Nilai L Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Warna

45

3. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Warna

a. Nilai L

Warna adalah salah satu parameter fisik yang menentukan penerimaan suatu produk oleh konsumen. Warna juga merupakan komponen fisik yang pertama kali berinteraksi dengan konsumen, ketika produk tersebut dipasarkan. Soekarto 1990, menjelaskan bahwa warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik yang obyektif dan sifat organoleptik yang subyektif. Sehingga warna dapat diukur secara obyektif dengan instrumen fisik seperti chromameter, tintometer, whiteness meter, maupun diukur secara subyektif dengan uji organoleptik yang menggunakan manusia sebagai subyek penilai warna sampel. Pengukuran warna sampel secara obyektif pada penelitian ini menggunakan instrumen chromameter Minolta tipe CR 200 dengan sistem notasi Hunter yang mempunyai 3 parameter dalam mengukur warna sampel. Parameter tersebut adalah nilai L, a, dan b. L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam pada sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 putih. Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a positif dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a negatif dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b positif dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b negatif dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Grafik perubahan nilai L sampel dengan dua ulangan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. 46 Gambar 5. Grafik hasil pengukuran kecerahan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Kecerahan nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam Soekarto, 1990. Hasil pengukuran terhadap kecerahan bakso pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan nyata dari kontrol dengan sampel-sampel lainnya. Pengukuran nilai L pada kontrol di hari ke-0 menunjukkan nilai kecerahan sebesar 40.32. Nilai ini menunjukkan bahwa kontrol memiliki warna abu-abu gelap, selain itu nilai ini juga merupakan nilai kecerahan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecerahan sampel-sampel lain. Rendahnya kecerahan dari kontrol maupun sampel disebabkan oleh tidak ditambahkannya bahan pemutih dalam pembuatan bakso ini. Bahan pemutih yang ditambahkan pada proses pembuatan bakso umumnya 47 adalah TiO 2 titanium dioksida dengan konsentrasi 0.5-1 dari berat adonan Yovita, 2000. Warna abu-abu gelap pada bakso ini dapat disebabkan oleh adanya penambahan tepung aren yang mempunyai warna putih keabu-abuan, sehingga berkontribusi terhadap warna produk akhir. Selain itu, reaksi Maillard antara gula pereduksi dari tepung seperti glukosa dengan gugus amina primer yang biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino Winarno, 2002. Sampel dengan penambahan Na 2 S 2 O 5 pada adonan dan tanin pada perebusan akhir memiliki nilai L pada H-0 yang lebih rendah dari kontrol yaitu 32.28 begitu juga dengan FTO yang salah satu penyusunnya adalah sulfit dengan nilai kecerahan 34.35. Sulfit yang merupakan bahan yang dapat mencegah pencoklatan enzimatis maupun non-enzimatis ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap kecerahan bakso. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses pemanasan pada perebusan bakso sehingga sulfit mengalami penguapan. Lewis 1989, menyatakan bahwa umumnya sulfit tidak digunakan pada produk yang akan dikonsumsi secara langsung fresh hal ini dimaksudkan agar residu sulfit dalam produk berkurang akibat pemasakan. Menurut Winarno dan Laksmi 1974, sulfit mudah mengalami penguapan setelah pendidihan sehingga residu dalam bahan umumnya mencapai setengah dari konsentrasi awal yang ditambahkan. Penambahan tanin pada perebusan akhir juga menyebabkan warna akhir sampel bakso menjadi lebih pucat dibandingkan dengan kontrol maupun sampel yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya warna tanin yang cenderung kuning-coklat sehingga bakso menjadi lebih pucat sebagai akibat dari ekspresi warna dari tanin tersebut. Sampel dengan penambahan COG juga mempunyai tingkat kecerahan yang rendah yaitu 32.60. Hal ini disebabkan oleh adanya asam askorbat sebagai salah satu komponen penyusun mix pengawet ini. Vitamin C asam askorbat merupakan senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor pembentukan warna gelap nonenzimatik Winarno, 2002. Menurut Winarno 2002, jika asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan 48 dengan asam dehidroaskorbat, maka cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk senyawa diketogulonat dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan. Penambahan kitosan pada adonan bakso ternyata juga menyebabkan nilai kecerahan yang rendah yaitu 31.74, sedangkan metode pelapisan pada bakso menyebabkan nilai kecerahan sampel lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lain tetapi masih di bawah kontrol yaitu sebesar 34.69. Adanya lapisan kitosan yang terbentuk di permukaan bakso dapat menyebabkan nilai kecerahan sampel yang relatif lebih tinggi dibandingkan sampel lain. Selama penyimpanan terjadi penurunan nilai kecerahan pada semua sampel. Namun, pada beberapa sampel terjadi peningkatan kecerahan seperti sampel dengan sulfit dan tanin, COG, dan kitosan coating. Peningkatan kecerahan ini dapat disebabkan oleh adanya miselium kapang yang berwarna putih yang terbentuk pada hari ketiga penyimpanan. Sehingga pada pengukuran, miselium ini terukur sebagai bagian dari sampel sehingga nilai kecerahan sampel naik.

b. Nilai Derajat Hue