Diagram Pareto Tahap Pengukuran Measure

5.8 Tahap Pengukuran Measure

5.8.1 Diagram Pareto

Berdasarkan prinsip Pareto bahwa 80 kekacauan berasal dari 20 masalah. Diagram Pareto digunakan untuk menstratifikasi data ke dalam kelompok-kelompok dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Dengan bentuknya berupa diagram batang, Pareto dapat membantu perusahaan untuk mengidentifikasi penyebab masalah pada proses pembuatan fish fillet. Menurut Gaspersz 2001, proses pembuatan Diagram Pareto adalah dengan mendaftarkan penyebab masalah secara berurutan berdasarkan frekuensi kejadian dari yang tertinggi sampai terendah, kemudian menghitung frekuensi kumulatif, persentase dari total kejadian dan persentase dari total kejadian secara kumulatif seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10. Frekuensi Kecacatan Produksi Fish Fillet dalam ton PT DSFI Tbk Periode Januari 2004 – Juni 2005 No Penyebab Kecacatan Defect Frekuensi Frekuensi Kumulatif Persentase Total Persentase Kumulatif Nilai Penjualan Rp 1 Kekurangan es 143,20 143,20 33,34 33,34 6.125.805.304,00 2 Memar karena benturan 143,20 286,40 33,34 66,68 6.125.805.304,00 3 Kulit lecet 85,92 372,32 20,00 86,68 3.675.483.182,40 4 Kesalahan dalam pemotongan 28,64 400,96 6,67 93,35 1.225.161.060,80 5 Metal detecting 28,57 429,53 6,65 100,00 1.222.162.325,10 Jumlah 429,53 100,00 18.374.417.176,30 Sumber : Diolah dari Laporan Divisi Produksi, 2005. Setelah mendaftarkannya dalam bentuk tabel, langkah selanjutnya adalah menggambar dua buah garis vertikal dan sebuah garis horizontal. Garis vertikal sebelah kiri mencantumkan skala dari nol sampai total keseluruhan dari kerusakan, sedangkan garis vertikal sebelah kanan mencantumkan skala persentase kerusakan. Garis horizontal dibagi ke dalam banyaknya interval sesuai dengan banyaknya item kerusakan Berdasarkan Tabel 10 diperoleh lembar data untuk pembuatan Diagram Pareto dari produksi fish fillet. Tabel tersebut memperlihatkan penyebab kerusakan yang dapat mempengaruhi produksi fish fillet sehingga akhirnya akan mempengaruhi kinerja divisi produksi dan nilai penjualan fish fillet. Adanya defect pada fish fillet dapat disebabkan oleh beberapa jenis kerusakan seperti kekurangan es pada saat pencucian dan perendaman, memar pada daging yang terjadi karena benturan-benturan, kulit ikan yang lecet pada saat penyisikan ataupun pemfilletan, kesalahan dalam pemotongan daging ikan, dan tidak lulus uji pada saat pemeriksaan akhir melalui metal detector karena fish fillet mengandung logam. Frekuensi defect tersebut diperoleh dari asumsi dasar perusahaan terhadap penyebab kerusakan yang terjadi dengan rata-rata persentase masing-masing ialah 5, 5 dan 3 terhadap bahan baku sebelum penyortiran, 1 yang terjadi hampir di setiap tahap pembuatan fish fillet dan 1 terhadap produk akhir. Untuk memperoleh frekuensi defect sebenarnya, persentase ini harus dikalikan dengan 35.09 , kecuali defect saat melewati metal detector karena asumsi persentasenya yang sebesar 1 hanya dikalikan dengan produk akhir atau jumlah daging setelah pemfilletan. Angka 35.09 seperti yang tercantum pada Tabel 12 merupakan daging ikan setelah proses pemfilletan yang diperoleh dari perhitungan rata-rata bahan baku setelah difillet hanya dalam bentuk daging saja tanpa isi perut, perut, kepala, sisik dan tulang. Penyebab utama kerusakan dalam pembuatan fish fillet pada Divisi Produksi PT DSFI Tbk cabang Jakarta adalah kekurangan es dan memar karena benturan. Persediaan es yang cukup atau sesuai dengan kebutuhan penggunaan memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menjaga kesegaran dan mutu ikan. Terlebih karena penggunaan es dibutuhkan pada hampir di setiap proses produksi pembuatan fish fillet. Pada saat penerimaan bahan, persediaan es harus mencukupi untuk menjaga suhu ikan tetap rendah di bawah 5 ºC. Pencucian ikan pun dilakukan dengan menggunakan klorin yang dilarutkan pada air dingin yang berasal dari air potable layak untuk diminum dan es curai. Penggunaan es juga dibutuhkan pada tahap perendaman dalam air dingin chilling dimana daging fillet ditampung dan direndam dalam bak fiber yang berisi air dingin yang mengandung klorin. Ini berarti, ketersediaan sangat penting pengaruhnya untuk menjaga suhu ikan tetap rendah di bawah 5 ºC. Oleh karena itu, kekurangtersediaan es menjadi penyebab utama dalam memproduksi fish fillet dan hal ini menyebabkan 143,20 ton bahan baku ikan maupun yang telah difillet tidak dapat diproduksi. Hal tersebut dapat disebabkan pula oleh kelalaian petugas dalam mengontrol ketersediaan es pada bak penampung ikan. Pada setiap pemindahan bahan baku dari satu tahap ke tahap berikutnya, bahan baku ditampung dan direndam dalam bak plastik dengan menggunakan air dan es. Suhu ikan yang meningkat dikarenakan ikan kurang terendam dalam air dan es. Tumpukan ikan yang berada di permukaan tidak terendam dalam air dan es, dengan kata lain es hanya berada di bawah tumpukan ikan bagian atas sampai dengan dasar bak penampung. Pada umumnya, suhu ikan dapat terjaga tetap rendah bila bagian atas tumpukan ikan tertutupi dengan es dalam bak penampung. Bila frekuensi defect sebesar 143,20 ton dikonversikan ke dalam nilai nominal rupiah dari rata-rata harga fish fillet periode Januari 2004 hingga Juni 2005 yaitu sebesar Rp 42.777.970,00 per ton adalah sebesar Rp 6.125.805.304,00. Jumlah pemborosan yang sama yaitu sebesar 143,20 ton daging fillet juga terjadi karena benturan pada bahan baku sehingga menyebabkan memar pada daging ikan. Daging yang memar sudah tidak memenuhi syarat secara organoleptik karena struktur daging yang kurang baik sehingga bila diproses menjadi fish fillet maka penampakannya kurang bagus dan nilai jualnya berkurang. Hal ini dapat disebabkan karena pada saat ikan dipindahkan dalam bak penampung atau pemindahan dari satu tahap ke tahap berikutnya , proses dilakukan sangat cepat sehingga ikan dapat terbentur pada bak penampung atau meja kerja. Daging memar juga dapat disebabkan karena proses penanganan yang cepat di kapal dan saat pengangkutan hingga distribusi bahan baku sampai perusahaan dan memar pada bahan baku baru terlihat setelah proses penerimaan dan penyortiran bahan baku. Jika volume daging fillet yang kurang layak dikonversikan ke dalam nilai nominal rupiah maka pemborosan yang terjadi sebesar Rp 6.125.805.304,-. Nilai pemborosan ini sama dengan nilai pemborosan karena bahan baku yang kekurangan es. Dua hal yang menyebabkan kerusakan pada fish fillet masing- masing memiliki persentase 33,34 defect dari total defect yang ada. Analisis Pareto berasumsi bahwa 80 produk cacat disebabkan oleh hanya 20 defector kunci, maka perusahaan harus lebih memperhatikan ketersediaan es pada setiap proses dan lebih berhati-hati saat penanganan bahan baku pada tahap pemindahannya. Penyebab kerusakan pada bahan baku yang akan dipergunakan lebih pada hal-hal yang bersifat teknis yang terjadi pada proses pembuatan fish fillet . Hal tersebut dapat dilihat pada Diagram Pareto Gambar 8. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 Kekurangan es Memar karena benturan Kulit lecet Kesalahan dalam pemotongan Metal detecting Penyebab Kerusakkan P el uan g Gambar 8. Diagram Pareto Produksi Fish fillet PT DSFI Tbk. Hal lain yang menyebabkan bahan baku kurang dapat diproses adalah karena kulit lecet, kesalahan dalam pemotongan dan tidak lulus uji logam saat melewati metal detector. Frekuensi defect dari ketiga hal tersebut masing-masing adalah 85,92 ton; 28,64 ton dan 28,57 ton yang terjadi selama 18 bulan. Keseluruhan dari tiga hal penyebab defect adalah sejumlah 143.13 ton atau sebesar Rp 6.122.806.568,30 dan total pemborosan dari keseluruhan penyebab defect yang sebenarnya dapat dihemat oleh perusahaan adalah sebesar Rp18.374.417.176,30 selama 1,5 tahun pada periode Januari 2004 sampai dengan Juni 2005.

5.8.2 Menetapkan Titik Kritis Permasalahan CTQ Kunci