b. Analisis Total Mikroba SNI 01-3818-1995 mencantumkan
salah satu standar berupa jumlah total mikroba untuk produk bakso maksimal
sebesar 1.0 X 10
5
kolonigram atau sebesar 5 log cfug. Sebagai produk
dengan kadar air, pH, dan aw yang tinggi, bakso yang tidak menggunakan
pengawet dan disimpan pada suhu ruang akan memiliki umur simpan yang sangat
pendek, yaitu maksimum 1 hari. Hasil pengamatan total mikroba pada kontrol
dan sampel selama tiga hari penyimpanan terdapat pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada hari ke-0, semua sampel
dan kontrol mempunyai beban mikroba pada kisaran 4 log cfug. Jumlah awal
mikroba pada bakso yang cukup rendah ini disebabkan oleh adanya perebusan
dalam proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak
tahan panas mati. Namun, pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin
bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif
yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih
terdapat dalam sampel Fardiaz, 1992. Contoh bakteri tersebut adalah
Staphylococcus,
Leuconostoc, Micrococcus, dan Streptococcus.
Gambar 8.
Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua
ulangan sampel bakso selama tiga hari
penyimpanan pada suhu ruang
Keterangan : A = Syarat jumlah mikroba maksimal
pada bakso SNI 01-3818-1995 B = Jumlah mikroba dimana mulai
terdeteksi lendir pada produk olahan daging Frazier dan
Westhoff, 1988 C = Jumlah mikroba dimana mulai
terdeteksi bau basi pada produk olahan daging dan tidak aman
dikonsumsi Frazier dan Westhoff, 1988
Hasil pengamatan hari pertama penyimpanan menunjukkan jumlah
mikroba pada kontrol telah meningkat drastis menjadi 7.48 cfugram, nilai ini
hampir sama dengan sampel dengan penambahan FTO yang beban
mikrobanya mencapai 7.32 cfugram. Pada hari pertama ini juga telah
terbentuk lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO. Lendir merupakan
salah satu indikasi adanya mikroba dalam sampel, lendir ini dapat berfungsi
sebagai komponen yang berperan dalam adhesi sel pada permukaan benda padat
Fardiaz, 1992.
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pengawet FTO tidak efektif
untuk digunakan dalam pengawetan bakso pada suhu ruang. Sampel dengan
penambahan COG, sulfit dan tanin, kitosan pada adonan, dan kitosan
coating masih belum menunjukkan adanya lendir maupun bau yang
menyimpang pada hari pertama penyimpanan.
Jumlah mikroba pada sampel COG, sulfit dan tanin, serta kitosan yang
ditambahkan pada adonan telah melebihi standar yang ditetapkan dalam
SNI yaitu 5 log cfug, tetapi pada sampel ini belum ditemui adanya tanda-
tanda kerusakan mikrobiologis. Menurut Frazier dan Westhoff 1988,
pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per
satuan luas permukaannya adalah 10
7
hingga 10
8
cm
2
, sedangkan bau asam terdeteksi pada 1-1.3x10
8
cm
2
. Pengamatan pada hari kedua dan
ketiga penyimpanan menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada kontrol,
FTO, COG, dan kitosan di adonan telah mencapai 7 hingga 8 log cfugram.
Lendir dan bau basi telah terbentuk pada sampel-sampel ini. Sampel dengan
3.00 4.00
5.00 6.00
7.00 8.00
9.00
H-0 H-1
H-2 H-3
Lama Penyimpanan
J u
m lah
M ikr
o b
a L
o g
C F
U g
ra m
Kontrol FTO 0.2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25 COG 0.5
Khitosan Adonan 5 Khitosan Coating 2
A C
B
penambahan kitosan di adonan sebesar 5 dari berat daging ternyata telah
mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat
tinggi 7.02 log cfugram. Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat
dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan
negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga
mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel
Chen et al. dalam Meidina, 2005. Namun, di dalam adonan bakso yang
merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi
efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP fosfat yang
berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan
meningkatkan WHC mempunyai muatan yang negatif ketika terdisosiasi
dalam adonan. Hal ini dapat mengakibatkan terikatnya kitosan oleh
fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup
untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal.
Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan
metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun
bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55
dan 5.77 log cfugram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium
kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan
bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan
dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfugram.
Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan
dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini
disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari
udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan
permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat
mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut.
Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina 2005, bakteri gram
negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen
peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif
mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan.
Menurut Frazier dan Westhoff 1988, kerusakan pada daging secara
aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan
oleh Pseudomonas, Alcaligenes,
Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari
Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan
bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut.
c. Analisis Total Kapang-Khamir