Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi

142 dan pertumbuhan M1 terlihat demikian kuat, sementara pada masa non krisis, ketika inflasi pada level yang cukup moderat, hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Penelitian dari Anglingkusumo 2005 tersebut sepertinya memberi jawaban mengapa pertumbuhan M1 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Selain hasil penelitian tersebut, pada pembahasan bab sebelumnya telah diperlihatkan dampak tidak langsung dari pertumbuhan M1 terhadap jumlah kredit dan simpanan pada level provinsi Gambar 10. Secara umum, dari gambar tersebut dapat dilihat jumlah simpanan cenderung lebih besar dibanding jumlah pinjaman pada hampir seluruh provinsi, sementara kondisi sebaliknya hanya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 dan sebagian provinsi saja. Berdasarkan penjelasan tambahan yang merujuk pada data faktual dan hasil penelitian sebelumnya tersebut, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa penambahan M1 tidak secara signifikan menyebabkan terjadi inflasi telah terjawab.

5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi

Fokus utama dalam menelaah dampak kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi inflation targeting frameworkITF adalah melakukan stabilitas harga atau menurunkan volatilitas inflasi, penurunan persistensi inflasi dan penurunan exchange rate pass through ERPT. Oleh karenanya dalam model penargetan inflasi dari persamaan 3.7 dibuat variabel dummy intersep dit untuk melihat apakah dampak kebijakan ITF dapat menurunkan volatilitas inflasi dan dua variabel dummy slope guna menangkap perubahan perilaku dari persistensi inflasi lag P  DIT dan perilaku dari ERPT XR  DIT setelah diberlakukan kebijakan ITF secara penuh sejak tahun 2005. Hasil estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB sebagaimana disajikan pada Tabel 14 menyatakan bahwa kebijakan ITF tidak berdampak signifikan terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi atau bahkan penurunan pass through . Sebaliknya jika diperiksa lebih lanjut, nilai koefisien dari persistensi inflasi yang positif secara implisit menyatakan bahwa terjadi peningkatan persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dibanding periode sebelumnya, bahkan estimasi dengan metode non spasial memperlihatkan pengaruhnya signifikan terhadap peningkatan persistensi inflasi. Bukti mengenai dampak ITF 143 yang tidak signifkan terhadap penurunan persistensi inflasi dan penurunan ERPT sejalan dengan penelitian dari Prasertnukul et al. 2010 yang menyatakan hal yang sama, namun tanda koefisien dari dummy slope untuk persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dari kajian terdahulu tersebut berlawanan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Terkait dengan hasil tersebut, pada pembahasan mengenai penyesuaian harga BBM dan gaji PNS di bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian gaji pegawainya sejak tahun 2006 sementara tekanan harga minyak mentah di pasar internasional terus meningkat dan sempat beberapa kali melewati level 100 dolar ASbarel mulai tahun 2005. Disamping itu, pada paruh akhir 2007 terjadi krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa di Indonesia pada Juli 2008 dan membuat inflasi mencapai level dua digit, demikian pula di tahun 2005. Akibat berbagai penyebab ini, maka persisten inflasi akan meningkat dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang disimpulkan berdasarkan model penargetan inflasi. Hasil ini tentu saja menguatkan bahwa pengaruh penyesuaian BI rate relatif kecil dalam meredam laju inflasi karena ekspektasi inflasi cenderung backward looking dan membuat inflasi menjadi kian persisten. Tabel 18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 Tahun Target Inflasi Realisasi Inflasi Inflasi Umum Inflasi Inti 2000 3,0 - 5,0 9,35 - 2001 4,0 - 6,0 12,55 - 2002 9,0 - 10,0 10,03 - 2003 8,0 - 10,0 5,06 - 2004 4,5 - 6,5 6,40 - 2005 5,0 - 7,0 17,11 - 2006 8,0 - 9,0 6,60 6,03 2007 5,0 - 7,0 6,59 6,29 2008 6,5 - 7,0 11,06 8,29 2009 3,0 - 5,0 2,78 4,28 Sumber : Bank Indonesia dan BPS Keterangan : revisi target Berkenaan dengan hasil estimasi dari model penargetan inflasi yang menyatakan bahwa tidak terjadi penurunan volatilitas inflasi atau dengan kata lain tidak terjadi penurunan level inflasi setelah diterapkannya ITF secara penuh sejak tahun 2005, diperoleh bukti berdasarkan data inflasi menurut provinsi 144 sebagaimana disajikan pada Gambar 8 bab IV, bahwa penurunan tingkat inflasi setelah tahun 2005 tidak terjadi pada seluruh provinsi, melainkan hanya pada sebagian provinsi saja, bahkan . Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kebijakan ITF dinilai tidak berhasil secara signifikan dalam menurunkan inflasi dan hal ini telah disampaikan secara implisit pada bab sebelumnya. Berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh sebelumnya, kebijakan ITF yang belum terlihat signifikan memengaruhi inflasi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman selama tahun 2000 – 2009, yang menunjukkan bahwa dari sejumlah realisasi inflasi umum dalam periode tersebut, hampir seluruhnya melenceng dari tingkat inflasi yang ditargetkan Tabel 18. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ITF secara penuh baru dilaksanakan sejak 2005, meskipun untuk periode sebelumnya setelah krisis 1998, Indonesia secara tidak langsung telah menganut kebijakan lite inflation targeting melalui pengendalian nilai tukar nominal, sesuai amanat dari UU No. 231999 tentang Bank Indonesia. Terkait dengan kurang berhasilnya kebijakan ITF di Indonesia, penelitan Habermeier et al. 2009 mengenai opsi kebijakan moneter di negara-negara yang mengadopsi ITF dalam menghadapi tekanan inflasi termasuk negara-negara yang tidak mengadopsinya sebagai pembanding menyatakan, kurangnya kredibilitas dari pihak bank sentral merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab tidak bekerjanya kebijakan tersebut secara efektif. Kurangnya kredibilitas tersebut berhubungan erat dengan lambatnya reaksi dari bank sentral atas kemungkinan terjadinya inflasi yang tinggi sehingga akan memicu ekspektasi inflasi tetap pada level yang tinggi, karena ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking. Disamping itu, seberapa cepat penyesuaian dan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter juga terkait dengan kredibilitas bank sentral. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah pernyataan dari Bank Indonesia tentang BI rate sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan ITF yang hanya dapat memengaruhi inflasi inti tetapi tidak dapat memengaruhi inflasi umum inflasi IHK, terkait dengan besarnya supply shock yang terjadi di Indonesia, sementara kebanyakan masyarakat lebih familiar dengan inflasi umum dibanding inflasi inti, sehingga target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tentunya dibandingkan dengan besarnya inflasi umum bukan inflasi inti. Secara 145 psikologis, pernyataan Bank Indonesia tersebut menyiratkan kurangnya tingkat kepercayaan dan kredibilitas dari bank sentral dalam mengendalikan inflasi, karena hanya bisa mengendalikan inflasi inti saja yang tidak terpengaruh oleh gangguan dari sisi penawaran, seperti tidak lancarnya distribusi barang atau karena volatilitas dari produk makanan dan energi.

5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan