Teori Semiotik Landasan Teori

ban harus dijunjung tinggi. Artinya berupaya mengenal hak dan menikmatinya secara wajar, mengetahui kewajibannya dalam menunaikan sebaik-baiknya. Keseimbangan, terutama antara hak dan kewajiban merupakan inti dari harmoni Koentjaraningrat dalam Budiono Herusatoto, 1984: 100 .

1.6.3 Teori Semiotik

Untuk mengkaji struktur pertujukan nyanyian katoneng-katoneng, penulis mempergunakan teori semiotik. Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Menurut Encylopedia Brittanica 2007 pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini. Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign- using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirces seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: 1 an icon, which resembles its referent such as a road sign for falling rocks; 2 an index, which is associated with its referent as smoke is a sign of fire; and 3 a symbol, which is related to its referent only by convention as with words or traffic signals. Peirce also demonstrated that a sign can Universitas Sumatera Utara never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussures distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism q.v., which seeks to analyze these relations. Saussures theories are thus also considered fundamental to structuralism especially structural linguistics and to poststructuralism. Modem semioticians have applied Peirce and Saussures principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi- Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi sound image atau signifier yang berhubungan dengan konsep signified. Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1 representatum, 2 pengamat interpretant, dan 3 objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, Universitas Sumatera Utara indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda sign serta tanda- tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausure. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya- karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: a ikon, yang disejajarkan dengan referennya misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan; b indeks, yang disamakan dengan referennya asap adalah tanda adanya api dan c simbol, yang berkaitan dengan referentnya Universitas Sumatera Utara dengan cara penemuan seperti dengan kata-kata atau signal trafik. Ketiga aspek tanda ini penulis gunakan untuk mengkaji teks katoneng-katoneng. Untuk lebih memperinci teori semiotik ini maka penulis mendeskripsikan empat teori semiotik yang digunakan untuk mengkaji makna teks katoneng- katoneng. Keempat teori semiotik itu adalah: 1 semiotik Peirce, 2 semiotik Saussure, 3 semiotik Barthes, dan 4 semiotik Halliday. 1. Semiotik Charles Sanders Peirce Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda sign, object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol tanda yang muncul dari kesepakatan, ikon tanda yang muncul dari perwakilan fisik, dan indeks tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat. Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda Santosa, 1993:10 dan Pudentia, 2008:323 Tabel 1.1 Segitiga Makna Objek Representamen Interpretan Universitas Sumatera Utara Menurut Peirce Santosa,1993:10 pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut. Tabel 1.2: Pembagian Tanda Ground representamen: tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum. Objek referent: yaitu apa yang diacu. Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau. Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta. Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain. Sinsigntokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas. Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api. Dicent sign: tanda sebagai fakta pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir. Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan suatu Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar Universitas Sumatera Utara konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran. tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata. bahar dengan alasan kesehatan. Sumber: Erni Yunita 2011. Tabel 1.3: Hubungan Tanda Sumber: Erni Yunita 2011 Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif Universitas Sumatera Utara yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen R, Object O, dan Interpretant I. R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh O, kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara R dan O. Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah R, maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang” O, selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang di situ” I. Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. 2. Semiotik Ferdinand de Saussure Teori semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure 1857-1913. Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian dikotomi yaitu penanda signifier dan pertanda signified. Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi danatau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut Culler, 1996:7. Bagan berikut tentang tanda sign yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dalam Djajasudarma, 1993:23. Universitas Sumatera Utara Tabel 1.4: Tentang Tanda Signifiant signifier “yang menandai” citra bunyi misalnya: pohon [p o h o n] Signe Signifie signified “yang ditandai” pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. Contoh: Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa signe linguistique atau signe bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur- unsurnya membentuk satu rangkaian unsur yang satu mengikuti unsur lainnya. Tabel 1.5: Tentang Hubungan Tanda tangkal Pohon tangkal Universitas Sumatera Utara ---------- signification -------------- Menurut Saussure Chaer, 2003:348, tanda terdiri dari: a bunyi-bunyian dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan b konsep-konsep dari bunyi- bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” signifier dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan signified. Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau Signsymbol Signifier Signified Universitas Sumatera Utara gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.” 3. Semiotik Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes 1915-1980, dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti Barthes, 2007:82. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure dalam Aminuddin, 1995:168 hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E dan petanda disebut contenu content “isi” dilambangkan dengan C. Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi R. Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi dan denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini Pudentia, 2008:335. Universitas Sumatera Utara Tabel 1.6: Konotasi dan Metabahasa Denotasi \ Objek bahasa Konotasi Metabahasa Contoh : Tempat jin turun berkecimpung E C Denotasi Konotasi E C E C Objek bahasa Metabahasa E C 4. Semiotik Halliday Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di University of Sydney. Kata sistemik adalah suatu E d C d E d C d E d C d E C Jin makhluk Jin berkecimpun Jin bermain air mandi Jin Bergembira menerima persembahan Universitas Sumatera Utara teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem Halliday dkk., 1992:4. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi. Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti semantic atau discourse semantics direalisasikan bentuk grammar atau lexicogrammar dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonologygraphology Saragih, 2000:1. Universitas Sumatera Utara Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology.

1.6.4 Teori Weighted Scale