89
4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar
Pihak otoritas moneter bisa menggunakan beberapa instrumen kebijakan moneter demi mencapai tujuan yang diinginkan seperti memacu pertumbuhan
ekonomi, mengendalikan harga atau tingkat inflasi maupun melakukan stabilisasi nilai tukar. Beberapa instrumen yang bisa digunakan diantaranya adalah
penetapan suku bunga acuan, pengendalian jumlah uang beredar, baik secara langsung melalui penambahan atau pengurangan monetary base atau secara tidak
langsung dengan menetapkan Giro Wajib Minimum GWM. Disamping itu, beberapa kebijakan moneter lainnya yang bersifat persuasif juga dibuat sebagai
alternatif dari beberapa instrumen yang telah umum dilaksanakan.
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 9. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar M1 tahun 2003 – 2009.
Terkait dengan kebijakan moneter di Indonesia yang notebenenya merupakan satu kesatuan sistem moneter, sub bab ini dibatasi hanya membahas
mengenai suku bunga acuan BI rate dan jumlah uang beredar dalam arti sempit
100 200
300 400
500 600
M1 triliun rupiah : sumbu kanan
5 8
11 14
17 20
Ja n
-0 3
A p
r- 3
Ju l-
3 O
c t-
3 Ja
n -0
4 A
p r-
4 Ju
l- 4
O c
t- 4
Ja n
-0 5
A p
r- 5
Ju l-
5 O
c t-
5 Ja
n -0
6 A
p r-
6 Ju
l- 6
O c
t- 6
Ja n
-0 7
A p
r- 7
Ju l-
7 O
c t-
7 Ja
n -0
8 A
p r-
8 Ju
l- 8
O c
t- 8
Ja n
-0 9
A p
r- 9
Ju l-
9 O
c t-
9
ORI Deposito
Investasi BI Rate
90
M1 dan bagaimana beberapa suku bunga lainnya di Indonesia. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk melihat sampai dimana instrumen kebijakan moneter
yang dirancang oleh Bank Indonesia dapat memengaruhi perilaku dari beberapa variabel moneter lainnya, seperti suku bunga simpanan suku bunga deposito,
suku bunga pinjaman suku bunga investasi, jumlah simpanan tabungan dan jumlah kredit pinjaman di Indonesia.
Merujuk pada Gambar 9 dapat dilihat, sejak Agustus 2006 sampai Desember 2009, suku bunga acuan BI rate harus bersaing dengan hadirnya
obligasi pemerintah yang diwakili oleh Obligasi Ritel Indonesia ORI. Secara umum, imbal hasil yang diberikan oleh ORI dalam kurun waktu tersebut lebih
besar dibanding suku bunga acuan yang ditetapkan oleh otoritas moneter kecuali pada November 2008. Tingginya imbal hasil yang diberikan oleh ORI, relatif
terhadap besarnya BI rate dapat menyebabkan instrumen kebijakan moneter tidak dapat bekerja sesuai yang diharapkan sehingga dikhawatirkan target makro
ekonomi yang merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter tidak akan tercapai. Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan mengingat suku bunga deposito yang
dirancang untuk menghimpun dana masyarakat dan kemudian digulirkan kembali dalam bentuk pinjaman atau kredit, selalu lebih rendah dibandingkan imbal hasil
yang diberikan oleh ORI. Akibat kondisi ini, sangat dimungkinkan bila sebagian dana masyarakat tersebut kemudian dapat beralih ke obligasi pemerintah yang
menawarkan keuntungan yang lebih tinggi. Adanya peralihan dana masyarakat dari deposito ke ORI dalam jangka
panjang bisa menyebabkan terjadinya kekeringan likuiditas moneter dan sektor perbankan tentunya akan mengalami kesulitan dalam menarik dana masyarakat
sehingga pihak perbankan akan berfikir ulang untuk bisa menyalurkan kredit, baik untuk investasi maupun untuk modal usaha. Akibatnya kekeringan likuiditas ini,
sektor perbankan akan menetapkan tingkat suku bunga yang cukup tinggi untuk suku bunga pinjaman. Sangat disadari bahwa, dengan tingginya suku bunga
pinjaman ini, di satu sisi dapat meredam tingkat inflasi yang tinggi, namum demikian, di sisi lain tentu saja akan membuat sektor riil akan mengalami
kesulitan untuk melakukan ekspansi dan hal ini akan membuat roda perekonomian akan mengalami perlambatan.
91
Mekanisme transmisi yang secara implisit telah disampaikan sebelumnya sesungguhnya dapat dilihat dari perilaku suku bunga simpanan yang diwakili oleh
suku bunga deposito dari bank umum sangat mirip dengan perilaku dari suku bunga acuan BI rate, artinya fluktuasi dari suku bunga deposito mengikuti
pergerakan dari BI rate. Secara implisit, pergerakan ini mengisyaratkan bahwa instrumen kebijakan moneter dalam bentuk penetapan BI rate cukup efektif dalam
memengaruhi suku bunga deposito. Sayangnya, instrumen kebijakan moneter tersebut tidak cukup efektif dalam memengaruhi suku bunga investasi. Hal ini bisa
dilihat dari besarnya margin antara suku bunga investasi dengan BI rate yang secara rata-rata mencapai 5,46 sepanjang tahun 2000 – 2009, sementara margin
antara suku bunga deposito dengan suku bunga acuan BI hanya sebesar 0,58 untuk periode yang sama. Sebaliknya, margin antara suku bunga investasi dengan
imbal hasil yang diberikan oleh ORI lebih rendah dibanding margin antara suku bunga investasi dengan BI rate, yaitu rata-rata sebesar 3,25.
Masih dari Gambar 9, dapat dilihat tren pertumbuhan M1 jumlah uang beredar dalam arti sempit yang terus meningkat sejak Januari 2003 sampai
Desember 2009. Seiring dengan M1 penambahan M1, suku bunga investasi menunjukan tren penurunan yang cukup signifikan, dari sebelumnya sekitar 17
pada Januari 2003 hingga mencapai sebesar 13-an pada akhir tahun 2009. Berbeda dengan suku bunga investasi, pengaruh dari penambahan M1 pada suku
bunga deposito tidak terlalu terlihat karena pergerakan suku bunga deposito sepanjang tahun 2003 – 2009 tidak menunjukkan tren yang meningkat atau
menurun. Kondisi ini tentu saja terkait erat dengan pengaruh dari suku bunga acuan dari BI yang sangat kuat terhadap suku bunga deposito sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya. Berdasarkan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa baik suku bunga acuan BI maupun M1 hanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap salah satu dari dua variabel moneter yang diteliti saja
namun tidak pada keduanya. Konsekuensinya, baik pengaruh BI rate maupun M1 relatif kecil, khususnya terhadap seluruh variabel moneter dan bukan tidak
mungkin jika pengaruh keduanya terhadap variabel makro ekonomi lainnya juga relatif kecil.
9 2
Su mb
er :
Ban k
In d
o n
es ia
Ga mbar
10. P
erke mbanga
n jum
lah simpana
n dan
kredit menurut
pr ovinsi
tahun 2003
– 2009
dalam tr
il iun
rupi ah.
S im
p a
n a
n
K re
d it
N A
D
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
S u
m u
t
2 4
6 8
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
S u
m b
a r
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
R ia
u
1 5
3 4
5 6
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
Ja m
b i
5 1
1 5
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
S u
m se
l
1 2
3 4
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
B e
n g
k u
lu
2 4
6 8
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
L a
m p
u n
g
5 1
1 5
2 2
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
D K
I
2 4
6 8
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Ja b
a r
5 1
1 5
2 2
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Ja te
n g
3 6
9 1
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
D IY
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Ja ti
m
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
B a
li
1 2
3 4
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
K a
lb a
r
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
K a
lt e
n g
3 6
9 1
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Ka ls
e l
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
K a
lt im
1 2
3 4
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
S u
lu t
5 1
1 5
2 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
S u
lt e
n g
2 4
6 8
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
S u
ls e
l
1 2
3 4
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
S u
lt ra
1 2
3 4
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
N T
B
2 4
6 8
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
N T
T
2 4
6 8
1 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
M a
lu k
u
2 4
6 8
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
P a
p u
a
5 1
1 5
2 2
5 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
93
Selanjutnya, dari Gambar 10 dapat dilihat bagaimana pengaruh tidak langsung dari instrumen moneter seperti penetapan BI rate dan penambahan M1
terhadap jumlah simpanan tabungan dan jumlah kredit pinjaman pada seluruh provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009. Secara umum, baik jumlah
simpanan maupun jumlah kredit pada setiap provinsi terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali untuk jumlah simpanan pada NAD yang
sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan tahun 2009 serta pada Provinsi Bengkulu pada tahun 2009, masing-masing dibanding periode
sebelumnya. Secara rata-rata, pertumbuhan jumlah simpanan dari setiap provinsi berkisar antara 13
25, sementara pertumbuhan jumlah kredit mencapai sekitar 19 – 35, untuk periode tahun 2003 – 2009. Tingkat pertumbuhan
terendah untuk jumlah simpanan terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, yaitu 13 – 15 untuk pertumbuhan simpanan, sementara untuk pertumbuhan
jumlah kredit terendah, yaitu sekitar 19 – 23 terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Barat, Riau dan Bali. Diduga, pertumbuhan kredit yang
cukup tinggi terkait erat dengan penurunan tingkat suku bunga investasi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sementara rendahnya pertumbuhan
simpanan secara relatif dibanding pertumbuhan kredit berhubungan dengan tingkat suku bunga deposito yang tidak menunjukkan adanya tren meningkat.
Meski pertumbuhan jumlah kredit secara relatif terhadap jumlah simpanan lebih tinggi di setiap provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009, namun
secara absolut, jumlah kredit yang lebih tinggi dibanding jumlah simpanan hanya terjadi di 14 provinsi dan umumnya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 saja. Untuk
11 provinsi lainnya, yaitu NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan
Papua, secara absolut, jumlah kredit yang dicairkan tidak pernah lebih tinggi dibanding jumlah simpanan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa
dengan penambahan jumlah uang beredar M1, tidak serta merta diikuti nilai absolut kredit yang lebih tinggi dibanding nilai absolut simpanan untuk semua
provinsi di Indonesia. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pengaruh M1 terhadap perilaku masyarakat Indonesia dalam menabung maupun
meminjam uang di sektor perbankan tidak terlihat signifikan.
94
4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI