PEMBUATAN BAKSO TINJAUAN PUSTAKA A.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAKSO SNI 01-3818-1995 mendefinisikan bakso daging sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50 dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bakso yang banyak dipasarkan di Indonesia umumnya dibuat dari daging sapi. Namun, sebenarnya bakso dapat dibuat dari berbagai jenis daging seperti daging ikan, daging ayam, daging kelinci, daging babi, bahkan daging ikan cucut. Karakteristik yang berbeda-beda dari setiap jenis daging tersebut tentunya berpengaruh terhadap cara pengolahan dan mutu bakso yang dihasilkan. Hasil survey yang dilakukan oleh Andayani 1999, menunjukkan bahwa karakteristik bakso sapi yang disukai konsumen adalah rasanya yang gurih, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus, memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal, serta berbentuk bulat dengan ukuran sedang diameter 3-5 cm. Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging sapi yang kadar proteinnya 20-22 dan kadar lemak 4.8 lean meat Varnam and Sutherland, 1995. Kualitas protein daging juga tinggi, jenis dan rasio asam-asam amino dalam daging sapi memenuhi kebutuhan untuk perawatan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Namun, selain kaya nutrisi daging sapi juga memiliki kadar air yang tinggi 70-73 menyebabkan bakso sangat rentan terhadap kerusakan secara mikrobiologis.

B. PEMBUATAN BAKSO

Bakso dibuat dari beberapa bahan baku seperti daging sapi, bahan pengisi, es, garam, bumbu, juga bahan tambahan seperti bahan pengawet dan pemutih TiO 2 . Daging sapi yang baik digunakan sebagai bahan baku bakso adalah daging yang masih dalam fase prerigor. Daging yang masih berada 4 dalam fase prerigor umumnya diperoleh segera setelah pemotongan ternak tanpa mengalami proses penyimpanan, sehingga daging tersebut masih berupa daging segar. Menurut Muchtadi dan Sugiyono 1989, daging prerigor memiliki WHC yang tinggi serta pH yang jauh diatas titik isoelektrik dari aktin dan miosin sehingga protein tersebut akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering. Daging segar atau prerigor akan menghasilkan produk yang baik karena adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk ikatan aktomiosin antara keduanya Sunarlim, 1992. Hal ini menyebabkan lebih banyaknya protein yang dapat terekstrak jika dibandingkan dengan daging rigor mortis dan post rigor. Protein aktin dan miosin merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam dan juga berfungsi penting dalam pembentukan emulsi daging. Adanya kandungan protein terekstrak yang tinggi pada daging akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Protein daging juga berperan dalam meningkatkan water holding capacity, yaitu kemampuan daging dalam mempertahankan dan mengikat air selama pemasakan sehingga akan menurunkan cooking loss dan menghasilkan produk yang empuk dan juicy. Bahan pengisi juga merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso. Menurut Rust 1987, bahan pengisi yang digunakan pada proses produksi emulsi daging bertujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan rendemen, memperbaiki daya iris, memperbaiki flavor, dan juga mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging dan mempunyai kandungan karbohidrat tinggi dan protein yang rendah. Hal ini menyebabkan bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air yang baik, tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak Sunarlim, 1992. Tepung yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka, tepung gandum, tepung sagu atau tepung aren yang dapat digunakan secara terpisah maupun campuran dengan jumlah 10-100 atau lebih dari berat daging. Bakso yang bermutu baik memiliki kadar pati rendah sekitar 15, semakin banyak jumlah tepung yang ditambahkan, maka mutu bakso semakin rendah dan murah harganya. 5 Bahan pengisi pati dapat meningkatkan daya ikat air karena mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi tersebut dapat mengabsorpsi air dua hingga tiga kali lipat dari berat semula, sehingga bobot adonan menjadi lebih besar. Kemampuan dari pati dalam menyerap air ini ditentukan oleh perbandingan amilosa dan amilopektin dalam pati tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap air lebih banyak Sidik, 1990. Garam dan MSG monosodium glutamat juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bakso. Garam mempunyai fungsi sebagai pemberi citarasa produk, pelarut protein aktin dan miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, dan meningkatkan daya ikat air yang biasanya dikombinasikan dengan alkali fosfat Sodium Tripolifosfat Sunarlim, 1992. Sedangkan monosodium glutamat dominan digunakan untuk memperkuat citarasa gurih pada produk. Lawrie 1988, menjelaskan mekanisme garam dalam memperbaiki sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibrilar dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan garam sebaiknya dilakukan dengan jumlah antara 2 - 4. Menurut Sunarlim 1992, penambahan garam kurang dari 1.8 dapat menyebabkan rendahnya protein terlarut, sedangkan penambahan garam dengan konsentrasi terlalu tinggi dapat menyebabkan pengendapan protein salting out dan berakibat pada turunnya daya ikat. Es umumnya juga ditambahkan dalam pembuatan bakso sebagai fase pendispersi seperti halnya fungsi air. Penambahan es atau air dingin pada pembentukan emulsi daging diantaranya adalah untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, serta mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanis Elviera, 1988. Fungsi pokok dari es sebenarnya adalah untuk mempertahankan suhu adonan. Hal ini disebabkan oleh adanya suhu optimum 6 untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5 o C, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi adonan sebaiknya tidak melebihi 20 o C. Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari penghancuran daging, penambahan bahan dan pembentukan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah pencacahan, pencincangan, ataupun penggilingan. Penghancuran daging tersebut bertujuan memperluas permukaan daging dan memecahkan dinding sel serabut otot, sehingga protein yang larut dalam garam aktin dan miosin lebih mudah terekstrak. Protein yang terekstrak tersebut memiliki kemampuan mengikat air yang lebih baik dibandingkan dengan myosin yang teragregat dalam daging. Hal ini disebabkan oleh adanya pemaparan sisi pengikatan pada myosin terhadap pelarut. Myosin secara total memiliki asam amino polar mencapai 38 dengan kandungan residu asam aspartat dan glutamat yang tinggi dimana setiap komponen tersebut dapat mengikat 6-7 molekul air Varnam and Sutherland, 1995. Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan menggiling daging bersama garam dan es batu terlebih dahulu kemudian diikuti penambahan bahan lainnya Sunarlim, 1992. Pemasakan bakso bertujuan membentuk struktur produk yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.

C. KERUSAKAN PANGAN DAN MIKROBA