104
c. Becak Sebagai Alat Transportasi Tradisional
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa tanda–tanda yang paling mudah dipahami yang menyatakan kekhasan suatu budaya adalah berupa
benda atau alat–alat dan bahasa. Benda ini selain bisa menjadi suatu tanda atau simbol yang paling mudah untuk dipahami dalam suatu masyarakat namun juga
benda atau alat ini bisa menjadi daya tarik tersendiri pada masyarakat yang bersangkutan. Hal ini seperti yang terjadi di kota Yogyakarta. Yogyakarta yang
dikenal sebagai kota budaya salah satu cirinya adalah alat tansportasi tradisional yang dikenal dengan nama becak. Transportasi tradisional becak ini tidak hanya
dikenal oleh berbagai masyarakat di kota–kota di luar Yogyakarta namun transportasi tradisional ini telah dikenal dan menjadi daya tarik yang kuat oleh
masyarakat mancanegara. Hal ini bisa terlihat di jalan–jalan sekitar Malioboro dan Keraton
seringkali dijumpai para wisatawan asing yang sengaja menggunakan transportasi ini untuk keliling kota Yogyakarta. Jadi kedatangan mereka ke
Yogyakarta salah satunya memang ingin menikmati transportasi becak ini. Ada tiga jenis transportasi becak ini. Pertama, yang disebut dengan
transportasi becak niaga, yaitu becak–becak yang biasanya “mangkal” di dekat– dekat pasar. Becak–becak ini yang melayani para penumpang dalam berbelanja atau
mengangkut barang–barang belanjaan. Jenis yang kedua, disebut dengan becak wisata yaitu komunitas becak yang diutamakan untuk membawa para wisatawan ke
obyek–obyek wisata seperti Keraton, Taman Sari, dan lain–lain. Sedangkan jenis yang ketiga disebut dengan wisata becak. Untuk jenis yang ketiga ini, justru orang–
orang datang ke Yogyakarta untuk naik becak.
d. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh para pengemudi atau komunitas becak ini merupakan salah satu kekuatan pula yang menjadi simbol Yogyakarta kota
Budaya. Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang mengatakan bahwa pengemudi becak yang dapat memberikan informasi tentang tempat–tempat wisata, tentang
tempat–tempat bersejarah, tentang tempat–tempat tempo dulu, budaya kraton, dan tempat–tempat lainnya seperti perguruan tinggi ternama di Yogjakarta, sungguh
merupakan harapan dari para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Selain itu dengan kemampuan bahasa Inggris yang sederhana dapat menjadi guide yang murah
bagi para wisatawan mancanegara.
2. Proses Cara Pengembangan Komunitas Becak dalam Penguatan Simbol Yogyakarta Kota Budaya
Berkaitan dengan proses pengembangan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta kota budaya, ada beberapa hal yang dibahas dalam penelitian ini.
Beberapa hal ini terkait dengan bagaimana sebenarnya sebuah simbol itu bisa
didistribusikan. a. Lembaga atau organisasi yang berperanan dalam pengembangan komunitas becak
dalam penguatan simbol Yogayakarta Kota Budaya. Menganalisis tentang kebudayaan, Kuntowijoyo 1987 mengatakan bahwa
kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol atau normanya tidak lagi didukung oleh lembaga–lembaga sosialnya. Oleh karenanya dalam penelitian ini,
dilihat pula beberapa institusi atau lembaga yang memiliki keterkaitan erat dengan pengembangan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya.
Beberapa institusi yang terkait adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Paguyuban Becak yang diharapkan sebagai
persatuan komunitas–komunitas becak yang berada di wilayah Kota Yogyakarta dan
105 perwakilan dari pengusaha hotel yang menggunakan komunitas becak sebagai mitra
dalam pembentukan citra Kota Yogayakarta dan citra hotel. Berdasarkan
wawancara dengan
kepala Bidang
Pembinaan dan
Pengembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, peranan dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini lebih memfokuskan pada pembinaan
para pengemudi becak untuk Sadar Wisata. Hal ini mengingat Yogyakarta sebagai tujuan wisata baik dari wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Hal–
hal yang telah dilakukan oleh Dinas ini adalah memberikan berbagai pembinaan atau pelatihan yang terkait dengan sikap atau tingkah laku yang sadar wisata serta
pembinaan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling mudah dalam pelayanan para wisatawan. Secara kongkrit Dinas ini juga sudah membuatkan buku saku untuk
para pengemudi becak serta stiker–stiker yang isinya mengajak untuk dapat melayani pelanggan atau wisatawan dengan baik. Namun demikian apa yang talah
dilakukan oleh Dinas ini belum dirasakan atau dialami oleh sebagian besar komunitas becak yang ada di Yogyakarta.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sie. Angkutan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Dinas ini dalam rangka memfasilitasi kepentingan kendaraan
tidak bermotor termasuk didalamnya adalah becak, memiliki fungsi pengendalian dan pelayanan. Dalam rangka pengendalian banyaknya becak yang beroperasi di
Kota Yogyakarta, Dinas perhubungan telah melakukan registrasi becak–becak yang beroperasi di Kota Yogyakarta. Registrasi ini selain untuk pengendalian jumlah
becak namun juga merupakan fungsi perlindungan terhadap komunitas becak. Sebab, apabila becak–becak ini jumlahnya tidak terkendalikan maka mereka akan
berebut lahan dan penumpang. Hal ini menjadi tidak sehat. Berdasarkan registrasi yang telah dilakukan oleh Dinas Perhubungan, jumlah becak yang beroperasi di kota
Yogyakarta sejumlah 8.200 becak. Selain itu, untuk ketertiban pengemudi becak ini, mulai tahun 2008 Dinas Perhubungan telah menerbitkan SIO Surat Ijin
Operasional Kendaraan Tidak Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Tidak Bermotor TNKTB. Begitu pula Dinas Perhubungan Kota juga telah menyediakan
lajur–lajur dan lahan–lahan parkir gratis untuk alat transportasi ini di sepanjang jalan Malioboro dan jalan Mangkubumi.
Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan Kepala HRD Hotel Santika dan Kepala HRD Hotel Saphir yang mewakili pihak hotel masing–masing
sebagai Institusi Pengguna Jasa Becak. Dalam wawancara yang dilakukan, baik HRD Hotel Santika maupun Hotel Saphir menyatakan bahwa hotel tetap akan
menggunakan jasa becak dalam melestarikan budaya Yogyakarta maupun dalam mempromosikan hotel. Bahkan Kepala HRD Hotel Saphir mengatakan tetap akan
memepertahankan becak, meski pada suatu saat seandainya becak ini dilarang di Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil FGD Paguyuban Pengemudi Becak Kota Yogyakarta pula, didapatkan informasi bahwa komunitas–komunitas
becak yang berada di wilayah kota Yogyakarta terdapat 145 komunitas becak. Terkait dengan peranan
komunitas atau paguyuban ini, ketua PPBKY mengatakan bahwa paguyuban ini sangat penting bagi pengemudi–pengemudi becak maupun bagi para pengguna jasa
becak. Dengan paguyuban, pengemudi–pengemudi becak ini mendapatkan beberapa fasilitas seperti, pendampingan kesehatan, penyaluran tenaga kerja bagi keluarga
pengemudi becak, dan lain–lain. Sementara itu apabila seluruh pengemudi becak tergabung dalam komunitas–komunitas becak atau paguyuban maka apabila suatu
saat pengguna jasa becak ini merasa dirugikan oleh pengemudi becak, maka pengguna becak bisa melakukan komplain pada komunitas–komunitas atau
106 paguyuban becak tersebut. Dengan demikian komunitas atau paguyuban dapat
melaksanakan pembinaan atau bahkan sangsi terhadap pengemudi becak tersebut. b. Materi atau hal–hal yang dikembangkan
Fasilitas–fasilitas yang dikembangkan Terkait dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, 7 orang
mengatakan belum pernah mendapatkan fasilitas apapun dari pemerintah. Menurut mereka karena mereka bukan orang kantoran, dan mereka hanya orang
kecil yang tidak mungkin diperhatikan oleh pemerintah. Sedangkan 8 yang lainnya mengatakan bahwa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah adalah plat
nomor gratis, STNK becak dan yang berkawasan di Malioboro mendapatkan parkir khusus becak dan gratis pula serta jalur becak. Manfaat dari fasilitas yang
diberikan adalah pengakuan becak itu resmi sehingga wisatawan percaya, adanya member sehingga pendatang percaya, penertiban lalu lintas, identitas yang jelas
bisa membuat teratur, mempermudah perjalanan.
Sementara itu untuk fasilitas yang diterima dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, seluruhnya pengemudi becak ini mengatakan belum pernah
menerima fasilitas apapun dari Dinas ini. Namun ketika peneliti mengkonfirmasi pada Dinas ini, sebenarnya Dinas ini telah mencetak kaos–kaos dengan motif–
motif kota Yogyakarta untuk para pengemudi becak. Meski demikian diakui pula fasilitas kaos ini masih sangat terbatas.
Pembinaan–pembinaan Berdasarkan hasil wawancara, peranan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
masih minimal dalam pemberian pembinaan–pembinaan.. Hal ini dapat cermati dengan hasil wawancara, bahwa dari 5 komunitas becak yang dijadikan subyek
penelitian, hanya 1 komunitas saja, yaitu komunitas becak Santika, yang menjawab
pernah mendapatkan
pembinaan dari
dinas pariwisata
dan Kebudayaan. Sementara komunitas–komunitas becak yang lain belum pernah
sama sekali tersentuh oleh dinas ini. Sebenarnya, berdasarkan wawancara dengan Kepala Sie Pembinaan, Dinas ini juga telah mengadakan beberapa pembinaan
untuk komunitas–komunitas becak. Bahkan Dinas ini telah pula menerbitkan buku saku dan stiker–stiker untuk membantu pengemudi becak dalam
melaksanakan pelayanan secara ramah dan beretika. Namun karena komunitas– komunitas becak ini jumlahnya cukup banyak dan terdiri lebih dari 5000
pengemudi becak, maka belum seluruhnya dapat dijangkau oleh Dinas ini.
c. Efek yang dihasilkan Meski belum didukung oleh data kuantitaif yang memadai, efek yang
dihasilkan dari berbagai upaya yang dilakukan, dapat dilihat dari peningkatan penggunaan becak sebagai sarana transportasi yang terdiri dari 3 kategori becak,
yaitu becak niaga, becak wisata dan wisata becak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala HRD Hotel Saphir mapun Kapala HRD Hotel Santika, kebutuhan akan
becak wisata dan wisata becak oleh wisatawan–wisatwan yang menggunakan jasa hotel tidak pernah surut. Bahkan ada diantara wisatawan yang memesan untuk
disediakan becak apabila mereka datang
ke kota Yogyakarta. Namun demikian belum adanya standar harga bagi pengemudi becak juga merupakan persoalan yang
seringkali mereka becak hadapi. Berkaitan dengan penelitian tentang pengembangan peranan komunitas
becak dalam penguatan simbol–simbol Yogyakarta sebagai kota budaya ini, maka dapatlah dikatakan bahwa peranan komunitas ini untuk penguatan simbol budaya
Yogyakarta tidaklah dapat berdiri sendiri. Peranan ini dapat dikembangkan secara maksimal apabila didukung oleh lembaga–lembaga sosial atau modus organisasi
107 sosial yang menjadi stakeholders dari pendistribuasian simbol budaya ini. Dalam
penelitian ini, lembaga–lembaga seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan serta instansi–instansi yang berkepentingan atas keberadaan becak ini
menjadi unsur
yang tidak
bisa ditinggalkan
dalam pengembangannnya.
Kekurangmaksimalan lembaga–lembaga ini dalam melaksanakan peranannya akan mempengaruhi gerak komunitas becak ini dalam penguatan simbol Yogyakarta kota
budaya. Sebaliknya kemaksimalan peranan pada lembaga–lembaga ini akan ikut mendukung komunitas becak ini sebagai salah satu kekuatan kekhasan Yogyakarta
sebagai kota budaya.
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan