Tinjauan Pustaka Metode Penelitian

2. Sumbangsih bagi Pengembangan ilmu-ilmu seni seperti etnomusikologi, Semiotik, sosiologi, dan pengkajian budaya, yang bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian lapangan.

1.4 Tinjauan Pustaka

Selain nara sumber sebagai salah satu dari sumber data maka penulis juga mempelajari dari bahan tertulis dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keorisinalitasan keaslian hasil penelitian. Artinya bahwa kajian yang dilakukan penulis bukanlah plagiarismeplagiat dari penelitian lain. Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi kepustakaanliteratur yang penulis lakukan di antaranya mengkaji sumber data yang berupa tulisan hasil karya ilmiah, hasil seminar, jurnal penelitian, laporan penelitian, artikel dan lain-lain. Beberapa sumber bacaan terdahulu yang dikaji oleh peneliti, yang temanya tentang musik vokal tradisional seperti mangmang ditulis oleh Sondang 1992, nendong ditulis oleh Nurkariana 1993, gendang raleng-raleng keramat ditulis oleh Sinar 1992, dan didong doah ditulis oleh Rumondang Siahaan. Masing-masing musik vokal ini ditulis dalam bentuk skripsi sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selain itu beberapa buku yang mendukung tulisan ini seperti Karo dari Zaman ke Zaman yang ditulis oleh Brahma Putro, diterbitkan oleh Ulih Saber. Adat Istiadat Karo, yang ditulis oleh P. Tambun. Kesenian Kebudayaan Tradisional Karo ditulis oleh P. Sitepu. Mengenal Universitas Sumatera Utara Kebudayaan Karo, ditulis oleh Bujur Sitepu.Sejarah dan Kebudayaan Karo ditulis oleh Darwan dan Darwin Prinst. Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah Pada Masyarakat Karo, yakni Skripsi Sarjana S1 Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang ditulis oleh Anton Sitepu yaitu penulis sendiri.

1.5 Kerangka Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588.

1.5.1 Tentang Adat Istiadat

Adat istiadat adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang bertingkah laku dalam masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu memerlukan usaha untuk memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam pengertian ini berfungsi sebagai dasar pembanguan hukum adat positif yang lain . Adat istiadat yang lebih nyata yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari Mohammad Daud Ali, 1999: 196. Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Universitas Sumatera Utara Menurut Soleman B. Taneko 1987: 12,adat istiadat dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat istiadat dan hukum adat. Suatu adat istiadat yang hidup menjadi tradisi dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum hukum adat. Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam proses terwujudnya hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi yang diberikan oleh Van den Berg yang dengan teori reception in complex menurut pandangan adat istiadat suatu tradisi dan kebiasaan nenek moyang kita yang sampai sekarang masih dipertahankan untuk mengenang nenek moyang kita juga sebagai keanekaragaman budaya. Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama. Jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas ini selalu berulang kembali dalam jangka waktu tertentu bisa harian, mingguan, bulanan, tahunan dan seterusnya, sehingga membentuk suatu pola tertentu. Adat istiadat berbeda satu tempat dengan tempat yang lain, demikian pula adat di suatu tempat. Adat istiadat yang mempunyai akibat hukum dinamakan hukum adat. Adat istiadat juga mempunyai akibat -akibat apabila dilanggar oleh masyarakat,dimana adat istiadat tersebut berlaku. Adat istiadat tersebut bersifat tidak tertulis dan terpelihara turun temurun, sehingga mengakar dalam masyarakat, meskipun adat tersebut tercemar oleh kepercayaan ajaran nenek moyang, yaitu Animisme dan Dinamisme serta agama yang lain. Dengan demikian adat tersebut akan mempengaruhi bentuk keyakinan sebagian masyarakat yang mempercampur adukan dengan agama Islam Iman Sudiyat, 1982: 33. Universitas Sumatera Utara Adat istiadat suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Biasanya diikuti atau diwujudkan oleh banyak orang. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat adalah aktivitas prilaku-prilaku, tindakan -tindakan individu satu terhadap yang lain yang kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial. Perilaku dan tindakan manusia pada dasarnya adalah gerak tumbuh manusia. Pada masyarakat Karo adat dan hukum adat dipergunakan secara bersamaan. Adat dan hukum adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat, pengaruhnya serta daya ikatnya yang sangat kuat bergantung kepada masyarakat hukum adat itu, terutama berpangkal tolak dari perasaan keadilan yang ilahirkannya, atau diberikannya. Adat istiadat yang mengandung makna hukum memiliki fungsi pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat. Penegak keadilan, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan, dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. Hal lainnya yang menjadi pendorong sebagai pendorong, penertib adalah faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat. Daliken si telua sangkep nggeluh adalah aktor penggerak adat istiadat masyarakat Karo. Hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Di dalam tubuh daliken si telu ada dua unsur, unsur pertama adalah sistem masyarakat yang bersifat terbuka. Ini berhubungan dengan manusia sebagai subyek dan obyek. Unsur yang kedua adalah psiko budaya. Ini berhubungan dengan nilai, alat untuk mengendalikan, alat untuk mengikat aktor yang tiga tersebut. Universitas Sumatera Utara Menurut Singarimbun 1962 segala kegiatan sosial pada masa lalu baik itu yang berkaitan dengan politik, hukum, ekonomi, ritual dan lainlain, selalu iselesaikan bersendi kepada kekerabatan. Faktor keamanan adalah suatu masalah yang serius masa itu, hal ini karena kekuasaan politik yang umumnya bergandengan dengan penjagaan keamanan, masih terpecah belah. Di dalam jaringan-jaringan kekerabatan, hal ini memegang peranan yang menentukan, baik di dalam keselamatan individu maupun keselamatan kampung sebagai suatu persekutuan hidup yang terpenting. Jaringan-jaringan kekerabatan yang dimaksud ini juga melalui saluran-saluran tri tunggal, daliken si telu anakberu senina dan kalimbubu bersama penghulu desa mempunyai peranan masing-masing di dalam melaksanakan, memerintah dan hukum di dalam arti luas. Diantara mereka terjalin suatu hubungan masing-masing dengan fungsinya, sehingga terbentuklah suatu jaringan fungsi yang harmonis. Pada daliken si telu inilah terletak azas gotong royong dan musyawarah dalam arti kata yang se dalam-dalamnya

1.5.2 Tentang Masyarakat

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Istilah masyarakat berasal Dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti ikut serta dan berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga- warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan Universitas Sumatera Utara yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1 Interaksi antar warga-warganya, 2. Adat istiadat, 3 Kontinuitas waktu, 4 Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga Koentjaraningrat, 2009: 115-118. Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama,hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Pagedalam Soerjono Soekanto 2006: 22 , memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, 19 dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan - kebiasaan manusia.Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat,menurut Ralph Linton dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22 masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama ,sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas- batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22 adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Menurut Emile Durkheim dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11 bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Universitas Sumatera Utara Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapununsur-unsur tersebut adalah: 1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama; 2.Bercampur untuk waktu yang cukup lama; 3.Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Menurut Emile Durkheim dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29-31 keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip- prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya Soerjono Soekanto, 2006: 22. Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society.Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan pendapat para ahli tentang masyarakat, maka masyarakat karo yang mendiami satu kesamaan budaya yakni, berdiam disatu wilayah yaitu tanah karo, mempunyai identitas yakni merga silima marga dan diikat oleh rasa kebersamaan dalam sebuah sistem dalam hubungan kekeluargaan yakni rakut sitelu sangkep nggeluh, dan tutur siwaluh.

1.5.3 Katoneng-katoneng

Istilah katoneng-katoneng dalam bahasa Karo berasal dari kata toneng yang berarti tenang, damai dan sejahtera. Pengertian itu jelas tergambar dalam teks katoneng-katoneng. Kata toneng yang dibumbuhi awalan ‘ ka’ sehingga menjadi katoneng tidak merubah arti toneng. Tetapi penulis lebih cendrung beranggapan kata ‘ka’ memberi petunjuk bahwa kata toneng yang telah berubah menjadi katoneng berada dalam pengertian lagu nyanyian musik vokal . Katoneng-katoneng adalah salah satu jenis tradisi musik vokal pada masyarakat Karo. Biasanya dinyanyikan dalam upacara adat yang bersifat gembira suka cita maupun duka cita. Katoneng-katoneng disebut juga nyanyian adat karena hanya dipakai dan disajikan dalam konteks upacara adat. Namun ada beberapa katoneng-katoneng yang sudah direkam diatas pita kaset komersial seperti katoneng-katoneng merga silima yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong Malem Pagi Ginting dengan Normin beru Karo. Katoneng-katoneng mengungsi yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong yang sama. Pada umumnya katoneng-katoneng dinyanyikan oleh seorang pria maupun seorang wanita secara solo. Penyanyinya disebut dengan perkolong-kolong. Universitas Sumatera Utara Katoneng-katoneng dapat juga dinyanyikan oleh guru sibaso atau guru perdewal- dewal yaitu seorang dukun wanita yang biasanya menyembuhkan orang sakit karena gangguan roh jahat. Di dalam penyajiannya katoneng-katoneng diiringi oleh alat musik tradisional Karo yaitu gendang lima sendalanen atau disebut juga dengan gendang sarune. Mengacu kepada makna teks secara keseluruhan, katoneng-katoneng mengandung nilai-nilai adat yang mencakup sistim kekerabatan, norma-norma sosial, aspek edukatif dan aspek religi. Hal ini jelas tergambar dari teks yang mengungkapkan rasa syukur, doa-doa, harapan-harapan maupun nasehat-nasehat. Namun pada kenyataannya, ditemui sejumlah katoneng-katoneng sifatnya mengisahkan suatu peristiwa, misalnya katoneng-katoneng yang menceritakan tentang peperangan melawan penjajah, menceritakan pengungsian pada masa penjajahan, menceritakan silsilah marga-marga. Secara umum teks katoneng-katoneng terbagi atas tiga bagian berdasarkan strukturnya, yaitu: 1 pembukaan, 2 isi dan 3 penutup.

1.5.4 Kajian Semiotik

Kajian semiotik nyanyian katoneng-katoneng mencakup dua bagian besar yaitu, analisis terhadap teks dan artinya. Kedua hal tersebut berhubungan dengan aspek linguistik. Analisis tekstual meliputi struktur dan isinya. Sedangkan analisis arti teks berhubungan dengan aspek semantik. Analisis struktur teks pada umumnya dapat dibagi kedalam tiga bagian berdasarkan isi dan fungsinya. Bagian itu antara lain pembukaan, isi dan penutup. Sedangkan analisis terhadap isi teks adalah Universitas Sumatera Utara merupakan bagian dari struktur teks yang akan memaparkan tema atau ide yang terkandung dalam sebuah teks katoneng-ketoneng. Dari analisis isi teks inilah akan terungkap situasi maupun kondisi dari kebudayaan masyarakat pemilik nyanyian tradisional tersebut. Analisis terhadap arti teks katoneng-katoneng, mengarah kepada aspek semantik. Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Bagaimana jumlah suku kata dalam bahasa mempengaruhi rentangan melodi pada tiap-tiap frasanya. Dari segi tekstualnya penulis menterjemahkan katoneng-katoneng secara bebas dari bahasa Karo kedalam bahasa Indonesia. Tentu saja terjemahan bebas ini mempunyai kelemahan-kelemahan karena banyak kata-kata maupun idiom dalam bahasa Karo sukar diterjemahkan secara langsung kedalam bahasa Indonesia. Namun penulis berusaha mencari padanan kata yang sesuai dengan arti sebenarnya. Selanjutnya akan dianalisis penggunaan maupun fungsi katoneng-katoneng. Begitu juga aspek bahasanya yang meliputi diksi dan majas serta struktur teksnya.

1.6 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang penulis gunakan landasan penelitian, diantaranya adalah teori kebudayaan dan teori upacara, teori semiotik dan teori musik. Universitas Sumatera Utara

1.6.1 Teori kebudayaan

Dalam ruang lingkup kebudayaan, manusia akan mengembangkan hidup individual dan sosialnya guna memenuhi martabatnya sebagai manusia. Demikian Maran 2000: 21-22 mengatakan sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah dunia khas manusia. Kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan. Selanjutnya para ahli antropologi budaya di Indonesia berpendapat, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhibuddhayah yang berarti ’budi’ atau ’akal’. Menurut Robert H. Lowie, kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat-istiadat, norma- norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal Maran, 2000: 26. Selanjutnya, Maran 2000: 28-29 mengatakan kebudayaan merupakan susunan dari dua komponen besar yakni kebudayaan material dan kebudayaan non- material. Yang dimaksud dengan kebudayaan material adalah kebudayaan yang menghasilkan segalam macam objek fisik buatan manusia, sedangkan kebudayaan non-material menghasilkan objek tak berwujud seperti kepercayaan kognitif, norma adat normatif, tanda dan bahasa simbolik. Komponen kognitif merupakan sistem kebudayaan untuk mengembangkan pengetahuan dan kepercayaan yang terjadi di sekitar manusia. Pengetahuan ialah koleksi ide yang dapat diterjemahkan sebagai suatu teknologi yang dipakai untuk Universitas Sumatera Utara mengontrol kehidupan, lingkungan alam dan menyelesaikan masalah sosial. Kepercayaan ialah kumpulan ide-ide yang subjektif seperti kepercayaan akan Tuhan. Komponen normatif merupakan sistem kebudayaan yang bersifat menilai bagaimana manusia harus bertindak. Termasuk juga batasan-batasan apa dapat diperbuat dan apa yang tidak dapat diperbuat. Apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Apa yang dianggap penting dan apa yang dianggap tidak penting. Sistem kebudayaan yang berisikan peraturan-peraturan mengenai nilai sosial namun tidak universal atau diterima di seluruh wilayah yang memiliki sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan ini bersifat regional, hanya berlaku bagi masyarakat yang menganut sistem kebudayaan yang sama. Komponen simbolik merupakan sistem kebudayaan yang bersifat simbolis seperti bahasa, isyarat, bunyi nyanyian, dan lain sebagainya. Sistem kebudayaan ini biasanya digunakan untuk mengajarkan sistem kebudayaan sebelumnya kepada generasi masyarakat penganut kebudayaan tersebut berikutnya.

1.6.2 Teori Upacara

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia pada masa lalu dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat merupakan warisan nenek moyang kita. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan Universitas Sumatera Utara untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut Wahyudi Pantja Sunjata, 1997: 1. Upacara adat tradisional adalah peraturan hidup sehari-hari ketentuan yang mengatur tingkah anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan manusia. Pengertian adat adalah tingkah laku dalam suatu masyarakat sudah, sedang, akan diadakan. Wahyudi Pantja Sunjata 1997: 2, mengatakan upacara tradisional merupakan bagian yang integral dari tradisi masyarakat pendukungnya dan kelestariannya, hidupnya dimungkinkan oleh fungsi bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Penyelenggaraan upacara tradisional itu sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma dan nilai-nilai budaya itu secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk upacara yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pendukungnya.Pelaksanaan upacara adat tradisional termasuk dalam golongan adat yang tidak mempunyai akibat hukum, hanya saja apabila tidak dilakukan oleh masyarakat maka timbul rasa kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara turuntemurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan. Upacara adat yang dilakukan di daerah sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah. 1. Unsur-unsur upacara adat tradisional Universitas Sumatera Utara Menurut Koentjaraningrat ada beberapa unsur yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat diantaranya adalah: a. Tempat berlangsungnya upacara Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya adalah tempat keramat atau bersifat sakralsuci , tidak setiap orang dapat mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara. b. Saat berlangsungnya upacarawaktu pelaksanaan Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan setiap tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau. c. Benda-benda atau alat dalam upacara Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. d. Orang-orang yang terlibat didalamnya Universitas Sumatera Utara Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat Koentjaraningrat, 1967: 241 Unsur-unsur diatas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap melaksanakan upacara, keempat unsur diatas harus disertakan. Didalam unsur-unsur tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat. Beberapa perbuatan yang berkenaan pada saat berlangsungnya upacara seringkali dilakukan. Mereka menganggap bahwa perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang perlu dilakukan. Adapun, kegiatan tersebut diantaranya adalah: a. Bersesaji Bersesaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makan, benda-benda, dan sebagainya yang ditujukan kepada dewa-dewa, ruh-ruh nenek moyang, atau makhluk halus. Hal ini dianggap menjadi suatu perbuatan kebiasaan, dan dianggap seolah-olah suatu aktivitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang dimaksud. b. Berdoa Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara. Biasanya diiringi dengan gerak -gerak dan sikap-sikap tumbuh yang pada dasarnya Universitas Sumatera Utara merupakan sikap dan gerak menghormat serta merendahkan diri terhadap para leluhur, para dewata, ataupun terhadap Tuhan. c. Makan bersama Makan bersama merupakan suatu unsur yang amat penting dan selalu dilaksanakan dalam banyak upacara. d. Berprosesi Berprosesi atau berpawai juga merupakan suatu perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia . Pada prosesi sering dibawa benda-benda keramat seperti patung dewa-dewa, lambang-lambang, totem benda-benda yang sakti dan sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal manusia, dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu. Upacara ini sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama tetapi dilakukan dengan cara yang lain yaitu mengusir makhluk halus, hantu dan segala kekuatan yang menyebabkan penyakit serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia. e. Berpuasa Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam hampir semua religi dan agama diseluruh dunia, tidak membutuhkan suatu uraian yang panjang Universitas Sumatera Utara lebar. Dasar pikiran yang ada dibelakang perbuatan ini bisa macam-macam, misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin pelaku. f. Bersemedi Adalah macam perbuatan serba religi yang bertujuan memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-hal yang suci Koentjaraningrat, 1967: 257. Rangkaian kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam melaksanakan upacara tradisional. Oleh karena itu, pada saat upacara tradisionaldilangsungkan akan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatanyang telah disebutkan di atas. Namun tidak semua kegiatan secara terperinci dilakukan pada saat pelaksanaan upacara tradisional. Ada yang terdiri dari semua kegiatan yang telah disebutkan di atas tetapi ada pula yang hanya melakukan beberapa dari kegiatan tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat pelaksanaan upacara tradisional. 2. Tujuan upacara adat tradisional Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta para leluhur yang telah melimpahkan karunianya. Pelaksanaan upacara tradisional dilakukan sebagai wujud penghormatan atas budaya warisan nenek moyang yang turun temurun harus dilestarikan. Tanpa adanya usaha pelestarian dari masyarakat,maka budaya nenek moyang yang berupa upacara tradisional Universitas Sumatera Utara itu akan punah dan tinggal cerita. Sangat disayangkan apabila hal ini terjadi mengingat dizaman sekarang negeri ini mengalami krisis moral yang sebenarnya dapat kita cegah dengan pelestarian upacara tradisional. Pelaksanaan upacara tradisional dapat memupuk rasa persaudaraan dan menumbuhkan nilai-nilai luhur yang penting bagi masyarakat dan bangsa Indosnesia. Tujuan umum dari upacara adat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Secara khusus, upacara adat dilakukan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada yang ghaib. Adanya rasa cinta, hormat, dan bakti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib Koentjaraningrat, 1967: 240. Upacara tradisional dimaksudkan untuk mencapai kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, upacara tradisional juga dimaksudkan untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, dijauhkan dari alapetaka yang dikhawatirkan akan menimpa masyarakat apabila tidak dilaksanakan Koentjaraningrat, 1967: 241. Penyelenggaraan upacara tradisional ditujukan sebagai media untuk memperlancar komunikasi antar warga agar terjalin rasa persatuan dan kesatuan. Dalam upacara itu juga terkandung nilai-nilai luhur yang sebenarnya ditujukan untuk menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya, sehingga generasi penerus bangsa yang baik untuk mewujudkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.Dalam semua hubungan itu, maka keseimbangan antara hak dan kewaji Universitas Sumatera Utara ban harus dijunjung tinggi. Artinya berupaya mengenal hak dan menikmatinya secara wajar, mengetahui kewajibannya dalam menunaikan sebaik-baiknya. Keseimbangan, terutama antara hak dan kewajiban merupakan inti dari harmoni Koentjaraningrat dalam Budiono Herusatoto, 1984: 100 .

1.6.3 Teori Semiotik

Untuk mengkaji struktur pertujukan nyanyian katoneng-katoneng, penulis mempergunakan teori semiotik. Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Menurut Encylopedia Brittanica 2007 pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini. Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign- using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirces seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: 1 an icon, which resembles its referent such as a road sign for falling rocks; 2 an index, which is associated with its referent as smoke is a sign of fire; and 3 a symbol, which is related to its referent only by convention as with words or traffic signals. Peirce also demonstrated that a sign can Universitas Sumatera Utara never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussures distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism q.v., which seeks to analyze these relations. Saussures theories are thus also considered fundamental to structuralism especially structural linguistics and to poststructuralism. Modem semioticians have applied Peirce and Saussures principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi- Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi sound image atau signifier yang berhubungan dengan konsep signified. Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1 representatum, 2 pengamat interpretant, dan 3 objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, Universitas Sumatera Utara indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda sign serta tanda- tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausure. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya- karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: a ikon, yang disejajarkan dengan referennya misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan; b indeks, yang disamakan dengan referennya asap adalah tanda adanya api dan c simbol, yang berkaitan dengan referentnya Universitas Sumatera Utara dengan cara penemuan seperti dengan kata-kata atau signal trafik. Ketiga aspek tanda ini penulis gunakan untuk mengkaji teks katoneng-katoneng. Untuk lebih memperinci teori semiotik ini maka penulis mendeskripsikan empat teori semiotik yang digunakan untuk mengkaji makna teks katoneng- katoneng. Keempat teori semiotik itu adalah: 1 semiotik Peirce, 2 semiotik Saussure, 3 semiotik Barthes, dan 4 semiotik Halliday. 1. Semiotik Charles Sanders Peirce Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda sign, object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol tanda yang muncul dari kesepakatan, ikon tanda yang muncul dari perwakilan fisik, dan indeks tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat. Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda Santosa, 1993:10 dan Pudentia, 2008:323 Tabel 1.1 Segitiga Makna Objek Representamen Interpretan Universitas Sumatera Utara Menurut Peirce Santosa,1993:10 pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut. Tabel 1.2: Pembagian Tanda Ground representamen: tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum. Objek referent: yaitu apa yang diacu. Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau. Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta. Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain. Sinsigntokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas. Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api. Dicent sign: tanda sebagai fakta pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir. Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan suatu Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar Universitas Sumatera Utara konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran. tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata. bahar dengan alasan kesehatan. Sumber: Erni Yunita 2011. Tabel 1.3: Hubungan Tanda Sumber: Erni Yunita 2011 Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif Universitas Sumatera Utara yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen R, Object O, dan Interpretant I. R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh O, kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara R dan O. Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah R, maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang” O, selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang di situ” I. Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. 2. Semiotik Ferdinand de Saussure Teori semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure 1857-1913. Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian dikotomi yaitu penanda signifier dan pertanda signified. Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi danatau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut Culler, 1996:7. Bagan berikut tentang tanda sign yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dalam Djajasudarma, 1993:23. Universitas Sumatera Utara Tabel 1.4: Tentang Tanda Signifiant signifier “yang menandai” citra bunyi misalnya: pohon [p o h o n] Signe Signifie signified “yang ditandai” pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. Contoh: Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa signe linguistique atau signe bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur- unsurnya membentuk satu rangkaian unsur yang satu mengikuti unsur lainnya. Tabel 1.5: Tentang Hubungan Tanda tangkal Pohon tangkal Universitas Sumatera Utara ---------- signification -------------- Menurut Saussure Chaer, 2003:348, tanda terdiri dari: a bunyi-bunyian dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan b konsep-konsep dari bunyi- bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” signifier dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan signified. Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau Signsymbol Signifier Signified Universitas Sumatera Utara gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.” 3. Semiotik Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes 1915-1980, dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti Barthes, 2007:82. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure dalam Aminuddin, 1995:168 hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E dan petanda disebut contenu content “isi” dilambangkan dengan C. Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi R. Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi dan denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini Pudentia, 2008:335. Universitas Sumatera Utara Tabel 1.6: Konotasi dan Metabahasa Denotasi \ Objek bahasa Konotasi Metabahasa Contoh : Tempat jin turun berkecimpung E C Denotasi Konotasi E C E C Objek bahasa Metabahasa E C 4. Semiotik Halliday Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di University of Sydney. Kata sistemik adalah suatu E d C d E d C d E d C d E C Jin makhluk Jin berkecimpun Jin bermain air mandi Jin Bergembira menerima persembahan Universitas Sumatera Utara teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem Halliday dkk., 1992:4. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi. Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti semantic atau discourse semantics direalisasikan bentuk grammar atau lexicogrammar dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonologygraphology Saragih, 2000:1. Universitas Sumatera Utara Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology.

1.6.4 Teori Weighted Scale

Untuk mengkaji struktur musik yang digunakan dalam nyanyian katoneng- katoneng ini, penulis menggunakan teori weighted scale bobot tangga nada, seperti yang ditawarkan oleh Wiliam P. Malm 1977. Teori weighted scale adalah teori yang lazim digunakkan untuk menganalisis atau mendeskripsikan melodi berdasarkan delapan unsur melodis yang terdiri dari delapan unsur, yaitu sebagai berikut: 1 tangga nada; 2 wilayah nada ambitus; 3 nada dasar tone center; 4 jumlah nada-nada, 5 distribusi interval, 6 formula melodi, 7 pola-pola kadensa, dan 8 kontur.

1.7 Metode Penelitian

Tesis ini berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah Pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik Dan analisis Musikologi. Penulis berupaya mengkaji nyanyian tradisi dengan menerapkan ilmu etnomusikologi dengan pendekatan metode penelitian deskriptif descriptive research. Secara kontekstual dapat dibantu dengan menggunakan teori: Semiotik, sosiologi, anthropologi, atau teori sosial lainnya. Penggunaan teori dalam analisisnya Universitas Sumatera Utara dapat dilakukan secara silang antara teks dan konteks. menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu atau disebut pendekatan multidisiplin. Untuk mecapai tujuan penelitian, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Bogdan dan Taylor, 1975:5 Oleh karena itu dalam penelitian ini pendeskripsian nyanyian katoneng- katoneng dilakukan dengan cara antara lain: pemilihan nyanyian dan instrumen musik.Begitu juga dan terhadap informasi atau data-data dari narasumber. Selanjutnya pencarian data dilakukan dengan meminjam cara interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman. Selanjutnya penulis juga melakukan penelitian kualitatif. Penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif seperti wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman audio dan video. Selanjutnya lebih dijelaskan lagi bahwasanya, metode penelitian, cara kerja, alat bantu dan pendekatan akan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis. yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. Moleong, 2006:3. Metode yang dipergunakan dalam penelitian nyanyian katoneng-katoneng adalah metode deskriptif kualitatif yang berarti penelitian yang berdasarkan atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang ada. Misalnya tentang situasi yang dialami, hubungan, kegiatan, pandangan, sikap, atau proses yang sedang Universitas Sumatera Utara berlangsung, dan lain-lain yang berlangsung pada masa sekarang, dan pada masalah- masalah yang bersifat aktual Surakhmad, 1990:189-190. Hal ini didukung dengan pendapat dari Bogdan bahwa penelitian kualitatif secara sistematis dilakukan melalui metode kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau kata-kata lisan dan tertulis dari orang-orang dan prilaku yang diamati, sehingga pendekatannya diarahkan pada latar sosial dan budaya individu atau masyarakatnya Bogdan, 1972:5. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: a studi kepustakaan, b observasi, c wawancara, dan d perekaman. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data melalui sumber-sumber sekunder. Yaitu sumber tertulis, berupa buku, laporan, atau dokumen yang memuat informasi tentang nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat pendukungnya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pembentukan kerangka pemikiran. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan masih merupakan data sekunder. Oleh sebab itu, untuk memperoleh data primer atau data yang lebih akurat, maka penulis melakukan penelitian ke lapangan work field. Di lapangan, penulis mengumpulkan data melalui observasi langsung yang disebut dengan pengamatan terlibat. Untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin, penulis menggunakan peralatan audio dan visual beserta buku catatan. Untuk memperoleh data tersebut sesuai dengan metode kerja lapangan, dipergunakan kerangka kerja lihat Nettl 1964:29-30 meliputi: Universitas Sumatera Utara 1 Wawancara mendalam, dengan tujuan agar informan dapat memberikan pandangan-pandangan tentang kebudayaan secara luas dan terbuka. 2 Observasi budaya, meliputi proses dokumentasi audio dan visual, data statistik, dan sumber-sumber tertulis lainnya. 3 Pengamatan berperan-serta, yaitu pengamatan dimana peneliti berperan-serta dalam aktifitas masyarakat. Pelaksanaan kerja laboratorium disebut juga kerja analisis desk work. Pelaksanaan kerja analisis ini merupakan pengolahan data yang diperoleh dari kerja lapangan dan dilengkapi dengan data yang berasal dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil kerja lapangan diawali dengan analisis induktif, yaitu dengan mengklasifikasikan data dari lapangan dalam tema atau ide-ide. Kemudian ide-ide tersebut dimodifikasi dalam suatu bangunan pemikiran Selanjutnya pada tahap ini kesimpulan atau hipotesa dari data mulai dibentuk. Dilengkapi dengan data sekunder dari kepustakaan, dilakukanlah analisis induktif. Yaitu kerja laboratorium yang mencari atau menemukan apakah teori-teori yang digunakan dalam konsep penelitian didukung oleh kesimpulan-kesimpulan dari analisis induktif. Pada tahap ini teori tersebut kemungkinan dapat dimodifikasi untuk menjelaskan, meramalkan dan menafsirkan fenomena dalam nyanyian katoneng-katoneng. Adapun data audio musik secara khusus dianalisis secara etnomusikologis. Untuk dapat mempelajari aspek-aspek dari nyanyian katoneng-katoneng, dilakukan transkripsi yaitu suatu usaha untuk memindahkan bunyi aural ke dalam suatu notasi. Universitas Sumatera Utara Dalam menganalisis data audio yang bersifat musikal, William P. Malm 1977:7-8 mendeskripsikan penelitian terhadap aspek musikal ini dengan tiga tahapan, yaitu: 1 Pengamatan terhadap praktek pertunjukan yang ditulis sebagai deskripsi praktik pertunjukan. 2 Aspek waktu, yang terdiri dari tempo atau meter, dan ritme. 3 Aspek melodi, yaitu tangga nada, nada dasar, jumlah, interval, pola kadensa, bentuk, dan kontur. Unsur-unsur penganalisis yang dikemukakan oleh Malm ini akan dipergunakan dalam menganalisis data musikal. Dan untuk memperoleh analisis yang lebih lengkap, akan dikombinasikan dengan prosedur analisis musik yang dikemukakan oleh Nettl 1964.

1.8 Sistematika Penulisan