99 memadai untuk diandalkan di kota–kota besar, bahkan sarana transportasi ini dipersepsikan
sebagai sarana transportasi tradisonal yang menggambarkan kemiskinan masyarakatnya. Lebih dari pada itu sikap dan perilaku pengemudi becak juga menjadi sorotan oleh
berbagai kalangan. Sikap dan perilaku yang mendesak atau menekan pengguna becak, menaikkan tarif becak dengan harga yang tidak realistis, dan beberapa sikap dan perilaku
yang kurang menarik lainnnya yang justru dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota budaya. Berkaitan dengan hal–hal demikianlah maka penelitian ini menjadi penting untuk
diungkapkan dan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan atas komunitas becak ini sebagai pendukungan terhadap simbol Yogyakarta sebagai kota
budaya.
B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui kemampuan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta
Kota Budaya. 2.
Untuk mengetahui cara–cara mengembangkan komunitas becak sebagai penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya.
Manfaat Penelitian : 1.
Sebagai bahan rujukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan pengembangan komunitas becak sebagai salah satu
simbol budaya Yogyakarta. 2.
Untuk memperkaya wacana dalam pengembangan peranan–peranan yang dapat dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat dalam memperkuat Yogyakarta sebagai
kota Budaya.
C. TINJAUAN PUSTAKA
R.M. Maclver dalam F.W. Dillistone, 2002: 15 menyatakan bahwa kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai
simbol. Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau
sarana yang lain menggunakan simbol – simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa
Yogyakarta sebagai kota budaya tidak mungkin tidak, pasti menggunakan atau memiliki simbol untuk mengungkapkan sistem nilai budayanya.
Lebih jauh lagi Erwin Googdenogh dalam F. W. Dilistone, 2002: 19 mendefinisikan simbol adalah barang atau pola atau apapun yang bekerja pada manusia,
dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata–mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu. Berhubungan dengan definisi ini
maka dapat dikatakan bahwa simbol–simbol yang memperkaya Yogyakarta sebagai kota budaya, tidaklah mesti ditangkap sebagai harafiah saja, namun lebih dari pada itu simbol–
simbol itu perlu dikaji atau ditelaah lebih mendalam untuk dapat mengungkapkan nilai– nilai yang sesungguhnya.
F.W. Dillistone 2002: 20 mengungkapkan lebih dalam bahwa sebuah simbol dapat dipandang sebagai :
1. Sebuah kata atau barang atau obyek atau tindakan atau peristiwa atau pribadi atau yang
kongkrit. 2.
Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengingatkan, atau
mengungkapkan, atau merujuk kepada yang mencorakkan atau menghubungkan atau bersesuaian atau berkaitan dengan sesuatu.
100 3.
Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir, yang terkait dengan sebuah makna, realitas, nilai, cita–cita, prestasi, kepercayaan dari masyarakat
atau lembaga. Jadi simbol ini sangat berkaitan dengan kohesi sosial dn transformasi sosial masyarakatnya. Dengan demikian simbol–simbol Yogyakarta Kota Budaya pun
terkait erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial masyarakat Yogyakarta.
Lebih jauh lagi, Yogyakarta sebagai kota budaya tentulah tidak terlepas dari kebudayaan yang melingkupi seluruh kehidupan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. James
M. Henslin 2007:38-39 berpendapat bahwa kebudayaan dapat dilihat dari kebudayaan material dan kebudayaan non material. Kebudayaan material adalah hal–hal seperti
perhiasan, peralatan, bangunan, kesenian dan hal–hal lainnya yang kontras dengan masyarakat lainnnya. Kebudayaan material ini tidak ada sesuatu pun yang bersifat “alami”.
Sedangkan Kebudayaan non–material adalah cara berpikir kepercayaaan, nilai dan asumsinya yang lain mengenai dunia, dan cara bertindak pola perilakunya yang umum
termasuk bahasa, gerak–isyarat, dan bentuk interaksi lain.
Senada dengan Henslin, Koentjaraningrat 1985: 5 menyatakan bahwa setidak– tidaknya ada tiga wujud kebudayaan, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide–ide, gagasan, nilai–nilai, norma–
norma, peraturan–peraturan, dan sebagainya. 2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas atau kelakuan dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda–benda hasil karya manusia
Bersesuaian dengan pernyataan dari Koentjaraningrat tersebut maka di dalam fokus penelitian ini akan melihat ketiganya sebagai sesuatu hal yang tidak terpisahkan satu
dengan yang lainnnya dalam menganalisis peranan komunitas becak dalam pendukungan simbol Yogyakarta sebagai kota Budaya. Adapun pada dasarnya dalam melihat sebuah
sistem nilai budaya, secara lebih terinci Koentjaraningrat 1985:28 menyebutkan ada lima hal yang mesti dikaji lebih dalam, yaitu:
1.
Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia. 2.
Masalah mengenai hakekat dari karya manusia. 3.
Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu tertentu. 4.
Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya. 5.
Masalah menenai dari hubungan manusia dengan sesamanya. Sedangkan
faktor–faktor krisis
dalam tenggelamnya
kebudayaan, Bakker
1984,79 berpendapat faktor mental, mandulnya daya cipta dan pudarnya jiwa penantang adalah faktor–faktor yang dapat menyebabkan kebudayaan itu tenggelam.
Lebih jauh lagi, Williams dalam Kuntowjoyo, 1987:5 bahwa dalam rangka pelembagaan produksi dan distribusi simbol–simbol budaya ditemukan tiga komponen
pokok yang mempengaruhi pengembangan simbol–simbol tersebut, yaitu lembaga– lembaga budaya, isi budaya dan efek budaya. Lembaga budaya menanyakan siapa
menghasilkan produk budaya, siapa mengkontrol dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol–simbol budaya apa yang diusahakan;
efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu. Dengan demikian kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional manakala simbolnya atau normanya
tidak lagi didukung oleh lembaga–lembaga sosialnya atau oleh modus organisasi sosial dari budaya itu.
Berkaitan dengan pengungkapan simbol ini, dikenal sebuah teori yang disebut dengan teori interaksi simbolik. Ada sejumlah asumsi–asumsi yang dibangun dari teori ini,
yang oleh Arnold Rose Ritzer, 1985 dikemukakan sebagai berikut: 1.
Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol–simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap simbol–simbol itu seperti juga ia memberikan tanggapan terhadap
rangsangan yang bersifat fisik.
101 2.
Melalui simbol–simbol manusia berkemampuan menstimulir orang lain dengan cara– cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain.
3. Melalui komunikasi, simbol–simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai–nilai,
dan arena itu dapat dipelajari cara–cara tindakan orang lain. 4.
Simbol, makna serta nilai–nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya terfikirkan oleh mereka dalam bagian–bagian yang terpisah, tetapi selalu dalam bentuk
kelompok yang kadang–kadang luas dan kompleks. Atau dengan kata lain akan ada simbol kelompok.
5. Berpikir merupakan suatu proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis.
Manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannnya sebelum ia memulai tindakannnya.
Sejalan dengan Arnold Rose, Blumer dalam Poloma. 1984 secara rinci menyatakan bahwa untuk melihat masyarakat dari kerangka perspektif interaksi simbolik
dapat dilihat dari ide–ide dasarnya sebagai berikut: 1.
Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau
struktur sosial. 2.
Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Dan bahasa merupakan simbol berarti yang paling umum.
3. Obyek–obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk
interaksi simbolik. 4.
Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota–anggota kelompok,
hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari tindakan–tindakan berbagai manusia.
Selanjutnya untuk kepentingan penelitian ini perlu juga dipaparkan pemahaman tentang peranan. Peranan oleh Hendropuspito 1989:178 dikonsepsikan sebagai sejumlah
pola kelakuan lahiriah ataupun batiniah yang diterima atau diikuti oleh banyak orang. Jadi peranan ini diperuntukkkan bagi kepentingan bersama agar masyarakat sebagai peristiwa
sosial dan persatuan hidup dapat berjalan dengan baik. Selebihnya oleh Hendropuspito, peranan sosial memuat hal–hal sebagai berikut:
1.
Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. 2.
Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. 3.
Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu. 4.
Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga masyarakat. 5.
Dalam peranan sosial terkandung harapan yang khas dari masyarakat. 6.
Dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu. Selanjutnya dalam penelitian ini, yang dikaji tentang peranan lebih ditekankan
pada peranan yang dilakukan pada komunitas tertentu jadi bukan pada perilaku perorangan. Adapun dalam mengembangkan peranan dapat dilakukan antara lain dengan 1 dengan
memberikan perangsang-perangsang yang cocok, 2 dengan persuasi dan 3 dengan pembinaan yang sesuai dengan komunitas yang bersangkutan.
D. METODOLOGI PENELITIAN