136
penyesuaian secara nominal ikut membangun ekspektasi masyarakat akan tingkat inflasi yang akan terjadi pada tahun berjalan dan hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Solikin dan Sugema 2004 yang telah disampaikan sebelumnya. Meski hasil penelitian ini tidak berbeda dengan dua penelitian sebelumnya,
namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak menunjukkan pengaruh langsung terhadap inflasi. Studi empiris yang secara eksplisit menyatakan bahwa
administered prices berpengaruh signifikan terhadap inflasi pernah dilakukan oleh
Indrawati 1996, dalam Atmadja, 1999, namun untuk pengaruh signifikan dari penyesuaian gaji pegawai pemerintah terhadap inflasi belum pernah diteliti
sebelumnya dan hal ini merupakan temuan yang signifikan dari penelitian ini.
5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada penelitian ini kebijakan pemerintah daerah hanya difokuskan pada pengeluaran belanja pemerintah daerah
terkait dengan masalah desentralisasi fiskal dan penyesuaian upah minimum provinsi UMP sebagai salah satu jejaring pengaman sosial. Pengaruh dari
penyesuaian UMP secara langsung terhadap inflasi ini diestimasi dengan model spasial dengan pertimbangan metode SAB sudah memasukkan dampak spillover
dari beberapa variabel yang secara spasial akan berpengaruh terhadap inflasi. Pada model non spasial penyesuaian UMP diinteraksikan dengan perubahan kondisi
infrastruktur sehingga akan dibahas pada bagian pengaruh perubahan infrastruktur terhadap inflasi di sub bab selanjutnya.
Pengaruh kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi, seperti dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukkan dampak yang negatif namun tidak signifikan pada
taraf 10. Temuan mengenai pengaruh negatif dari kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi tentu saja tidak sesuai dengan landasan teoritis yang berlaku
secara umum, karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Anomali tersebut tidak terlalu merisaukan karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap
inflasi, namun tetap menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah hanya terjadi di Indonesia atau pernah terjadi pada negara lainnya.
Terkait dengan dampak pengeluaran belanja pemerintah daerah terhadap inflasi dalam kerangka desentralisasi fiskal, terdapat dua penelitian yang
menyimpulkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini, yaitu Oommen 2008
137
yang melaporkan penelitian di India dan Bodman et al. 2009 untuk negara Australia. Lebih lanjut, hasil penelitian di Australia menyimpulkan bahwa
penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Rekam jejak hasil penelitian tersebut tentu menarik untuk dibandingkan dengan kondisi di
Indonesia. Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan adanya korelasi yang cukup kuat
antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi, sebagaimana disajikan pada Tabel 16.
Artinya, semakin besar pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi demi menutup
pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola
keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang sah. Berdasarkan arah hubungan yang diperlihatkan pada Tabel 16 maka penjelasan
mengenai dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap inflasi terjawab. Tabel 16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan
penerimaan daerah tahun 2000 – 2009
Wilayah Penerimaan Daerah
Pajak Daerah P Retribusi R
P + R Jawa
0.6559 0.9397
0.7444 Luar Jawa
0.7413 0.7771
0.7604 KBI
0.7834 0.9110
0.8285 KTI
0.7168 0.6491
0.7251 Total
0.7663 0.8907
0.8091
Sumber : Kemenkeu diolah
Selanjutnya, untuk menjelaskan pengaruh negatif dan tidak signifikan dari penyesuaian UMP terhadap inflasi sepertinya harus memperhatikan dampaknya
terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Sugiyarto dan Endriga 2008 mencatat adanya dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap
penyerapan tenaga kerja untuk golongan tidak terdidik, namun memberi dampak positif bagi kalangan tenaga kerja terdidik di Indonesia. Studi sebelumnya dari
Maning 2003, dalam Sugiyarto dan Endriga, 2008 menyatakan dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja secara
138
total, artinya kenaikan upah minimum berdampak positif pada tingkat pengangguran. Studi dari Maning ini secara tidak langsung menyimpulkan hasil
penelitian Sugiyarto dan Endriga mengingat jumlah tenaga kerja tidak terdidik lebih besar dibanding kalangan pekerja terdidik. Fakta terkini dari kedua
penelitian tersebut bisa dibandingkan dengan respon pasar tenaga kerja di Indonesia yang menyatakan adanya korelasi positif antara besarnya UMP dengan
tingkat pengangguran seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan hubungan yang tidak semestinya seperti diperlihatkan pada Tabel 17 menyebabkan
kebalikan dari mekanisme transmisi dari UMP terhadap inflasi, sehingga pengaruhnya menjadi negatif.
Tabel 17. Korelasi antara upah minimum provinsi UMP riil dengan tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009
Wilayah Periode
2000 - 2004 2005 - 2009
2000 - 2009 Jawa
0.6714 0.4668
0.5761 Luar Jawa
0.5383 0.0161
0.3120 KBI
0.5936 0.1298
0.3852 KTI
0.4561 0.0873
0.2721 Total
0.5456 0.1032
0.3440
Sumber : Kemenakertrans dan BPS diolah
Berkenaan dengan dampak UMP yang tidak signifikan terhadap inflasi, pada pembahasan tentang kausalitas granger telah disinggung bahwa arah
hubungan antara keduanya adalah inflasi memengaruhi UMP tetapi tidak sebaliknya. Hal ini terkait dengan perilaku wage setter dalam menetapkan upah
yang cerderung backward looking dibanding forward looking, sehingga inflasi secara signifikan memengaruhi penyesuaian upah minimum. Kondisi yang hampir
sama, yaitu penyesuaian upah tidak secara signifikan memengaruhi inflasi juga dikemukakan oleh Hess and Schweitzer 2000 pada studi di Amerika Serikat.
Penelitian Lemos 2004b untuk kasus negara yang sama menyatakan bahwa pengaruh penyesuaian upah minimum relatif kecil terhadap inflasi.
5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter