Konsep Diri Anak Konsep Diri

berbeda sepanjang kehidupan adalah kesan tubuh, bahasa, umpan balik dari significant others , identifikasi model peran seks dan stereotip, serta pola asuh orang tua Burns, 1984. Konsep diri dapat relatif sentral atau periferal Sedikides, 1995 dalam Baron Byrne, 2004. Konsepsi diri sentral akan bertahan pada diri individu dalam situasi apapun, sedang konsepsi diri periferal dipengaruhi oleh manipulasi suasana hati. Dengan demikian orang yang berpikir bahwa dirinya sangat cerdas dan menarik sentral tetapi hanya sedang-sedang saja dalam kekuatan fisik periferal, akan tetap merasa sangat menarik dan cerdas ketika sedang sedih, namun akan kurang menghargai kemampuan fisiknya. Pembentukan persepsi-persepsi berasal dari tiga perspektif mengenai diri yaitu diri yang merupakan dasar diri, diri sosial, dan diri ideal Burns, 1984. Diri dasar adalah konsep pribadi apa adanya sebagaimana yang dipikirkan oleh individu itu sendiri. Diri sosial merupakan perspektif diri yang berasal dari penilaian-penilaian orang lain. Diri ideal adalah pribadi yang diharapkan individu ada pada dirinya. Semakin individu merasa dirinya mirip dengan seseorang yang ia anggap ideal, semakin bisa ia memenuhi kebutuhan sekundernya. Pembentukan konsep-konsep diri ini memudahkan interaksi sosial sehingga individu yang bersangkutan dapat mengantisipasi reaksi-reaksi orang lain. Adapun ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan hasil dari usaha individu untuk mempertahankan diri yang telah ada dari ancaman pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengannya, mengarah pada persepsi memilih-milih dan distorsi atau penolakan pengalaman, karena pengalaman tersebut diinterpretasikan sebagai yang keliru sehingga tidak patut diikuti.

2.1.2.2 Konsep Diri Anak

Pada seorang anak, diri ideal dapat diasumsikan penting seketika setelah ia menginternalisasikan nilai-nilai dari model-model identifikasinya. Ketidaksesuaian antara diri dan diri ideal meningkat pada anak usia 8 sampai 13 tahun seiring dengan meningkatnya kesadaran anak terhadap standar-standar orang tua dan masyarakat Jorgensen Howell, 1969 dalam Burns, 1984. Diri ideal bagi seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lebih lanjut Burns 1984 menjelaskan bahwa anak-anak dan muda-mudi dari keluarga dengan SSE rendah tertinggal di belakang anak-anak yang berasal dari keluarga dengan SSE menengah dalam melangkah maju ke tahap seleksi menjadi orang dewasa penuh pesona sebagai diri idealnya. Davie, Butler, dan Goldstein 1972 dalam Burns 1984 menemukan bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan dari kelas pekerja memperlihatkan karakteristik kepribadian yang diasosiasikan dengan rendahnya harga diri, seperti depresi, menarik diri, dan agresi sampai ke tahap yang jauh lebih luas dari anak-anak dari kelas menengah. Selain itu, dalam beberapa wilayah kompetensi akademis tertentu anak-anak dari kelas pekerja berprestasi lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak dari kelas menengah. Hal ini mengindikasikan terhalangnya anak-anak dari kelas pekerja dalam pencarian harga dirinya karena kurangnya prestasi, penetapan standar- standar yang kurang jelas, dan kurangnya kompetensi orang tua. Dahlan 2004 dalam bukunya mengungkapkan perbedaan antara konsep diri anak dan remaja dari Status Sosial Ekonomi SSE rendah dengan yang berasal dari SSE menengah ke atas, dalam keterkaitannya dengan pola asuh orang tua. Lebih lanjut Dahlan 2004 memaparkan bahwa orang tua dari kelas bawah lower class cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Pola asuh tersebut menyebabkan anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual. Orang tua dari kelas menengah middle class cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatian. Para ibu dari kelas menengah merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Para Ibu dari kelas menengah juga memiliki ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional. Berbeda dengan orang tua dari kelas bawah dan menengah, orang tua dari kelas atas upper class cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya. Anak-anak dari kelas atas cenderung memiliki rasa percaya diri, dan cenderung bersikap memanipulasi aspek realitas. Adapun pengaruh SSE terhadap pola asuh orang tua sebagaimana diungkapkan Dahlan 2004, orang tua dari SSE rendah cenderung menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas, sementara orang tua dari SSE menengah dan atas cenderung memberi penekanan pada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreatifitas anak. Terdapat sebuah kesepakatan besar bahwa diri ideal sangat dipengaruhi oleh asosiasi dengan orang lain yang memiliki wibawa karena lebih tua, lebih berkuasa, dan lebih baik dalam hal mendapatkan apa yang diinginkan dalam hidup dibandingkan dengan anak atau remaja yang mengobservasinya. Berdasarkan eksperimen-eksperimen mengenai konsep diri anak dan remaja, Burns 1984 menyimpulkan bahwa penilaian individu mengenai dirinya berasal dari penilaian orang lain terhadap dirinya. Pada hakikatnya, jika peran seseorang diterima, disetujui, dan disukai dan dia menyadarinya, konsep diri positif akan dimilikinya. Sebaliknya, jika perilaku atau keadaan fisik seseorang diperolok, diremehkan, ditolak, dan dikritik oleh masyarakat, orang tua, teman sebaya, dan guru-guru, maka kemungkinan ia memiliki penghargaan yang kecil terhadap dirinya. Konsep diri anak-anak serupa dengan pandangan dari orang tua kepadanya sebagaimana yang diyakini. Tingkat harga diri anak-anakpun sangat berhubungan dengan tingkat penghargaan yang diberikan oleh orang tua Jourard Remy, 1955; Helper, 1955 dalam Burns, 1984. Sebagai contoh, anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang selalu mengkritik, memperolok, dan membandingkan dengan anak-anak lain mengenai hal-hal yang tidak mengenakkan, dikenal sebagai anak-anak yang kurang bertanggung jawab. Perkembangan kualitas kepemimpinan ternyata juga dikaitkan dengan derajat perlindungan orang tua. Over protection perlindungan yang berlebih merusak kepercayaan diri dan kemampuan anak dalam menilai dirinya sendiri. Sears, Maccoby, dan Levin 1957 dalam Burns 1984 mencatat bahwa pola asuh yang berorientasi kasih sayang, yang menggunakan pujian dan penarikan kasih sayang menghasilkan anak-anak dengan hati nurani yang kuat, dibandingkan dengan pola asuh berorientasi fisik, yang menggunakan penghargaan dan hukuman. Pola asuh anak tampak sangat penting dalam perkembangan konsep diri, karena: 1. Konsep diri merupakan hal yang dipelajari, 2. Sebagian besar pembelajaran ini berasal dari umpan balik significant others, terutama orang tua, 3. Orang tua hadir sangat konsisten pada tahun-tahun permulaan yang penting dari kehidupan anak, 4. Anak memiliki ketergantungan fisik, emosional, dan sosial pada orang tua, sehingga orang tua berada pada posisi unik dalam mempengaruhi anak mempelajari mengenai dirinya. Sears 1970 dalam Burns 1984 pada sebuah studi terhadap anak berusia 11 tahun menghubungkan konsep diri dengan ukuran keluarga yang kecil, urutan lebih awal dalam posisi kelahiran di keluarga, dan kehangatan dari orang tua. Berdasarkan teori-teori konsep diri yang ditemukan, konsep diri pekerja anak merupakan organisasi persepsi diri pekerja anak mengenai dirinya sendiri. SSE keluarga pekerja anak yang rendah dapat menyebabkan pekerja anak memiliki konsep diri negatif.

2.1.2.3 Pengukuran Konsep Diri

Dokumen yang terkait

Gambaran Karakteristik Pekerja Anak di Pantai Bunga Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Tahun 2010

0 35 131

EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI SEKTOR NELAYAN(Studi Deskriptif Tentang Pekerja Anak di Desa Sukorejo, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik)

0 3 2

Pekerja Anak-Anak di Pedesaan (Peranan dan Dampak Anak Bekerja pada Rumahtangga Industri Kecil Sandal : Studi Kasus di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

1 19 120

Kondisi, Motivasi Kerja dan Keuntungan yang Diberikan Pekerja Anak pada Industri Kecil (Kasus Pekerja Anak pada Industri Sandal di Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 10 111

Eksploitasi Buruh Anak Pada Industri Kecil, Studi Kasus Pekerja Anak di Industri Alas Kaki, Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

0 11 214

Konservasi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Trhadap Pelaku Konversi (Studi Kasus Di Desa Tegalwaru Dan bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

3 22 103

Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor

1 9 81

Peranan modal sosial dalam industri kecil tas di Desa Rojong Rangkas Kecamatan Ciampea- Bogor

0 3 77

Analisis Pengembangan Usaha Pabrik Tahu Bandung Di Desa Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

1 13 51

Hubungan Keberdayaan Usaha Industri Mikro Dan Kecil Dengan Pengembangan Ekonomi Lokal (Kasus: Industri Tas Di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat).

1 14 102