103
a. Bahasa
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta,
Manajer HRD Hotel Saphir dan Hotel Santika, maupun pengemudi becak itu sendiri, semuanya menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam
mendukung simbol Yogyakarta sebagai kota Budaya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pembinaan Pengembangan Pariwisata Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, yang mengatakan bahwa bahasa dan perilaku pengemudi becak sangat mempengaruhi kenyamanan wisatawan yang
berdatangan ke Yogyakarta, baik itu wisatawan asing atau mancanegara ataupun wisatawan domestik. Oleh karenanya perilaku Sadar Wisata menjadi sangat penting
untuk komunitas becak ini. Karena pada dasarnya wisatawan datang ke Yogyakarta ingin menikmati budaya Yogyakarta dan budaya Yogyakarta itu adalah budaya
Kraton yang memiliki kehalusan dalam berbahasa dan berperilaku. Kata–kata dan tindakan yang kasar tidak sesuai dengan budaya Jawa atau budaya Yogyakarta.
Terkait dengan komunitas becak ini, bahasa memang menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai elemen yang peduli terhadap keberadaan komunitas becak ini.
Hal ini mengingat bahwa di salah satu sisi bahasa merupakan simbol budaya yang paling umum karena dengan bahasa dapat diungkapkan hasil–hasil budaya maupun
kondisi budaya suatu daerah tertentu. Namun di sisi lain pelaku budaya ini termasuk di dalamnya adalah kumunitas becak seringkali masih gagal dalam mengungkapkan
situasi dan kondisi budaya Yogyakarta. Hal ini mengingat kemampuan pengemudi atau komunitas becak yang sangat terbatas dalam “berbahasa”.
Berbahasa yang dimaksudkan di sini adalah berbahasa yang sesuai dengan budaya Yogyakarta yang identik dengan budaya Keraton. Dalam Keraton
pengungkapan bahasa secara halus dan sopan merupakan syarat yang mutlak Suhatno, 1995.
b. Perilaku
Terkait dengan perilaku atau tindakan ini, hampir keseluruhan informan yang diwawancarai mengungkapkan bahwa sebagaimana bahasa, tindakan adalah
salah satu unsur yang penting dalam pembentukan budaya Yogyakarta. Sebagai ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan para wisatawan, para pengemudi
becak hendaknya dapat bersikap ramah, sopan santun. Tindakan yang demikian merupakan tindakan yang mencerminkan masyarakat yang Sadar Wisata. Selain dari
tindakan yang sopan santun dan ramah, kejujuran juga merupakan tindakan yang diharapkan muncul dari pengemudi atau komunitas becak ini.
Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Blumer dalam Veeger, 1993 orang menimbang perbuatan masing–masing orang secara timbal balik, dan hal ini
tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lain, melainkan menganyam perbuatan–perbuatan mereka menjadi apa yang
barangkali boleh disebut dengan transaksi, dalam arti bahwa perbuatan–perbuatan yang diasalkan dari masing–masing pihak diserasikan sehingga membentuk suatu
aksi bersama yang menjembatani mereka. Orang saling berhubungan satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal balik. Kesadaran akan
hubungan timbal balik dalam berinteraksi ini memang akan mempengaruhi keberlanjutan hubungan tersebut. Ketika komunitas atau pengemudi becak itu
melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji tentunya akan membuat ”kapok” penumpangnya. Tetapi ketika komunitas itu mampu menangkap kebutuhan yang
dirasakan oleh penumpangnya baik itu penumpang lokal maupun penumpang luar negeri, maka kecenderungan penumpang itu akan kembali lagi tentulah sangat besar.
104
c. Becak Sebagai Alat Transportasi Tradisional