Analisis Total Mikroba Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso

53 menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan FTO 0.2 dan kontrol telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir pada permukaan bakso dan adanya bau basi, sedangkan pada sampel-sampel lain belum terdeteksi adanya kerusakan. Pengamatan pada hari kedua menunjukkan bahwa hanya sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25 serta kitosan 2 sebagai coating yang masih belum mengalami kerusakan, sedangkan pada sampel-sampel yang lain telah terbentuk lendir dan bau basi. Seluruh sampel telah mengalami kerusakan pada hari ketiga, yang ditunjukkan oleh bau basi yang sangat menyengat, tekstur yang lembek, dan adanya pembentukan lendir pada kontrol, sampel dengan FTO, COG, dan kitosan pada adonan, serta adanya miselium kapang yang berwarna putih pada sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25 serta kitosan 2 sebagai coating.

b. Analisis Total Mikroba

SNI 01-3818-1995 mencantumkan salah satu standar berupa jumlah total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 X 10 5 kolonigram atau sebesar 5 log cfug. Sebagai produk dengan kadar air, pH, dan aw yang tinggi, bakso yang tidak menggunakan pengawet dan disimpan pada suhu ruang akan memiliki umur simpan yang sangat pendek, yaitu maksimum 1 hari. Hasil pengamatan total mikroba pada kontrol dan sampel selama tiga hari penyimpanan terdapat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada hari ke-0, semua sampel dan kontrol mempunyai beban mikroba pada kisaran 4 log cfug. Jumlah awal mikroba pada bakso yang cukup rendah ini disebabkan oleh adanya perebusan dalam proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas mati. Namun, pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel Fardiaz, 1992. Contoh 54 bakteri tersebut adalah Staphylococcus, Leuconostoc, Micrococcus, dan Streptococcus. Keterangan : A = Syarat jumlah mikroba maksimal pada bakso SNI 01- 3818-1995 B = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi lendir pada produk olahan daging Frazier dan Westhoff, 1988 C = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi bau basi pada produk olahan daging dan tidak aman dikonsumsi Frazier dan Westhoff, 1988 Gambar 8. Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Hasil pengamatan hari pertama penyimpanan menunjukkan jumlah mikroba pada kontrol telah meningkat drastis menjadi 7.48 cfugram, nilai ini hampir sama dengan sampel dengan penambahan FTO yang beban mikrobanya mencapai 7.32 cfugram. Pada hari pertama ini juga telah 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 H-0 H-1 H-2 H-3 Lama Penyimpanan Ju m lah Mikr o b a L o g C F U g ram Kontrol FTO 0.2 Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25 COG 0.5 Khitosan Adonan 5 Khitosan Coating 2 A C B 55 terbentuk lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO. Lendir merupakan salah satu indikasi adanya mikroba dalam sampel, lendir ini dapat berfungsi sebagai komponen yang berperan dalam adhesi sel pada permukaan benda padat Fardiaz, 1992. Lendir dibentuk oleh bakteri pembentuk kapsul yang jika tumbuh pada medium akan membentuk koloni yang bersifat mukoid, tetapi jika tumbuh pada makanan akan membentuk lendir Fardiaz, 1992. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pengawet FTO tidak efektif untuk digunakan dalam pengawetan bakso pada suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya bahan-bahan penyusun mix pengawet ini merupakan bahan yang mempunyai aktivitas yang maksimal untuk menghambat pertumbuhan mikroba jika kondisi lingkungannya memiliki pH yang rendah. Sedangkan pH pada bakso berada dalam kisaran pH netral yang sangat mendukung perkembangan mikroba, khususnya bakteri. Sampel dengan penambahan COG, sulfit dan tanin, kitosan pada adonan, dan kitosan coating masih belum menunjukkan adanya lendir maupun bau yang menyimpang pada hari pertama penyimpanan. Jumlah mikroba pada sampel-sampel tersebut adalah sebesar 5.85, 5.27, 5.20, dan 4.90 log cfugram. Jumlah mikroba pada sampel COG, sulfit dan tanin, serta kitosan yang ditambahkan pada adonan telah melebihi standar yang ditetapkan dalam SNI yaitu 5 log cfug, tetapi pada sampel ini belum ditemui adanya tanda-tanda kerusakan mikrobiologis. Menurut Frazier dan Westhoff 1988, pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah 10 7 hingga 10 8 cm 2 , sedangkan bau asam terdeteksi pada 1-1.3x10 8 cm 2 . Pengamatan pada hari kedua dan ketiga penyimpanan menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada kontrol, FTO, COG, dan kitosan di adonan telah mencapai 7 hingga 8 log cfugram. Lendir dan bau basi telah terbentuk pada sampel-sampel ini. Jumlah mikroba kontrol pada hari kedua dan ketiga penyimpanan adalah 8.13 dan 8.32 log cfugram, FTO 8.04 dan 8.31 log cfugram, COG 7.44 dan 8.23 log cfugram, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 dan 7.29 cfugram. Sampel 56 dengan penambahan kitosan di adonan sebesar 5 dari berat daging ternyata telah mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat tinggi 7.02 log cfugram. Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel Chen et al. dalam Meidina, 2005. Namun, di dalam adonan bakso yang merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP fosfat yang berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan meningkatkan WHC mempunyai muatan yang negatif ketika terdisosiasi dalam adonan. Hal ini dapat mengakibatkan terikatnya kitosan oleh fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal. Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55 dan 5.77 log cfugram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfugram. Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut. 57 Kitosan yang memiliki gugus amin yang reaktif, adanya sifat polikationik dan kemampuannya membentuk gel membuat kitosan ini lebih sesuai digunakan sebagai pelapis coating. Mekanisme kitosan sebagai coating dalam menghambat pertumbuhan mikroba ini juga tidak terganggu oleh adanya STPP dalam bakso, karena kitosan hanya terbentuk di bagian luar bakso. Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina 2005, bakteri gram negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan. Menurut Frazier dan Westhoff 1988, kerusakan pada daging secara aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan oleh Pseudomonas, Alcaligenes, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut.

c. Analisis Total Kapang-Khamir