Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap pH

34 Tabel 5 . Hasil pengamatan umur simpan bakso dengan beberapa bahan pengawet .

B. PENELITIAN UTAMA

1. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap pH

pH merupakan tingkat konsentrasi ion H + yang ada pada sampel yang diukur. Ion H + tersebut dapat berasal dari disosiasi komponen asam dalam sampel tersebut, semakin banyak ion H + yang terdisosiasi, maka nilai pH akan semakin rendah. Nilai pH juga menentukan sifat dan karakteristik suatu bahan atau produk pangan. Sifat fungsional beberapa komponen yang penting dalam proses pengolahan pangan sangat tergantung pada pH dari sistem pangan tersebut. Protein merupakan salah Jenis Pengawet Umur Simpan Bakso Hari Kontrol 0 A1= Daun Jambu Tua 2 A2= Daun Jambu Muda 2 A3= Daun Jambu Kering 2 B1= Tanin 0.5 B2= Tanin 1 1 C1= Na-metabisulfit 400 ppm C2= Na-metabisulfit 450 ppm C3= Na-metabisulfit 500 ppm D1= Na-metabisulfit 400 ppm+tanin 0.25 1 D2= Na-metabisulfit 450 ppm+tanin 0.25 2 D3= Na-metabisulfit 500 ppm+tanin 0.25 2 E1= Asam laktat 1 E2= Asam laktat 2 F1= FTO 0.05 F2= FTO 0.1 F3= FTO 0.2 1 G1= COG 0.3 G2= COG 0.4 G3= COG 0.5 1 H1= Kitosan Adonan 2 H2= Kitosan Adonan 5 1 I1= Kitosan Coating 2 2 I2= Kitosan Coating 5 2 35 satu komponen yang sensitif terhadap pH lingkungannya. Protein sebagai salah satu penyusun daging memiliki karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh pH daging. Protein pada daging memiliki peranan yang penting dalam proses pengolahan lanjut dari daging seperti produk bakso atau sosis. Kemampuan daging dalam mengikat air dan kontinyuitas emulsi daging merupakan peranan protein yang signifikan pada produk tersebut. Produk emulsi daging memerlukan bahan baku daging yang memiliki nilai pH yang tinggi. Hal ini disebabkan pada pH tinggi pH 5.5 protein daging akan lebih mudah larut sehingga proses ekstraksinya dengan garam akan lebih maksimal Sheard, 2002. Semakin tinggi protein miosin yang terekstrak maka produk yang dihasilkan akan memiliki WHC yang baik sehingga cooking loss semakin rendah. Selain itu menurut Sheard 2002, protein miosin pada daging memiliki daya adhesi yang baik dibandingkan dengan aktomiosin dan protein sarkoplasma sehingga semakin banyak protein miosin pada produk emulsi maka tekstur produk akhir akan semakin baik. Pengamatan pH dari kontrol pada hari ke-0 menunjukkan nilai yang mendekati pH netral yaitu 6.11. Beberapa perlakuan dengan bahan pengawet juga menunjukkan nilai pH dengan kisaran 6 pada hari ke-0, yaitu FTO 6.10, COG 6.23, Na 2 S 2 O 5 dan tanin 6.19, dan kitosan pada adonan 6.34. Nilai pH awal yang cukup tinggi pada sampel FTO, COG, Na 2 S 2 O 5 dan tanin serta kitosan di adonan ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan mikroba oleh pengawet-pengawet tersebut bukan dengan cara menurunkan pH dari lingkungannya. Pengamatan pH pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan yang nyata dari sampel yang dicoating dengan kitosan 2 dengan kontrol dan sampel-sampel lain. Nilai pH dari sampel dengan coating kitosan tersebut adalah 4.88. Nilai pH yang rendah ini disebabkan oleh larutan kitosan yang digunakan pada pelapisan bakso mempunyai pH 2.95. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini bersifat larut asam sehingga diperlukan asam laktat 2 sebagai media pelarutnya, hal ini disebabkan oleh adanya gugus 36 amino bebas pada kitosan sehingga sifat kelarutannya spesifik pada larutan asam dan tidak larut pada pH netral Alamsyah, 2006. Namun, rendahnya pH bakso ini tidak menyebabkan terganggunya sifat fungsional dari protein karena nilai pH tersebut dapat disebabkan oleh ikut terukurnya lapisan coating yang asam, sedangkan bagian dalam bakso sebenarnya memiliki kisaran nilai pH yang mendekati netral. Pengukuran pH pada hari pertama penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada sampel FTO dan kitosan coating dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Nilai pH FTO pada hari pertama mengalami penurunan menjadi 6.06, sedangkan pada sampel dengan kitosan coating menunjukkan kenaikan pH menjadi 4.99. Pengamatan pH pada kontrol menunjukkan kenaikan, sehingga pH bakso kontrol adalah 6.34. Adanya kenaikan pH ini diikuti oleh munculnya tanda-tanda kerusakan pada kontrol yaitu telah munculnya lendir di permukaan bakso. Lendir tersebut dibentuk oleh bakteri yang tumbuh pada bakso. Menurut Jay et al. 2005, terdapat beberapa jenis bakteri yang pada aktivitas awalnya menaikkan pH dari substratnya, yaitu Enterobacter aerogenes dan Clostridium acetobutylicum, sehingga terdapat kemungkinan bahwa bakteri tersebut yang menyebabkan kenaikan pH dari kontrol dan beberapa sampel. Nilai pH pada hari pertama sampel bakso dengan COG 6.26, Na 2 S 2 O 5 dan tanin 6.21, sedangkan sampel dengan penambahan kitosan di adonan mengalami sedikit penurunan menjadi 6.32. Hasil pengukuran pH hasil rata-rata dua ulangan dapat dilihat pada Gambar 1. 37 Gambar 1. Grafik hasil pengukuran pH sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Hasil pengamatan nilai pH pada kontrol, sampel dengan FTO dan COG selama hari kedua dan ketiga menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pH. Selain mengalami penurunan pH, sampel FTO dan COG juga telah mengalami tanda-tanda awal kerusakan berupa terbentuknya lendir di permukaan bakso dan adanya bau basi pada kontrol dan kedua sampel tersebut. Menurut Frazier dan Westhoff 1988, bau basi dan pengasaman dapat disebabkan oleh adanya proteolisis dan putrefaksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob stinking sour fermentation. Penurunan pH dan terbentuknya bau basi ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba fakultatif anaerob dan anaerob pada kontrol dan sampel cukup tinggi karena pengasaman ini adalah kerusakan akibat pertumbuhan bakteri- bakteri tersebut pada bagian dalam bakso. 38 Sampel bakso dengan penambahan Na-metabisulfit dan tanin menunjukkan nilai pH yang menurun pada hari kedua penyimpanan lalu pada hari ketiga menunjukkan kenaikan. Adanya penurunan pH ini dapat disebabkan oleh adanya disosiasi sulfit yang berkontribusi terhadap peningkatan ion H + dalam sampel. Reaksi yang terjadi menurut Winarno dan Laksmi 1974, adalah sebagai berikut : SO 2 + H 2 H 2 SO 3 H 2 SO 3 HSO 3 - + H + HSO 3 - SO 3 2- + H + Adanya ion bebas H + hasil disosiasi sulfit tersebut menunjukkan bahwa pada bakso yang mempunyai kisaran pH netral sulfit mudah terdisosiasi sehingga aktivitas antimikrobanya berkurang. Menurut Winarno dan Laksmi 1974, garam-garam sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit yang jumlahnya dipengaruhi oleh pH, semakin rendah pH lingkungannya maka akan semakin efektif kinerja dari asam-asam sulfit tersebut dalam menghambat mikroba. Hal ini disebabkan oleh pada kondisi yang tidak terdisosiasi penetrasi asam sulfit ke dalam membran sel mikroba akan lebih efektif. Pengukuran nilai pH pada hari ke-2 menunjukkan perbedaan nyata antara sampel kitosan pada adonan dan kitosan secara coating dan kontrol serta FTO dengan sampel-sampel yang lain. Pengukuran pH pada sampel dengan kitosan adonan dan coating menunjukkan adanya kenaikan pH pada hari kedua. Sedangkan di hari ketiga, pengukuran pH sampel dengan kitosan coating dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Kenaikan pH yang terjadi di hari ketiga penyimpanan beberapa sampel ini dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mampu meningkatkan pH substratnya. Menurut Jay et al. 2005, ketika bakteri berada di lingkungan yang asam, untuk terus bertahan hidup dalam lingkungan tersebut maka bakteri harus mampu mengeluarkan kelebihan ion H + dari dalam sel dengan laju yang sama dengan laju masuknya. Komponen asam amino dekarboksilase pada mikroba merupakan komponen yang berperan dalam menyesuaikan pH lingkungan mendekati 39 netral dengan cara menghasilkan amina dari proses dekarboksilasi komponen asam amino pada substrat Jay et al.,2005.

2. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Tekstur