I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi ekonomi ditandai dengan kesepakatan perdagangan bebas yang oleh beberapa negara disebut Asean Free Trade Area AFTA untuk kawasan Asia
Tenggara, North America Free Trade Area NAFTA di Amerika Utara, Asia- Pacific Economic Cooperation
APEC di Asia Pasifik dan Uni Eropa yang menghimpun beberapa negara di Eropa. Hal tersebut menyebabkan ketatnya
persaingan dagang produk pangan. Implikasinya berdampak pada mutu dan harga serta hambatan teknis, seperti food safety keamanan pangan, lingkungan dan
human right Hak Asasi Manusia. Berbagai perubahan pola hidup manusia
terjadi pada zaman modern yang serba cepat, dimana tuntutan untuk hidup sehat dan mendapatkan makanan dengan mutu baik, semakin menambah ketatnya
persaingan dalam perdagangan internasional di bidang produk pangan. Kondisi yang demikian menuntut adanya berbagai ketentuan dan standar yang lebih ketat.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan 2000, forum General Agreement on Trade and Tariffs
GATT telah mengeluarkan aturan perdagangan untuk komoditas hasil pertanian dalam bentuk Sanitary and Phitosanitary SPS
Agreement , yang bertujuan untuk :
• Melindungi keselamatan dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan atau ternak, dan kondisi tanaman serta phitosanitasi dari negara anggota.
• Menciptakan acuan peraturan multilateral yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam pengembangan, adopsi dan penerapan aturan sanitasi dan phitosanitasi
dalam rangka menunjang kelancaran arus perdagangan. • Untuk lebih menyeragamkan peraturan-peraturan sanitasi dan phitosanitasi di
antara negara-negara anggota dengan menggunakan standar-standar internasional, terutama Codex Alimentarius Commision CAC, International
Office of Epizotic IOE dan International Plant Protection Convention
IPPC. Aturan yang ada tidak mengabaikan keinginan negara anggota untuk menyertakan aturan lokal yang mereka miliki.
Menurut Ditjen Perikanan 2000, Indonesia sudah seharusnya mengikuti kebijakan yang ditetapkan FAO, yaitu : sebuah aturan yang didasari atas Code of
Conduct for Responsible Fisheries CCRF berisi tentang pemisahan garis
petunjuk untuk pemanfaatan yang telah dikembangkan dan dipublikasikan sebagai Technical Guidelines for Responsible Fisheries
. CCRF pada pasal 11 mengatur tentang post harvest practice and trade dimana terdapat 12 butir aturan yang
intinya mengharuskan setiap negara mempunyai aturan untuk melindungi konsumen dari ketidakamanan dan kerusakan produk perikanan yang
didistribusikan. Berbagai negara sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan yang sama.
Ditandai dengan munculnya berbagai ketentuan di setiap negara, terutama yang menjadi tujuan ekspor. Uni Eropa UE memiliki Commision Decision No.
94324EC tentang penentuan kondisi yang spesifik mengenai pengimporan produk perikanan dan budidaya perikanan dari Indonesia dan Amerika Serikat
dengan FDA regulation-nya melalui Code of Federal Regulations CFR 21 Part 123 tentang obat-obatan dan makanan serta lebih spesifik mengenai perikanan
dan produk perikanan . Pemerintah Indonesia sangat menyadari peningkatan daya saing competitiveness. Dapat terlihat dengan adanya Surat Keputusan Menteri
Pertanian RI No. 411998, menetapkan operasionalisasi Program Manajemen Mutu Terpadu yang disingkat dengan PMMT. Keputusan Direktorat Jenderal
Perikanan No. 14128kptsIK.130XII98 menghasilkan sebuah Petunjuk Pelaksanaan dari SK Mentan RI No. 4198. PMMT diwajibkan kepada seluruh
Unit Pengolahan Ikan yang mempunyai orientasi ekspor. PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk PT DSFI Tbk lebih
mengorientasikan produknya pada kegiatan ekspor, mengingat pasar ekspor memiliki potensi pasar yang lebih besar dengan nilai tukar dolarnya yang tinggi
terhadap rupiah. Hal ini didukung pula dengan kegiatan-kegiatan promosi yang gencar dilakukan oleh perusahaan di beberapa negara seperti Amerika Serikat,
Australia, Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, dan beberapa negara di belahan benua Eropa seperti Inggris, Belgia dan Perancis.
Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk jika tetap ingin bertahan dalam lingkungan bisnis khususnya
perdagangan ekspor adalah mengakomodasi dan mengoptimalkan seluruh sumberdaya perusahaan mulai dari divisi, sub divisi hingga hal terkecil dari
perusahaan. Selain itu, perlu pula dilakukan pengefisienan terhadap sumberdaya yang ada baik dari segi finansial maupun dari proses produksi, sehingga
perusahaan dapat lebih bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis. Six Sigma
merupakan sebuah sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan proses bisnis. Six Sigma
secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, data, dan analisis statistik, dan
perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki, dan menanamkan kembali proses bisnis.
Menurut Pande et al, Six Sigma dapat terjadi di semua tipe bisnis dan tidak harus pada suatu organisasi yang memiliki kemampuan mendalam di bidang
analisis statistik. Six Sigma dapat memberikan kontribusi tidak hanya pada bagaimana perusahaan dapat mengukur dan menganalisis kinerja, tetapi juga untuk
memperbaiki pendekatan dasar perusahaan untuk mengelola bisnis. Perusahaan- perusahaan yang lebih dulu menerapkan proyek Six Sigma adalah General
Electric , dimana Six Sigma dapat meningkatkan laba lebih dari 2 miliar pada
tahun 1999 saja. Motorola dapat menghemat lebih dari 15 miliar dalam sepuluh tahun pertama dari usaha-usaha Six Sigma-nya. Sedangkan Allied Signal telah
menghemat 1,5 miliar melalui Six Sigma
1.2 Perumusan Masalah