BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kemiskinan masih menjadi masalah nasional di Indonesia. Data menunjukkan semenjak krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, jumlah
penduduk miskin di Indonesia meningkat dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5 juta jiwa. Sebanyak 17,6 juta jiwa tinggal di kota dan 31,9 juta jiwa tinggal di
pedesaan DEPDIKNAS, 2004. Meningkatnya angka kemiskinan ini biasanya seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan kasus kriminalitas.
Hidup dalam kemiskinan atau Status Sosial Ekonomi SSE rendah dengan banyaknya tuntutan hidup menyebabkan berbagai cara dilakukan agar dapat
bertahan hidup. Salah satunya dengan melibatkan anak dalam upaya pencarian nafkah. SSE rendah diidentifikasi sebagai hal yang paling mendasari munculnya
pekerja anak di Indonesia Asih, 2007. Kemampuan membaca, menulis, dan sedikit berhitung yang didapatkan di Sekolah Dasar telah dianggap cukup.
Anggapan tersebut menyebabkan banyak anak meninggalkan bangku sekolah demi berkontribusi bagi pendapatan keluarga.
Anak adalah aset yang sangat berharga, generasi yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, sehingga perlu diupayakan agar SSE rendah
keluarga tidak mengorbankan masa depan anak. Perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak yang dibesarkan dengan dorongan, tumbuh dengan
kepercayaan diri, sedang anak yang dibesarkan dengan cemoohan, tumbuh dengan rasa rendah diri Nolte, 1998. Alasan seorang anak yang dikatakan baik
selalu melakukan pekerjaan baik, sedang anak yang dikatakan nakal selalu melakukan pekerjaan buruk, berkaitan dengan konsep diri anak tersebut. Konsep
diri seorang anak menjadi kerangka acuan bagi anak untuk memahami apapun yang berhubungan dengan dirinya dan menentukan apa yang akan ia lakukan.
Puspasari 2007 dalam Pramuchtia 2008 merumuskan bahwa faktor keterbatasan ekonomi dan kelas sosial mempengaruhi konsep diri seorang anak.
Hidup dalam keterbatasan ekonomi dinyatakan akan menimbulkan permasalahan perkembangan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan aktualisasi diri.
Dijelaskan pula bahwa kesulitan hidup secara finansialekonomi akan
menghasilkan konsep diri yang rendah. Namun Pramuchtia 2008 menemukan konsep diri positif pada sebagian besar anak jalanan dalam penelitiannya,
meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada faktor lain yang dapat membantu anak dari keluarga dengan SSE
rendah untuk dapat memiliki konsep diri positif. Bursteln n.d. menyatakan bahwa anak-anak bertingkah laku baik jika
mendapat hadiah atau imbalan sosial dari orang tuanya, namun bertingkah laku buruk jika tidak mendapat pengakuan atas kerjasama yang telah dilakukan.
Seorang anak yang diberi cap “pemalas”, “tidak berguna”, dan “tidak ada harapan lagi” oleh guru-guru dan orang tuanya atas keterlambatannya dalam pelajaran
berhitung, akan semakin membenci pelajaran tersebut atau bahkan menghentikan usahanya sama sekali. Sebaliknya, jika anak tersebut mendapat sikap positif dan
penghargaan untuk setiap jenis pekerjaan hitungan yang dapat dilakukannya tanpa kesulitan, kemampuannya dalam berhitung akan meningkat, walaupun ia
tidak akan menjadi jenius. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa perhatian dan penghargaan dari guru dan orang tua mempengaruhi tingkah laku anak.
Heller n.d. dalam Sarason et al. 1983 memaparkan bahwa informasi atau tindakan yang menyebabkan individu merasa diperhatikan, memiliki nilai,
dan tempat untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain pada saat membutuhkan, diartikan sebagai dukungan sosial. Perhatian dan penghargaan
dari guru dan orang tua pada contoh di atas dapat digolongkan sebagai bentuk dukungan sosial. Mengingat tingginya angka kemiskinan di Indonesia
menunjukkan banyaknya jumlah anak yang lahir dari keluarga dengan SSE rendah, perlu diupayakan agar anak-anak tersebut dapat memiliki konsep diri
positif. Oleh karena itu hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pada anak dari keluarga dengan SSE rendah menjadi menarik untuk dikaji.
Asih 2007 menemukan bahwa fenomena pekerja anak dari keluarga dengan SSE rendah turut menambah jumlah anak putus sekolah. Berdasarkan
informasi dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor provinsi Jawa Barat, Program Pengurangan Pekerja Anak guna
mendukung Program Keluarga Harapan PPA-PKH telah dilaksanakan pada tahun 2007 di Kabupaten Bogor. Tujuan program ini adalah untuk menarik anak-
anak yang terpaksa bekerja, padahal seharusnya masih mengenyam pendidikan. Kecamatan Ciampea dinyatakan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki
jumlah pekerja dibawah umur terbanyak di Kabupaten Bogor berdasarkan data PKH 2007, yang terpusat di Desa Bojong Rangkas. Melalui PKH 2007, pekerja
dibawah umur di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea dinyatakan telah berhasil dihapuskan dan usia pekerja bergeser ke usia anak-anak. Penelitian
International Labor Organization ILO dan Badan Pusat Statistik BPS pada 2009 di 248 kabupatenkota dengan 760 blok sensus menemukan banyak anak-
anak bekerja, terutama anak usia 5-17 tahun di Indonesia http:ekerala.netr.php?url=http:www.poskota.co.idberitaterkini20100514il
o-prihatinkan-pekerja-anaktitle=pekerja20anaktype=web . Mengingat anak
adalah aset yang berharga, masa depan pekerja anak yang terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, perlu mendapat perhatian.
1.2 Rumusan Masalah