inflasi dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu berasal dari guncangan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Pendekatan SVAR yang digunakan ini pertama kali dikenalkan oleh Bayoumi dan Eichengreen (1992) dengan pendekatan bivariate SVAR. Melalui pendekatan sederhana ini, kedua peneliti tersebut dapat menjelaskan bagaimana pengaruh guncangan menurut sumbernya terhadap harga dan output.

Setelah era Bayoumi dan Eichengreen (1992), penggunaan SVAR untuk meneliti pengaruh guncangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap harga dan output terus berkembang dengan tidak hanya terbatas menggunakan dua variabel saja. Adapun sumber guncangan yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran kemudian didekomposisi menjadi beberapa variabel untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari setiap variabel masing-masing terhadap harga dan output. Penelitian Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di Indonesia dengan pendekatan SVAR dengan menggunakan lima variabel berdasarkan dekomposisi Cholesky menyatakan bahwa pengaruh guncangan dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibanding guncangan dari sisi permintaan.

Penjelasan mengenai pengaruh suatu variabel tertentu terhadap inflasi lebih lanjut seperti exchange rate pass-through (ERPT), dilakukan dengan melakukan perluasan dari model kurva Phillips seperti dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2002); Edwards (2006); Prasertnukul et al. (2010) dan Beirne (2009). Penelitian lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh suatu variabel atau beberapa variabel terhadap inflasi tanpa menggunakan kurva Phillips setidaknya dilakukan Al-Nasseret al. (2009) dan Kwonet al. (2009).


(33)

Merunut dari penjelasan sebelumnya, meski terlihat adanya keterkaitan yang kuat dengan jumlah uang beredar terutama pada saat inflasi cukup tinggi, namun hal tersebut bukan berarti inflasi adalah murni sebagai sebagai fenomena moneter. Pendapat ini tentunya dilandasi atas kenyataan dari paparan sebelumnya bahwa sektor riil diduga juga ikut berperan dalam memicu terjadinya inflasi, sebagai konsekuensi terjadinya perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Oleh karenanya, akan menjadi kajian yang menarik untuk melihat penyebab inflasi, tidak hanya dari sisi moneter saja tetapi juga dari sudut pandang sektor riil. khususnya pada level provinsi. Selanjutnya, kedua sisi tersebut pada prinsipnya dapat dipilah menjadi variabel-variabel kebijakan dan non kebijakan yang berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Kajian ini akan lebih menarik jika dilakukan pada level provinsi, mengingat masih sedikit sekali penelitian tentang inflasi pada tataran provinsi di Indonesia, terlebih dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan variabel kebijakan dan non kebijakan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaruh variabel-variabel kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia.

2. Mengkaji pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian meliputi empat hal. Pertama, memberikan gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia dengan analisis deskriptif.


(34)

Kedua, mengkaji pengaruh dari faktor-faktor non kebijakan terhadap inflasi. Ketiga, mengkaji pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi. Keempat, memberikan rumusan kebijakan terkait dengan implikasi dari hasil penelitian.

Dalam penelitian ini cakupan yang dianalisis adalah seluruh provinsi di Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Hal ini dikarenakan keenam provinsi tersebut baru terbentuk setelah tahun 2000, sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 1999 – 2009. Mengingat adanya keterbatasan data, maka untuk provinsi-provinsi yang mengalami pemekaran tersebut, maka dilakukan agregasi ke provinsi induknya. Provinsi Banten diagregasi dengan Provinsi Jawa Barat, Bangka-Belitung dengan Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dengan Riau, Gorontalo dengan Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan, Maluku Utara dengan Maluku dan Papua Barat dengan Provinsi Irian Jaya (Papua). Adapun jumlah provinsi yang menjadi cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 26 provinsi.


(35)

(36)

Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian secara terus-menerus. Secara ringkas, inflasi dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blanchard, 2004). Pengertian umum mengenai inflasi yang telah banyak diterima ini sesungguhnya mengacu pada definisi yang diberikan oleh Milton Friedman (1963, dalam Roger, 1998), yang menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan pada tingkat harga umum yang steady dan terus-menerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara steady inflation, yaitu inflasi yang didorongan kenaikan harga yang relatif konstan dan intermitten inflation atau transient inflation. Perbedaan penting dari definisi Friedman adalah unsur yang persisten atau steady dari inflasi terkait dengan masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sementara transient inflation disebabkan oleh kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu :

1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu tertentu, harga-harga menunjukkan tren atau tendensi yang meningkat.

2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus (sustained), artinya dari waktu ke waktu mengalami peningkatan.

3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum (general level of price), artinya harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditas saja.

Secara empiris, banyak ditemukan bahwa pergerakan inflasi seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan kemampuan daya beli dari uang itu sendiri menurun. Akibat dari penurunan ini adalah daya beli masyarakan akan menurun atau bahkan tergerus. Bila inflasi


(37)

tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami penurunan.

Selanjutnya, melalui pendekatan pasar riil atau pasar barang, penyebab inflasi dibagi menjadi dua, yaitu berasal dari kelebihan permintaan atau karena adanya kenaikan biaya produksi. Penyebab pertama pada pasar riil adalah karena ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial. Dalam beberapa literatur, inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan sebagai inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation). Tipe kedua berdasarkan sumber penyebab inflasi seringkali disebut sebagai inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation), dengan kenaikan harga yang terjadi merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Kondisi yang tidak diantisipasi ini salah satunya disebabkan oleh adanyashockdari sisi penawaran.

Pada praktiknya, inflasi seringkali dihitung berdasarkan pendekatan indeks harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah indek harga konsumen (IHK), indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan inflasi, umumnya digunakan indek harga konsumen (IHK), karena nilai uang secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen. Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur tren dari harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002).

Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas


(38)

moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena pada kenyataannya kebanyakan badan/biro statistik di seluruh negara berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998).

2.2 Inflasi Regional

Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi biaya (cost minimization theories). Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi, baik karenaeconomies of scale,localization economies atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori maksimisasi keuntungan (profit maximization theories) yang berusaha menjawab masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik pasar tertentu saja (Cappelo, 2007).

Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar


(39)

perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum. Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu negara.

Studi empiris dari Marques et al. (2009) menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km, sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya. Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk wilayahnya.

Selanjutnya, Andrés et al. (2007) melakukan penelitian mengenai inflasi untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara. Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barang-barang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih


(40)

lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil.

Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda (2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada kebanyakan provinsi menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar, sementara pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi regional.

2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian

Dalam papernya yang terkenal, Phillips (1958, dalam Romer, 2006) mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris (Romer, 2006).

Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga


(41)

minyak dunia dan perubahan carawage setters dalam membangun ekspektasi terkait dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968, dalam Blanchard, 2004) dan Phelp (1968, dalam Blanchard, 2004) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi danmoney supply tidak dapat memengaruhi variabel riil.

Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968, dalam Romer, 2006), the natural rate hypotesis of Phillips Curve, memberikan penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi tradisional, bahkan dalam bentuk augmented version sekalipun masih tetap menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam, yang menjadikannya sebagai subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu, validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai alternatif kebijakan masih dipertanyakan.

Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/NKPC). NKPC didasarkan pada landasan mikro ekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari versi ini dengan sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami oleh John B. Taylor (1980, dalam Gali, 2002).

Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada modelstaggered price setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983, dalam Solikin, 2004). Persamaan


(42)

utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang diharapkan dan biaya marginal (Gali and Gertler (2000); Galiet al. (2001, 2005)):

t=Et{t+1} +mct’ ... (2.1)

dengan mct’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state,

 adalah discount factor, dan  adalah koefisien yang merupakan dekomposisi dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajad kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi dari output riil, termasuk levelsteady statedari biaya marginal riil adalah fungsi dari output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut.

mct=( yt– y*t ) ... (2.2)

dengan yt dan y*t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan

tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output/output gap(Gali, 2002) :

t=Et{t+1} +(yt – y*t) ... (2.3)

dengan z .

Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya tradeoff antara inflasi dengan kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial atau output naturalnya. Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana terjadinyatradeoff tersebut, yaitu ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka tingkat inflasi akan lebih tinggi dari ekspektasi inflasi atau inflasi yang diharapkan (e). Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial, maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari ekspektasi inflasi. Berdasarkan ilustrasi tersebut, sesungguhnya persamaan tersebut secara tidak langsung sudah mengakomodir hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukakan Friedman (1968, dalam Roger, 1998), karena saat terjadinya tingkat pengangguran alami maka output yang tercipta adalah output natural yang merupakan pendekatan untuk kondisi output potensial, bahkan dengan landasan teori mikro ekonomi yang lebih kuat. Merujuk pada penjelasan sebelumnya, perlu difahami bahwa tradeoff yang diilustrasikan oleh Gambar 4 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva Phillips versi NKPC bisa berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan


(43)

fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya tradeoffsama sekali.

Pertanyaan yang muncul dari beberapa fakta empiris adalah menyangkut bagaimana fenomena inflasi yang sebenarnya. Beberapa kritik ditujukan pada validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan fenomena forward-looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi, alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena backward-looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali and Gertler (2000) dan Gali et al. (2001) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backward-lookingsebagairule of thumb.

Sumber : Romer (2006)

Gambar 4. Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillips versi NKPC.


(44)

Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat dituliskan sebagai:

ヾt= bヾt-1+ f t{ヾt+1} + mct’ ... (2.4)

atau dengan menggunakan variabel output gap sebagai driving force variabel (Solikin (2004); Mehrotraet al. (2007)) :

ヾt= bヾt-1+ f t{ヾt+1} + (yt– y*t) ... (2.5)

dengan b dan f masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa

parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward-looking danforward-lookingdari inflasi.

2.3.1 Output Potensial danOutput Gap

Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output (output gap) adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial. Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering digunakan untuk menilai sampai sejauh mana efektivitas dari kebijakan makro ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh Friedman (1968, dalam Gibbs, 1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Definisi yang sedikit berbeda dengan Friedman diberikan oleh Okun (1962, dalam Gibbs, 1995), yang mengatakan bahwa output potensial yang diproksi dengan GNP potensial, bukanlah suatu level yang dapat dihasilkan oleh sejumlah permintaan agregat yang tidak terbatas. Suatu negara bisa saja lebih produktif dalam jangka pendek di bawah tekanan inflasi, namun target untuk memaksimumkan produksi dan tingkat penyerapan tenaga kerja dibatasi oleh keinginan untuk melakukan stabilisasi harga dan mendorong terjadinya pasar bebas atau lebih tepatnya pasar persaingan sempurna. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penggunakan tenaga kerja secara penuh (full employment) harus dipahami sebagai tuntutan untuk memaksimumkan produksi tanpa adanya tekanan inflasi (Gibbs, 1995).

Lebih lanjut, Justiniano and Primiceri (2008) memberikan definisi tentang output potensial yang berbeda dengan output natural. Output potensial merupakan tingkatan output yang dihasilkan dalam kondisi pasar barang dan pasar tenaga


(45)

kerja pada pasar persaingan sempurna, sementara output natural adalah output yang dihasilkan ketika pasar tidak dalam keadaan persaingan sempurna namun harga dan upah cukup fleksibel. Berdasarkan perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa definisi Justiniano and Primiceri mengenai output potensial cenderung merujuk pada definisi dari Okun tentang output potensial, sementara definisi tentang output natural tidak berbeda dengan definisi dari Friedman, meski keduanya mensyaratkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment).

Meskipun konsep di atas sudah cukup jelas, namun dalam praktiknya, baik output potensial, output natural dan output gap adalah unobservable component. Banyak kalangan telah memahami bahwa estimasi yang dihasilkan seringkali dapat dikatakan tidak pasti mengingat perbedaan pendekatan yang digunakan. Perbedaan ini menjadi hal yang problematik karena akan menyebabkan cara diagnosa yang berbeda terhadap kondisi makro ekonomi termasuk rekomendasi kebijakan yang akan dibuat. Cerra and Saxena (2000) menyatakan, setidaknya ada enam pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial, yaitu metode Hodrick-Prescott (HP) filter, metode unobserved components dengan beberapa model turunannya, metode struktural VAR dari pendekatan BlanchardQuah, pendekatan fungsi produksi, demand-side model dan sistem estimasi dari output potensial dan NAIRU dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode. Penelitian yang sepertinya bisa menjawab bagaimana dinamika output potensial diperoleh dari Justiniano and Primiceri (2008) dengan menggunakan pendekatandynamic stochastic general equilibrium (DSGE) untuk mengetahui level output potensial dan output natural pada negara Amerika Serikat berdasarkan data PDB triwulanan. Secara umum, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa output potensial terlihat lebih halus sehinggaoutput gap yang dihasilkan cenderung lebih dekat dengan hasil estimasi dengan pendekatan detrending tradisional. Kondisi sebaliknya, output natural cenderung lebih volatile, sebagai akibat tingginya variasi guncangan dari segi markup. Fluktuasi dari guncangan ini terjadi karena pada pasar persaingan yang tidak sempurna, perusahaan memiliki insentif untuk menaikkan atau menurunkan markup agar dapat memaksimumkan keuntungannya.


(46)

2.3.2 Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya (Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009).

Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik, lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent (1993, dalam Orphanides and Williams, 2003) menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi (Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003).

Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari Orphanides dan Williams (2003) karena pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat


(47)

dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille (2009) di Inggris secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanyaimperfect knowledge, akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi.

Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah (wage setters) harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan suku bunga nominal acuan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengukur ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille (2009) mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi, yaitu pendekatan berbasis survei (survey-based measures), pendekatan berbasis


(48)

pasar (market-based measures) dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan, pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan, termasuk juga produktivitas dari pekerja.

Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran. Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3 bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan rencana pembelian barang-barang tahan lama (durable goods).

Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema (2004) tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceran/ritel. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh


(49)

administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common knowledge, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk setidaknya untuk kasus negara Indonesia.

2.4 Pendekatan Kurva AD – AS

Pendekatan AD – AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva, yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand/AD) dan kurva penawaran agregat (aggregate supply/AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan/ ekuilibrium serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran. Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan dan menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output, sedangkan kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006).

2.4.1 Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS – LM yang berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya keseimbangan/ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah :

Y=f(G, r,) ... (2.6) dengan : Y = output

G = belanja pemerintah r = suku bunga riil

 = nilai tukar efektif

Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output


(1)

3. Model Non Spasial untuk Inflation Targeting

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dit Ldpit dxrit, noconstant twostep pre(dm1) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 91 Wald chi2(13) = 4741.49 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .7070446 .1824968 3.87 0.000 .3493573 1.064732 dm1 | -.0470326 .0225161 -2.09 0.037 -.0911634 -.0029019 og | -.0298654 .0701741 -0.43 0.670 -.1674041 .1076732 dir | -.0093091 .001016 -9.16 0.000 -.0113003 -.0073178 dxr | .0536469 .0512908 1.05 0.296 -.0468812 .1541749 dg | -.0099056 .0188083 -0.53 0.598 -.0467691 .026958 dw2 | .0349749 .0124118 2.82 0.005 .0106483 .0593016 dbm | .0765291 .0072253 10.59 0.000 .0623678 .0906904 dw1is | .0015584 .0262057 0.06 0.953 -.0498037 .0529206 dopis | -.0442155 .0483043 -0.92 0.360 -.1388902 .0504592 dit | -.0137814 .0108411 -1.27 0.204 -.0350296 .0074667 Ldpit | .3390343 .1751275 1.94 0.053 -.0042092 .6822779 dxrit | .0090362 .0623018 0.15 0.885 -.113073 .1311453 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dit D.Ldpit D.dxrit

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-3.7782 0.0002 | | 2 | .72025 0.4714 | +---+

H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) = 23.69554


(2)

4. Model Spasial untuk Inflation Targeting

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dit Ldpit dxrit, twostep noconstant end(wdp dopis) pre(dm1 dg) inst(dwdm1 dwdop dwdis) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 172 Wald chi2(14) = 40091.01 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .5851623 .2437148 2.40 0.016 .1074902 1.062834 dm1 | -.0302888 .0252088 -1.20 0.230 -.0796971 .0191196 dg | -.0028372 .0136983 -0.21 0.836 -.0296853 .024011 wdp | .5256722 .2317966 2.27 0.023 .0713592 .9799853 dopis | -.0840878 .2241714 -0.38 0.708 -.5234557 .35528 og | -.0055443 .1834523 -0.03 0.976 -.3651043 .3540156 dir | -.0075647 .0018006 -4.20 0.000 -.0110937 -.0040356 dxr | .0817933 .0570416 1.43 0.152 -.0300062 .1935928 dw1 | -.0113637 .0165039 -0.69 0.491 -.0437107 .0209833 dw2 | .02007 .008863 2.26 0.024 .0026988 .0374411 dbm | .013353 .0343308 0.39 0.697 -.0539341 .0806401 dit | -.0082748 .0110117 -0.75 0.452 -.0298574 .0133078 Ldpit | .1616863 .1823067 0.89 0.375 -.1956283 .5190009 dxrit | -.1141877 .0941069 -1.21 0.225 -.2986339 .0702586 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopis

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dit D.Ldpit D.dxrit dwdm1 dwdop dwdis

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-1.8505 0.0642 | | 2 |-1.0238 0.3059 | +---+


(3)

5. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dopisjw, noconstant twostep pre(dm1) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 89 Wald chi2(11) = 7204.13 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .9655053 .1632286 5.92 0.000 .6455832 1.285427 dm1 | -.0247739 .0149817 -1.65 0.098 -.0541376 .0045897 og | .0529118 .0740884 0.71 0.475 -.0922989 .1981224 dir | -.0085957 .0007773 -11.06 0.000 -.0101193 -.0070722 dxr | .1015132 .0344146 2.95 0.003 .0340619 .1689645 dg | -.0216123 .0186177 -1.16 0.246 -.0581024 .0148778 dw2 | .0317266 .0091069 3.48 0.000 .0138773 .0495758 dbm | .0873215 .0036601 23.86 0.000 .0801478 .0944951 dw1is | .0332082 .0470058 0.71 0.480 -.0589213 .1253378 dopis | -.1244573 .0545049 -2.28 0.022 -.231285 -.0176296 dopisjw | .1406335 .1407875 1.00 0.318 -.1353049 .4165719 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dopisjw . estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 | -3.311 0.0009 | | 2 | .40952 0.6822 | +---+

H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) = 25.05301


(4)

6. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopisjw, lags(1) twostep end(wdp) pre(dm1 dg) artests(2) noconstant inst(dwdw1 dwdis dwdop dwdir) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 160 Wald chi2(12) = 7148.29 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .7561895 .1280899 5.90 0.000 .5051379 1.007241 dm1 | .0008687 .0323231 0.03 0.979 -.0624834 .0642208 dg | -.0204748 .0303788 -0.67 0.500 -.0800162 .0390667 wdp | .3467517 .1338311 2.59 0.010 .0844475 .6090558 og | .0584553 .1147232 0.51 0.610 -.166398 .2833087 dir | -.0070184 .0010363 -6.77 0.000 -.0090496 -.0049872 dxr | .0596659 .0178774 3.34 0.001 .0246268 .0947051 dw1 | -.0287802 .0606251 -0.47 0.635 -.1476033 .0900428 dw2 | .0298834 .0142031 2.10 0.035 .0020457 .057721 dbm | .0482126 .018634 2.59 0.010 .0116906 .0847345 dopis | -.1065468 .2231554 -0.48 0.633 -.5439234 .3308298 dopisjw | .0729332 .8023003 0.09 0.928 -1.499546 1.645413 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dopis D.dopisjw dwdw1 dwdis dwdop dwdir

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-2.2204 0.0264 | | 2 |-.66141 0.5084 | +---+


(5)

7. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopiskti, noconstant twostep pre(dm1 dopis) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 125 Wald chi2(11) = 4439.41 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .9746127 .0605685 16.09 0.000 .8559005 1.093325 dm1 | -.0264368 .0199802 -1.32 0.186 -.0655973 .0127237 dopis | -.1198633 .2023285 -0.59 0.554 -.5164199 .2766932 og | .0498789 .0978794 0.51 0.610 -.1419611 .2417189 dir | -.0086338 .0005892 -14.65 0.000 -.0097885 -.0074791 dxr | .1034889 .0218413 4.74 0.000 .0606808 .1462971 dg | -.0226629 .0234038 -0.97 0.333 -.0685335 .0232077 dw2 | .0322467 .0114377 2.82 0.005 .0098293 .0546642 dbm | .0867466 .0044093 19.67 0.000 .0781044 .0953887 dw1is | .0270403 .0599775 0.45 0.652 -.0905135 .1445941 dopiskti | -.0190201 .3388879 -0.06 0.955 -.6832282 .6451881 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dopis

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopiskti . estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-3.1054 0.0019 | | 2 | .28373 0.7766 | +---+

H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) = 25.06233


(6)

8. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopiskti, twostep noconstant pre(dm1 dg) end(wdp) inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208

Group variable: prov Number of groups = 26

Time variable: tahun

Obs per group: min = 8

avg = 8

max = 8

Number of instruments = 161 Wald chi2(12) = 5181.61 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results

---| WC-Robust

dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

---+---dp |

L1. | .7116251 .1577476 4.51 0.000 .4024455 1.020805 dm1 | .0004783 .0302213 0.02 0.987 -.0587544 .0597109 dg | -.021121 .0346564 -0.61 0.542 -.0890463 .0468043 wdp | .3769383 .1850742 2.04 0.042 .0141995 .7396771 og | .0433946 .0768727 0.56 0.572 -.1072731 .1940622 dir | -.0067615 .0012666 -5.34 0.000 -.009244 -.004279 dxr | .0512392 .0245363 2.09 0.037 .003149 .0993294 dw2 | .0309479 .0161239 1.92 0.055 -.0006545 .0625502 dbm | .0442681 .0232505 1.90 0.057 -.001302 .0898382 dw1 | -.0337499 .0501518 -0.67 0.501 -.1320456 .0645458 dopis | -.1997858 .2997558 -0.67 0.505 -.7872963 .3877246 dopiskti | -.0221821 .4244048 -0.05 0.958 -.8540003 .809636 ---Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp

Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw2 D.dbm D.dw1 D.dopis D.dopiskti dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +---+

|Order | z Prob > z| |---+---| | 1 |-2.1411 0.0323 | | 2 |-.83345 0.4046 | +---+