penambahan kitosan di adonan sebesar 5 dari berat daging ternyata telah
mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat
tinggi 7.02 log cfugram. Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat
dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan
negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga
mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel
Chen et al. dalam Meidina, 2005. Namun, di dalam adonan bakso yang
merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi
efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP fosfat yang
berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan
meningkatkan WHC mempunyai muatan yang negatif ketika terdisosiasi
dalam adonan. Hal ini dapat mengakibatkan terikatnya kitosan oleh
fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup
untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal.
Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan
metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun
bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55
dan 5.77 log cfugram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium
kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan
bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan
dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfugram.
Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan
dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini
disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari
udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan
permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat
mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut.
Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina 2005, bakteri gram
negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen
peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif
mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan.
Menurut Frazier dan Westhoff 1988, kerusakan pada daging secara
aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan
oleh Pseudomonas, Alcaligenes,
Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari
Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan
bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut.
c. Analisis Total Kapang-Khamir
Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk tumbuh pada
lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan bakteri. Namun,
pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang netral, kadar air yang
tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan khamir pertumbuhannya
justru cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri karena
kalah dalam kompetisi pertumbuhan. Menurut Fardiaz 1992, suhu
pertumbuhan optimum bagi pertumbuhan kapang dan khamir adalah
25-30
o
C. Sehingga bahan pangan yang disimpan pada kisaran suhu ini, selain
rentan terhadap kerusakan akibat bakteri, juga rentan terhadap kapang
dan khamir.
Menurut Frazier dan Westhoff 1988, pada kondisi aerob khamir dapat
tumbuh pada permukaan daging dan menyebabkan lendir, lipolisis,
penyimpangan bau dan rasa, serta perubahan warna. Selain itu,
pertumbuhan kapang juga dapat menyebabkan permukaan daging
menjadi lengket, adanya spot hitam akibat pertumbuhan Cladosporium
herbarum, spot putih yang dibentuk oleh
Sporotrichum carnis dan Geotrichum Frazier dan Westhoff,
1988. Gambar 9 menunjukkan hasil pengamatan jumlah kapang dan khamir
selama penyimpanan pada sampel dan kontrol.
Gambar 9. Grafik hasil analisis
kapang-khamir rata-rata dari dua ulangan sampel
bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu
ruang
Hari ke-0 pada semua sampel dan kontrol belum terlihat adanya
pertumbuhan dari kapang dan khamir. Tahap ini juga merupakan tahap lag
phase bagi pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan kapang dan khamir yang lebih lambat dibandingkan dengan
bakteri dan juga adanya proses perebusan pada bakso sehingga tidak
terdapat kapang ataupun khamir yang tumbuh pada bakso di hari ke-0.
Sampel dengan FTO dan COG pada penyimpanan hari kedua dan
ketiga juga telah mempunyai beban total kapang dan khamir sebesar 5.18 dan
6.18 serta 5.43 dan 6.27 log cfugram. Secara kualitatif, pertumbuhan kapang
pada kontrol dan sampel dengan FTO dan COG dapat diketahui dari
terbentuknya miselium kapang yang berwarna putih pada hari kedua
penyimpanan. Kapang yang memiliki ciri pembentukan spot putih adalah
Sporotrichum carnis dan Geotrichum Frazier dan Westhoff, 1988. Selain itu,
menurut Jay et al. 2005, kapang yang paling sering ditemui pada kerusakan
daging adalah Aspergillus,
dan Penicillium, sedangkan khamir adalah
Debaryomyces. Sampel dengan penambahan sulfit
dan tanin belum menunjukkan adanya pembentukan miselium kapang pada
hari kedua penyimpanan, seperti halnya sampel dengan penambahan kitosan
pada adonan dan juga coating. Ketiga sampel ini baru menunjukkan adanya
miselium kapang pada hari ketiga penyimpanan. Jumlah total kapang dan
khamir pada sampel-sampel tersebut pada hari ketiga sebesar 6.19, 6.28, dan
6.08 log cfugram. Pesatnya pertumbuhan kapang dan khamir ini
disebabkan oleh telah beradaptasinya mikroba tersebut dengan kondisi
substrat sehingga dapat bersaing dengan bakteri yang juga terdapat pada substrat
yang sama.
Berdasarkan analisis keawetan secara visual, bakso dengan
penambahan COG dan kitosan 5 pada adonan masih memiliki atribut rasa dan
aroma yang dapat diterima serta belum terbentuk lendir pada permukaannya,
walaupun telah melebihi batas total mikroba SNI bakso sejumlah 5 log
cfugram 5.85 dan 5.20 log cfugram. Menurut Frazier dan Westhoff 1988,
pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per
satuan luas permukaannya adalah pada kisaran 7 hingga 8 log cfucm
2
, sedangkan bau asam terdeteksi pada 8
log cfucm
2
. Hal ini diperkuat dengan telah terbentuknya lendir pada kontrol
dan sampel dengan FTO pada hari pertama dengan jumlah mikroba total
7.48 dan 7.32 log cfugram, sehingga telah tidak layak dikonsumsi dan nilai
uji keawetannya nol. Analisis total mikroba pada hari kedua menunjukkan
bahwa sampel dengan penambahan sulfit dan tanin serta kitosan sebagai
coating
memiliki kandungan total mikrobanya sebesar 6.55 dan 5.77 log
cfugram, tetapi berdasarkan uji keawetan sampel-sampel tersebut masih
memiliki penampakan yang baik dan masih layak dikonsumsi. Namun, pada
hari ketiga, seluruh sampel telah mengalami kerusakan dan tidak layak
lagi untuk dikonsumsi.
5. Pengaruh Bahan Pengawet