Tabel 5. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis
No. Variabel Keterangan
Sumber 1. IHK
rebasing : tahun dasar 2000
BPS : diolah 2. PDRB adhk
rebasing : tahun dasar 2000 jutaan rupiah
BPS : diolah 3. KURS
Rupiah per dolar AS BI
4. Suku bunga BI rate
BI 5. Jumlah uang beredar
Jumlah uang beredar dalam arti sempitM1 BI
6. Indeks Harga BBM rebasing
: tahun dasar 2000 BPS : diolah
7. Upah Minimum Provinsi UMP
Dalam rupiah Kemenakertrans
8. Gaji PNS terendah Dalam rupiah
Kemenkeu 9.
Panjang jalan Panjang jalan raya dengan kondisi baik km
BPS 10. Luas wilayah
Dalam km
2
BPS 11. Ekspor
Nilai ekspor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku jutaan rupiah
BPS 12. Impor
Nilai impor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku jutaan rupiah
BPS 13. PDRB adhb
PDRB atas dasar harga berlaku jutaan rupiah BPS
14. IRIO 2005 Digunakan sebagai matriks penimbang spasial
model spatial lag W Bappenas
BPS : diolah Keterangan :
jumlah uang beredar pada level nasional
Selanjutnya, mengingat keterbatasan data untuk jumlah uang beredar pada tingkat provinsi, maka dilakukan estimasi dengan metode proporsi jumlah uang
beredar dalam arti sempit pada level nasional dengan alokator yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga berlaku adhb menurut provinsi. Estimasi ini
merujuk pada teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar berbanding lurus dengan aktivitas perekonomian yang diproksi dengan PDRB atas
dasar harga berlaku. Alasan lain dalam penggunaan indikator PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi sebagai pendekatan dari jumlah uang beredar
menurut provinsi adalah korelasinya yang tinggi dengan jumlah uang beredar pada level nasional.
3.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk kondisi Indonesia adalah:
1. Inflasi inersia memberikan peran yang positif dan signifikan dalam pembentukan inflasi.
2. Kesenjangan output output gap tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan inflasi.
3. Perbaikan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi. 4. Perbedaan laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan
derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi yang signifikan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Barat
Indonesia KBI dengan Kawasan Timur Indonesia KTI. 5. Pergerakan nilai tukar dolar AS memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi . 6. Pengaruh penetapan upah minimum provinsi UMP tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas inflasi. 7. Peningkatan belanja pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 8. Penyesuaian harga BBM yang memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap volatilitas inflasi . 9. Penyesuaian gaji PNS yang dilakukan memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi . 10. Penyesuaian suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia memberikan
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 11. Pertumbuhan jumlah uang beredar M1 memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 12. Penargetan inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan exchange rate pass through
ERPT.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Dinamika Inflasi Regional
Sepanjang tahun 2000 – 2009, terlihat tingkat inflasi Indonesia pada tingkat nasional selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78
terjadi pada tahun 2009 saat harga BBM diturunkan oleh pemerintah dan tertinggi, yaitu mencapai 17,11 ketika dilakukan penyesuaian harga BBM tahun 2005
Gambar 1.1. Tidak berbeda dengan kondisi inflasi tingkat nasional, pada tataran provinsi juga terjadi inflasi yang selalu bernilai positif dalam kurun waktu yang
sama di seluruh provinsi Indonesia. Selama periode tahun 2000 – 2009, tercatat inflasi tertinggi terjadi di NAD, yaitu sebesar 41,12 pada tahun 2005 dan
terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003 dengan inflasi sebesar 0,69 Gambar 8. Khusus untuk NAD, demikian tingginya inflasi di
provinsi ini dibanding provinsi lainnya pada tahun 2005 terkait erat dengan kondisi
pasca bencana
tsunami yang
menyebabkan rusaknya
sebagian infrastruktur di provinsi tersebut, ditambah dengan adanya penyesuaian harga
BBM bersubsidi yang naik melebihi 80. Secara umum, jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi untuk setiap
provinsi sebagaimana ditunjukkan oleh garis berwarna merah pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di
Indonesia melebihi rata-rata inflasi tahun 2000–2009. Selain kedua tahun tersebut, inflasi pada tahun 2001 juga hampir menyebabkan tingkat inflasi di hampir semua
provinsi lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali untuk provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi yang hampir menyerupai
tahun 2001 adalah inflasi tahun 2002, dapat dilihat, kecuali lima provinsi, yaitu NAD, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB, tingkat
inflasi pada setiap provinsi melebihi rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009. Lebih lanjut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari tingkat rata-ratanya juga terjadi
setidaknya di lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000. Visualisasi dari kondisi inflasi di setiap provinsi untuk tahun 2000 – 2009 secara
rinci dapat dilihat pada Gambar 8.